Senin, 10 Juni 2013

Berebut Kursi di Kota Kembang

Berebut Kursi di Kota Kembang
Asep Sumaryana ;    Kepala LP3AN dan Pengajar di Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP, Unpad 
KORAN SINDO, 08 Juni 2013



Penyampaian program para calon wali kota Bandung sudah dimulai di depan DPRD kota. Tidak tertutup kemungkinan 1.658.808 daftar pemilih tetap (DPT) telah mencermatinya. 

Mungkin juga sudah dilanjutkan refleksi atas apa yang diprogramkan dengan track record delapan pasang calon. Atas telaahan tersebut, bisa jadi swing voters (SV) akan bergeser dari kisaran 50% seperti hasil survei beberapa waktu lalu yang ditentukan pemungutan suara 23 Juni ini. Sejumlah jurus dan strategis mulai dimatangkan pada masa kampanye agar suara warga kota dalam DPT memihak pada programnya. Mungkin juga kelompok SV akan menjadi incaran karena sangat potensial. 

Hanya, tidaklah mudah jika kedelapannya hanya membuat program karena permintaan KPUD untuk dideklarasikan di depan DPRD dan diumbar di depan warga kota. Karena itu, program tersebut akan menjadi batu loncatan merebut kursi wali kota, sekaligus menjadi batu sandungan untuk sampai ke kursi tersebut. 

Kelompok Cerdas 

Warga Kota Kembang sedang merindukan pemimpin yang amanah dan cerdas. Banyak yang berjanji akan amanah, tetapi kenyataannya justru menjadi permainan kepentingan yang ujungnya merusak citra kota. Bancakan bansos dapat dipandang sebagai aib warga kota yang berujung terseretnya sejumlah elite di kota tersebut. Mungkin saja, yang terseret pun taat beribadah dan nawaetu (niat) amanahnya besar. 

Namun, karena kecerdasannya di bawah kelompok kepentingan yang menekan, hanyutlah dalam arus keserakahan dan pengkhianatan. Jika wali kota dipandang sebagai birokrat, birokrasi haruslah memiliki keberpihakan kepada warganya. Kepentingan warga, seperti pelayanan dasar, lingkungan, sarana dan prasarana sosial dan umum, perlu kiranya menjadi perhatian utama. 

Namun, sampai saat ini sejumlah kepentingan tersebut tampaknya sulit diwujudkan karena birokrat lebih memerhatikan kepentingan lain yang justru merugikan warga. Tidak sedikit warga yang menggerutu, bahkan celaka di jalan raya karena kerusakan yang belum kunjung digarap. Bahkan, pengembangan Babakan Siliwangi mendapat perlawanan karena mengganggu hutan kota. 

Tidak saja kedua hal di atas yang sedang dalam sorotan. PKL dan parkir liar pun menjadi bancakan oknum aparat lapangan. Kendati ada penggembokan terhadap kendaraan yang parkir sembarangan serta penggusuran PKL, umumnya mereka paham betul kapan razia akan dilakukan sehingga bisa berjaga-jaga. Kondisi seperti itu berkaitan dengan administrasi kependudukan yang perlu ditegakkan dengan tegas. Pemerintah kota ber tanggung jawab terhadap warganya untuk mencari nafkah. 

Itu berarti jika PKL atau tukang parkir harus dipastikan warga kota yang tidak hanya dilihat dari KTP-nya. Demikian pembangunan hotel, restoran, bahkan mal. Investor yang semangat membangun di sini tidak boleh dianggap sebagai prestasi pemerintah. Mereka paham betul posisi kota ini dan dijadikanlah peluang. Mungkin saja ketika mengurus perizinan, banyak yang simsalabim dengan bantuan oknum. 

Dampaknya, kendati mahal pengurusannya, minat tidaklah dapat dibendung karena yang penting dapat membangun pada tempat yang diinginkan. Tidak mengherankan jika wilayah utara kota pun berubah fungsi dari kawasan lindung menjadi kawasan gedung. Kota pendidikan pun bergeser menjadi kota hotel dan mal yang senantiasa padat setiap akhir pekan. Kehadiran mal dan minimarket terus berkembang, kendati sekitar 104 di antaranya dianggap liar. 

Fenomena ini berkaitan dengan perekonomian rakyat melalui pasar tradisional, kios, dan warung. Dengan adanya pasar modern itu, uang warga yang menjadi konsumennya disedot keluar tanpa dapat diputarkan dahulu di sekitarnya. Dampaknya, sejumlah warga menjadi konsumtif dengan penghasilan paspasan. Selebihnya, untuk memenuhi kebutuhan, setelah uang habis, warung pun layu karena menjadi sasaran nganjuk (berutang). Fenomena itu berada dalam pantauan kelompok SV. 

Tidak mengherankan jika pada sejumlah survei, suaranya masih ditahan untuk tidak diberikan kepada kandidat yang hanya akan memperparah persoalan kota. Dengan kejelian, kekritisan, dan wawasannya yang baik, mereka sedang mengintip kandidat yang memiliki visi mampu membuat dan menjaga values serta courage untuk membela warga dan Kota Bandung dari kerusakan seperti Moelyono (2004) sebutkan. Bila tidak, kelompok cerdas ini akan membiarkan suaranya tersimpan rapat di dadanya sehingga menjadi golput. 

Rebutan 

Tidak dipungkiri jika hasil survei tersebut sedang dikalkulasi para kandidat untuk menambah suaranya. Mungkin juga sedang dipertimbangkan untuk courage melakukan kontrak politik dengan kelompok SV. Namun, ketika hal tersebut dilakukan, kekecewaannya dapat mengancam keberlangsungan pemerintahan karena gugatan akan mewarnai perjalanan kereziman kota. 

Hirshman (1970) menganggap gugatan sebagai voice yang berindikasi loyalty karenanya harus disikapi bijaksana. Tidak berlebihan jika rebutan suara sedang bergemuruh, kandidat harus mau dan mampu mendengarkan voice-nya SV untuk dirumuskan dan dijadikan program unggulan. Hanya, program unggulan haruslah realistik karena SV paham betul kemungkinan gagal atau berhasilnya sebuah program. Kecerdasan kandidat menjadi penting dalam menyikapinya agar tidak berujung exit. 

Karena itu, merebut simpatinya tidak dapat dilakukan dengan memperbanyak khotbah dan fatwa, tetapi dengan memasang telinga, hati, dan pikiran. Dalam konteks new public service (Denhardt, 2004), hal seperti itu akan memperbesar empati SV dan juga warga lainnya. Dengan demikian, upaya kukurusukan bisa gagal juga jika yang dikedepankan omdo (omong doang) dalam khotbahnya. 

Berebut kursi semakin panas di antara kandidat. Namun, SV dengan warga kota sedang menimbang kapasitas, kapabilitas, serta personalitas (Sulistyani, 2008) mereka. Mungkin mereka akan diuji dengan kritikan, bahkan hujatan, yang menyakitkan. Bisa jadi yang mengkritik menjadi bagian dari SV yang akan menjadi loyal bila disikapi dengan bijak. Sebaliknya, bila tidak, keluarlah yang akan dilakukan mereka sehingga bisa mengurangi elektabilitas petarung, bahkan golput akan menjadi dominan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar