|
IndoPROGRESS, 10 Juni 2013
DEMONSTRASI besar-besaran
yang melanda Turki, khususnya ibukota Istanbul dalam seminggu ini, sebenarnya
cukup mengagetkan banyak pihak. Turki, dalam satu dekade di bawah pimpinan
Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi,
AKP), tengah menikmati tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, derajat
redistribusi kemakmuran ekonomi yang relatif baik, hubungan luar negeri dengan
Uni Eropa yang harmonis, hingga pengaruhnya di kawasan Timur Tengah yang terus
menguat.
Selain itu, di tengah
gencarnya Perang Melawan Terorisme (PMT) yang dilancarkan Amerika Serikat dan
sekutunya pasca Peristiwa 11 September 2001, Turki dan AKP dianggap sebagai
model yang pas mengenai hubungan yang niscaya antara Islam dan demokrasi. AKP
sanggup merontokkan dogmatisme pendekatan kalangan orientalisme maupun
neo-orientalisme yang mengatakan bahwa Islam sejak dari sononya memang tidak kompatibel dengan
demokrasi. Sebagai partai Islamis yang moderat (AKP sering juga disebut sebagai
partai yang berhaluan konservatif demokrat) AKP juga seakan membantah tesis
intelektual Islam Bassam Tibi, bahwa kalangan Islamis ketika berkuasa pasti
tidak akan sanggup menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan AKP sebagai
penguasa hegemonik di Turki, para pengamat maupun intelektual sering mengatakan
bahwa AKP bisa menjadi model dari partai Islam yang moderat dan terbuka pada
ekonomi pasar.
Lalu, kenapa tetap muncul
pergolakan? Para pengamat, termasuk rekan saya Zacky, sejauh ini mengatakan
bahwa penyebab mendasar dari aksi demonstrasi itu karena rakyat Turki menuntut
adanya kebebasan (freedom). Dalam bahasa Zacky, ‘Yang
sedang dikritik para demonstran kini ialah paternalisme ala Turca yang diperagakan oleh tubuh pemerintahan
Erdoğan. Alih-alih menciptakan politik toleransi yang luwes, ia belakangan ini
memperbesar politik harga diri sebagai ‘sang ayah’ yang ingin mengatur
anak-anaknya sesuka hati, tanpa ruang tanya dan wacana. Merasa diperlakukan
bagaikan anak-anak, protes pun bergejolak.’
Daron Acemoglu profesor ekonomi di
M.I.T Boston, AS, menilai bahwa kasus Turki menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang pesat tidak serta merta akan melahirkan demokrasi. Demokrasi lebih
dari sekadar urusan pemilihan umum atau pencoblosan suara di kotak-kotak suara
pada setiap periode pemilihan. Itu sebabnya, walaupun AKP dipilih oleh hampir
50 persen pemilih sah, tidak berarti ia bisa semena-mena mengatur kehidupan
publik.
Good Muslim
Seperti
yang saya kemukakan di atas, kasus Turki dan AKP telah melunturkan kesimpulan
kaum orientalis dan neo-orientalis, bahwa Islam tidak akan pernah bisa
beririsan atau berinteraksi secara erat dengan Barat. Justru sebaliknya, Turki
dan AKP merupakan contoh sukses dari apa yang disebut oleh Mahmoud Mamdani
sebagai ‘Good Muslim.’
Menurut Mamdani, cara
pandang orientalisme yang hitam putih kini tidak lagi pas dalam menilai
hubungan antara Islam dan Muslim dengan Barat. Melalui ideologi baru
Islamohobia yang merebak pasca Perang Dingin, mayoritas pemerintahan maupun
intelektual di Barat melihat Islam secara lebih kompleks, yang tercemin dalam
pemilahan antara ‘Good Muslim and Bad Muslim.’ Dari judulnya, di dunia
Islam katanya terdapat dua kelompok: Pertama, kelompok
yang memang sejak awal mengusung ideologi politik anti-Barat (produk dan
nilai-nilainya), anti Yahudi-Kristen, atau anti-Amerika. Kelompok ini tujuan
utamanya adalah menghapuskan nilai-nilai demokrasi dan ekonomi pasar yang telah
membuat Barat mencapai kemakmuran ekonomi dan stabilitas politik selama ini,
dan menggantinya dengan negara Islam yang berlandaskan pada Shariah Islam.
Untuk mewujudkan cita-citanya ini, maka mereka harus bertempur di seluruh lini,
ekonomi, politik, militer, maupun budaya. Semua yang berbau Barat harus
diganti, karena kafir dan karena itu baik Islam dan Barat pasti saling
bertentangan. Dalam perang panjang ini, salah satu harus menang dan yang lain
harus dikalahkan.
Namun
dalam kenyataannya, apa yang disebut Islam dan Muslim itu beragam, baik karena
wilayah dan populasi persebaran Islam yang sangat luas, pertemuan budaya dan
bahasa antara Arab dengan yang non-Arab, atau karena perbedaan latar belakang
kelas-kelas sosial dari penganutnya. Merefleksikan kenyataan ini, maka kalangan
Islamophobia mengatakan bahwa ada juga kelompok yang ‘Good Muslim.’ Mereka ini
tidak anti Barat, atau anti Yahudi-Kristen, tidak anti ekonomi pasar, bahkan
juga tidak anti-Amerika.
Sebaliknya, kalangan ini aktif mempromosikan perlunya
kerjasama ekonomi, pendidikan, budaya, politik dan militer dengan Barat. Mereka
melihat bahwa nilai-nilai Islam justru akan semakin terealisasi dalam kehidupan
nyata, jika negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya Muslim
menerapkan sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan ada yang mengklaim jika ingin
melihat dimana nilai-nilai Islam diterapkan dalam masyarakat, maka pergilah ke
Barat.
Dengan
kategorisasi ini maka kalangan Islamophobia merekomendasikan bahwa dalam
konteks PMT, maka Barat (khususnya AS), harus membangun kerjasama yang
erat dengan kelompok ‘Good Muslim’ sembari mengeliminasi kelompok ‘Bad Muslim.’
Jika PMT ini diterapkan dengan bersandar pada pandangannya kaum orientalis
maupun non-orientalis maka dipastikan akan menemui kegagalan.
Masalahnya,
siapa yang mesti menentukan bahwa kelompok Muslim ini adalah ‘Good’ dan yang
itu adalah ‘Bad?’ Pertama-tama tentu saja adalah kaum Islamophobic tersebut,
berdasarkan nilai-nilai yang mereka tentukan sendiri baik secara arbitrer
maupun tidak. Dan kedua, ini yang tak kalah penting, kalangan Islam itu sendiri
mesti membuktikan dirinya sebagai ‘Good Muslim.’ Kelompok ini harus menunjukkan
bahwa mereka memang sungguh-sungguh bisa menerima nilai-nilai Barat dan tidak
menunjukkan permusuhan dengannya, sehingga layak untuk mendapatkan bantuan dan
kerjasama ekonomi, sosial, politik, dan militer. Dalam konteks ini, Turki dan
AKP menunjukkan komitmennya sebagai ‘Good Muslim.’
Perkawinan Islamisme dan
neoliberalisme
Profesor
Taner Akan dari Kocaeli University, Turkey, mengatakan bahwa AKP adalah partai
yang lahir dari kompromi antara kekuatan negara sekuler Turki yang otoritaian
dan partai-partai Islam sebelumnya yang sangat anti Barat dan bertujuan
menegakkan negara Islam yang berlandaskan syariah. Karena itu, AKP merupakan
partai yang paling sukses membangun koalisi lintas kelas, dibandingkan dengan
partai-partai Islam lainnya.
Konsekuensinya,
AKP dari segi politik berwatak reformis, dalam pengertian menerima demokrasi
sebagai medan pertarungan politik sekaligus menjadikan syariah sebagai
nilai-nilai yang diterapkan dalam masyarakat tanpa berambisi untuk menjadikan
Turki sebagai negara Islam. Sementara dari segi ekonomi, AKP dengan
terang-terangan mengadopsi kebijakan neoliberal yang telah diterapkan oleh
pemerintahan sebelumnya, bahkan semakin mengintensifkannya. Liberalisasi
ekonomi, privatisasi badan usaha milik negara, independensi bank sentral, pasar
tenaga kerja fleksibel, merupakan kebijakan utama pemerintahan AKP di bidang
ekonomi.
Dari
segi dukungan sosial, basis utama AKP adalah kalangan pengusaha kecil menengah
yang berhimpun dalam MUSIAD. Dengan wataknya yang reformis dan pro-neoliberal,
AKP kemudian mendapatkan basis pendukung baru dari kalangan borjuasi besar yang
berhimpun dalam TUSIAD. TUSIAD ini pada mulanya merupakan pendukung
tradisional dan setia dari pemerintahan nasional dan pro-Kemalis. Di luar kedua
kelompok ini, bassis sosial AKP datang dari rakyat kebanyakan, termasuk para
pentolan serikat buruh yang mendapatkan cipratan berkah dari pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Dengan
penerapan kebijakan neoliberal yang pesat, dalam waktu singkat ekonomi Turki
bertumbuh pesat. Kelompok-kelompok seperti MUSIAD dan TUSIAD merupakan penerima
terbesar dari berkah ekonomi ini. Sementara mayoritas rakyat masih berkutat
dalam kemiskinan. Sebagai contoh, pada akhir tahun 2007, tingkat pengangguran
di Turki mencapai 20 persen, dan sejak 2003, 3,5 juta petani dan keluarganya
jatuh bangkrut dan kemudian memutuskan untuk migrasi ke kota kecil dan kota
besar. Di lain pihak, untuk menjaga basis dukungan dari kelompok
masyarakat bawah dan serikat buruh, pemerintahan AKP memberlakukan kebijakan
sosial yang bertujuan mendistribusikan berkah kemakmuran tersebut. Untuk waktu
tertentu, kebijakan ini berlangsung sukses yang dibuktikan dengan hasil pemilu
yang menempatkan AKP sebagai juara dengan perolehan suara mayoritas.
Namun,
lama kelamaan kompromi antara reofirmisme politik dan neoliberalisme ekonomi
ini mulai menujukkan tanda-tanda retak. Pada satu sisi, kebijakan neoliberal
yang dianut pemerintah mensyaratkan minimalisasi peran negara dalam mekanisme
pasar, sehingga kebijakan sosial yang dijalankan pemerintah pada akhirnya lebih
bernuansa karitatif. Selain itu, budaya sadaqah yang bersifat sukarela, yang
selama itu telah menjadi tiang penyanggah kesenjangan sosial, kini semakin
mengalami marketisasi. Dan yang lebih penting lagi, kebijakan neoliberal ini
telah menimbulkan kritisisme baru dari basis massa tradisional AKP, bahwa
pemerintah kini telah menjadi kaki tangan imperialisme Barat. Selain itu,
posisi Turki yang setuju tapi tidak setuju terhadap invasi AS ke Iraq, juga
menjadi catatan tersendiri.
Untuk meredam kritisisime
dari basis massa tradisionalnya yang menghendaki penerapan syariah Islam dalam
kehidupan sosial, pemerintah kemudian mengusulkan untuk mengamandemen
penggunaan jilbab oleh mahasiswi di kampus, yang sebelumnya dilarang. Pada 10
Pebruari, parlemen kemudian menyetujui amandemen ini dimana 411 dari 550
anggota memilih Yes. Tak lama berselang hasil
amandemen itu ditandatangani oleh Presiden Abdullah Gül untuk menjadi UU.
Kebijakan
baru ini dengan segera memicu polemik yang luas dalam masyarakat. Yang pro
mengatakan bahwa kebijakan baru ini merupakan pengejewantahan nilai-nilai asli
masyarakat Turki yang berakar pada Islam, sebagai pembeda dengan nilai-nilai
Barat yang sekuler dan dekaden. Sementara, mereka yang menolaknya melihat bahwa
kebijakan baru ini hanyalah upaya kalangan Islamis untuk menghegemoni dan
mengontrol masyarakat Turki, dimulai dari cara perempuan berpakaian di dalam
kampus, kemudian meluas hingga ke perikehidupan lainnya di luar kampus.
Polemik
ini di satu sisi cukup berhasil meredam kritisisme dari kalangan garis keras
dalam AKP terhadap pemerintah, dan di sisi lain sukses meredam kritik-kritik
kalangan nasionalis-kemalis dan kiri terhadap penerapan kebijakan neoliberal.
Kritik terhadap AKP, kini bisa dengan mudah diserang balik sebagai kritik
terhadap Islam. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, maka
dalam pemilu 2011, AKP muncul tanpa tanding dengan perolehan suara mencapai
hampir 50 persen.
Namun
kombinasi antara kebijakan neoliberal, serta kebijakan populis untuk menjaga
dukungan basis massa, toh tak selamanya berhasil sukses. Neoliberalisasi
ekonomi yang agresif melalui serangkaian kebijakan privatisasi dan liberalisasi
ekonomi, pada akhirnya tak bisa lagi dijaga dengan serangkaian kebijakan yang
bernuansa Islamis. Itulah yang menyebabkan mengapa kebijakan pemerintah untuk
mengharamkan minuman beralkohol di ruang publik, tak mampu mendatangkan
dukungan luas seiring dengan rencana pemerintah untuk memprivatisasi ruang
publik. Hasilnya adalah aksi massa luas yang berlangsung hingga kini.
Penutup
Aksi massa di Turki saat
ini, menurut saya memiliki beberapa dimensi yang penting untuk
diperhatikan: pertama, agak berlebihan jika aksi ini
disetarakan dengan peristiwa Arab Spring yang
melanda sebagian Dunia Arab beberapa waktu sebelumnya. Pemerintahan AKP adalah
pemerintahan demokratis yang berbeda dengan pemerintahan Tunisia atau Mesir
yang otoriter dan militeristik. Artinya, rakyat Turki, pada derajat tertentu,
mengalami iklim kebebasan yang cukup luas, sehingga tuntutan yang berkembang
lebih pada pendalaman kebebasan itu.
Kedua, saya
tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa karena kelompok yang
terlibat dalam aksi-aksi massa ini datang dari beragam organisasi dan spektrum
politik yang sangat berbeda bahkan bertentangan, maka masa depan gerakan ini
akan berakhir seperti gerakan Arab Spring: karena gerakannya sangat longgar dan
cair, aksi massa ini pada awalnya bisa menghimpun massa dalam jumlah yang
sangat besar, tapi dalam jangka waktu yang lebih panjang, memiliki kelemahan
organisasi dan politik yang sangat serius sehingga gampang dimanipulasi oleh
kelompok lain yang lebih siap secara organisasional. Mesir menunjukkan
bagaimana gerakan yang sanggup menjatuhkan Hosni Mubarak, tetapi karena tidak
memiliki kepemimpinan politik dan organisasinya yang kuat, kemudian
ditelikung oleh kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) yang kini bekerjasama secara
erat dengan militer Mesir untuk melaksanakan kebijakan neoliberal.
Menurut
saya, kesadaran akan pentingnya kepemimpinan politik dan organisasi dalam
gerakan bisa muncul secara dialektik, tergantung pada bagaimana unsur-unsur
termaju dalam gerakan bisa memenangkan pertarungan politik dan organisasi
secara demokratis dalam gerakan tersebut. Artinya, kesadaran itu muncul dan
dikelola secara bersamaan dalam gerakan itu sendiri. Kita tidak bisa berhenti
bersuka-cita bahwa kini pada akhirnya muncul lagi gerakan massa yang luas di
Turki. Justru ini merupakan titik berangkat untuk membangun kembali gerakan
massa yang lebih kuat baik secara politik maupun organisasi. Meminjam kata-kata
Fidel Castro, tindakan revolusioner itu hanya mungkin terjadi dalam situasi
yang revolusioner.
Ketiga, kasus
ini menjadi batu ujian yang menentukan bagi kalangan Islamis dimanapun,
mengenai sejauh mana mereka bisa berkompromi dengan kebijakan ekonomi
kapitalisme-neoliberal. Ini juga menjadi dasar bagi pentingnya kritik terhadap
kalangan Islam Politik, bukan hanya dari segi cita-cita dan ideologinya untuk
mendirikan negara atau shariah Islam, melainkan bagaimana kritik-kritik
tersebut lebih menyentuh pada kritik ekonomi-politik. Kritik dari sisi inilah
yang selama ini absen dalam diskusi publik di Indonesia mengenai keberadaan
Islam Politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar