|
KOMPAS, 11 Juni 2013
Untuk
mengetahui betapa memprihatinkannya kadar kualitas kepala daerah, cukup
mencermati angka yang disodorkan Kementerian Dalam Negeri. Pertama, sampai
akhir tahun 2013 diperkirakan jumlah kepala daerah yang tersandung korupsi akan
tembus hingga 300 orang. Penyebab utamanya, elite politik lokal terjebak dalam
turbulensi politik uang. ”Investasi” yang ditanamkan untuk meraih kedudukan
politik jauh melampaui pendapat resmi kepala daerah atau wakil kepala daerah.
Kedua,
sampai Mei 2013, dari 463 pelaksanaan pilkada untuk kedua kalinya, hanya 36
atau 7,77 persen kandidat yang kembali berpasangan. Disharmoni tersebut
mengungkapkan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya yang sarat konflik
kepentingan. Selain itu, fenomena yang juga membuat masygul adalah semakin
menguatnya dinasti politik. Akibat dari semua itu, secara agregat dapat
dikatakan kinerja mutu pimpinan pemerintahan daerah sangat rendah.
Mengurai
kekusutan politik lokal yang disebabkan rendahnya kinerja pemerintahan daerah,
dominasi politik uang, dan menguatnya dinasti politik bukanlah perkara mudah.
Hal ini karena akar masalah tersebut adalah desain organisasi kekuasaan negara
yang tidak disertai dengan gagasan, konsep, serta paradigma yang komprehensif
dan jelas. Praktik penyusunan regulasi selama ini tidak menempatkan hukum
sebagai stimulan perubahan masyarakat dan dibentuk berdasarkan visi mengenai
tatanan masyarakat masa mendatang.
Akibatnya, pengelolaan kekuasaan yang
seharusnya menghasilkan kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
tersandera rancunya regulasi, terutama berkenaan dengan isu hubungan
pusat-daerah dalam kerangka bentuk negara kesatuan, relasi lembaga presiden dan
parlemen, sistem pemerintahan presidensial dengan multipartai, kombinasi sistem
pemilu proporsional dan distrik, dan sebagainya.
Ringkasnya,
regulasi yang berkaitan dengan penataan kekuasaan yang demokratis selama ini
pada praktiknya tidak dipandu oleh kebijakan umum atau politik
perundang-undangan yang jelas.
Konsekuensinya, peraturan perundangan rancu dan
tumpang tindih. Semakin banyak produksi regulasi semakin membuat medan hukum
layaknya rimba raya peraturan yang membuat penyelenggaraan pemerintahan tidak
efisien dan selalu diancam gridlock (macet).
Kecenderungan
merosotnya kinerja pemerintahan daerah yang semakin memprihatinkan itu
disiasati dan dicoba diterobos dengan menyusun Rancangan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah. Dinamika proses pembahasan mengkristal dalam beberapa
isu, yaitu (1) mekanisme pemilihan kepala daerah; (2) paket kepala daerah dan
wakilnya (terpisah atau satu); (3) persyaratan kepala daerah (berkaitan dengan
isu dinasti politik); (4) tugas, wewenang, persyaratan wakil kepala daerah; (5)
penyelesaian sengketa hasil pilkada; (6) pilkada serentak; dan (7) pembatasan
dana kampanye.
Upaya
dan niat baik tersebut patut dihargai. Namun, perlu diberikan beberapa catatan
khusus terhadap beberapa isu tersebut. Pertama, perdebatan paling alot adalah
usulan pemerintah agar gubernur dipilih langsung dan bupati /wali kota dipilih
DPRD. Gagasan ini didasarkan pada pakem kebijakan otonomi daerah dalam kerangka
negara kesatuan, salah satu fungsi gubernur yang penting adalah kepanjangan
pemerintah dengan tugas pokok pengawasan dan pembinaan terhadap bupati dan wali
kota. Supaya mempunyai legitimasi yang kuat, sebaiknya mereka dipilih langsung.
Bupati/wali kota, sebagai subordinat gubernur, cukup dipilih DPRD. Alasan
pokok, efisiensi biaya penyelenggaraan pemilihan, penyederhanaan proses
politik, serta meniadakan sengketa pilkada yang sering mengakibatkan konflik
horizontal. Dengan penguatan politik gubernur, diharapkan penyelenggaraan
pemerintahan akan lebih efektif. Namun, usulan tersebut belum disepakati
parlemen. Pada umumnya, mereka beranggapan perubahan elektoral dari langsung
menjadi tidak langsung merupakan kemunduran proses demokrasi.
Memperdebatkan
sistem elektoral yang dianggap lebih demokratis akan sangat melelahkan.
Seyogianya pemerintah dan parlemen terlebih dahulu sepakat mengenai urgensi
hadirnya pemerintahan daerah yang efektif dan relatif bersih dari korupsi.
Membiarkan kekusutan pemerintahan di daerah berlarut-larut hanya akan semakin
memerosotkan kredibilitas lembaga pemerintahan, lembaga politik, serta
demokrasi pada umumnya. Langkah berikutnya adalah mengagendakan pendidikan
politik bagi masyarakat. Sebab, inti dari demokrasi adalah partisipasi publik.
Pertanyaannya, apakah kalau ketentuan tersebut menjadi UU dapat mewujudkan
pemerintahan daerah yang efektif dan bersih? Belum tentu. Namun, praktik
demokrasi selalu melalui unsur trial and
error (coba-coba). Sejauh langkah itu diperhitungkan konsekuensinya, tidak
ada jeleknya dilakukan. Agenda tersebut akan lebih terjamin keberhasilannya
jika isu pembatasan dana kampanye dikonversi menjadi regulasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar