Kamis, 20 Juni 2013

Sadar Risiko Meliput Konflik

Sadar Risiko Meliput Konflik
Imam Syafii ;   Direktur JTV (Jawa Pos TV),
Pernah meliput berbagai konflik, termasuk di Kamboja
JAWA POS, 19 Juni 2013


DUA wartawan terluka saat meliput demonstrasi menolak kenaikan harga BBM, Senin lalu. Abdul Roby Kilerey, wartawan harian Mata Publik, tertembak di pinggul ketika mengambil gambar bentrokan antara mahasiswa dan polisi di Ternate, Maluku Utara. Pada saat bersamaan, kontributor Trans 7 Nugroho Kusumawan terkena proyektil gas air mata yang ditembakkan ke pendemo di kantor DPRD Jambi. Mata Nugroho berdarah-darah, dan klik... gambarnya langsung tersebar ke tak terhitung gadget dan jejaring sosial. 

Dua peristiwa tersebut sungguh memprihatinkan. Apalagi terjadi ketika wartawan sedang menjalankan tugas jurnalistik. Wartawan di beberapa daerah berdemo mengecam aparat kepolisian yang dinilai tidak mampu menjaga dan melindungi wartawan. Petinggi kepolisian pun sibuk memberikan penjelasan. 

Tentu saja demo-demo wartawan itu bisa dimaklumi. Apalagi kalau diniatkan agar insiden serupa tidak terjadi lagi. Namun, seyogianya awak media juga bijaksana dalam menyikapi kasus-kasus ketika wartawan menjadi korbannya. Apakah memang masuk kategori kekerasan terhadap wartawan atau karena masalah teknis seperti ketidaksiapan wartawan. 

Seluruh insan pers sudah sepatutnya melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan pembungkaman kemerdekaan pers. Misalnya, kekerasan yang dilakukan personel TNI-AU terhadap tujuh wartawan ketika meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 TNI-AU (yang dibeli dengan uang rakyat) di permukiman warga Pasir Putih, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar Riau. Kamera wartawan dirampas dan mereka dipukuli (gambarnya abadi di Youtube). 

Kemudian, aksi kekerasan yang dilakukan personel kepolisian Gorontalo terhadap wartawan dan insiden di stasiun TVRI Gorontalo. Serta, kasus-kasus penganiayaan terhadap wartawan Trans 7, JTV, dan radio El Shintaoleh perwira intelkam polrestabes saat meliput demo Falun Gong di Surabaya. Dalam contoh yang terakhir itu, Kapolrestabes Surabaya bertindak cepat dengan langsung mencopot perwira polisi tersebut. 

Untuk peristiwa di Ternate dan Jambi, mari kita dekati dari standar dan prosedur peliputan. Ada aturan-aturan yang harus dipatuhi wartawan ketika meliput peristiwa-peristiwa dengan risiko tinggi. Misalnya, liputan di medan peperangan, daerah konflik, aksi demonstrasi, penangkapan terduga teroris, serta pertandingan sepak bola yang berpotensi terjadinya chaos dan amuk. 

Demi kewajiban profesi menyajikan informasi, wartawan memang ''berlawanan'' dengan kelaziman. Ketika ada bahaya, kebanyakan orang lari menjauhi, tetapi wartawan justru lari mendekat. Termasuk ketika ada demo yang kerap amat brutal. Ketika meliput demo anarkistis (violent protest), wartawan semestinya hafal betul bakal menemui aksi lempar batu, saling pukul, pelontar gas air mata, hingga tembakan peluru karet. 

Ada media yang membekali wartawannya dengan prosedur keselamatan. Mulai memakai rompi antipeluru (di daerah konflik bersenjata), helm, menunjukkan identitas (tulisan ''PERS'' besar-besar), hingga mengenakan baju atau rompi dengan warna mencolok, bahkan masker antigas air mata, sehingga bisa dibedakan antara wartawan dan pendemo, juga dengan aparat. 

Dengan memahami situasi, wartawan bisa menentukan posisi pengambilan gambar. Bila berbahaya, wartawan bisa mengambil gambar dari jarak agak jauh dengan menggunakan zoom in kamera. Kalau ingin mengambil gambar polisi, wartawan bisa berposisi di belakang pendemo. Tapi, sebaliknya, jika ingin mengambil gambar aksi pendemo, wartawan bisa berdiri di belakang polisi. Harus dihitung risikonya. Jangan sampai wartawan kebablasan dan keasyikan untuk mendapatkan gambar-gambar dramatis, human interest, dan eksklusif tapi abai risiko. 

Meski harus tetap mendapat gambar atau sudut reportase yang baik dan lengkap, tidak perlu memaksa diri kalau keadaan berbahaya. Wartawan jangan terlalu berharap mendapat perlindungan dari polisi yang sedang mengamankan aksi demo. Polisi sudah sangat sibuk dengan tugas utamanya sebagai pengendali massa (dalmas). 

Profesi jurnalis memiliki risiko tinggi. Mulai ditekan, diancam, dipukul, dirampas alat kerjanya, diculik, hingga kehilangan nyawa. Berbagai cara terus dicari dan dilakukan agar wartawan aman dalam menjalankan tugasnya. Selain menggelar aksi-aksi solidaritas, pers harus bisa mengambi hikmah dan introspeksi atas kejadian-kejadian. Salah satu sorotan dalam World Editors Forum yang digelar WAN-IFRA di Bangkok, Thailand, awal Juni 2013, adalah pers juga harus terbuka atas semua kritik yang ditujukan kepadanya. 

Pers yang berfungsi sebagai alat kontrol sosial pasti akan berteriak sangat keras jika menemukan sesuatu yang diyakininya tidak benar. Namun, ketika menerima kritik dari luar (atau dari dalam), tidak sedikit awak media yang resistan. Padahal, wartawan juga manusia dan tetap manusia, yang bisa keliru dan khilaf. Jika pers gemar melontarkan kritik, pers juga harus bersedia menerima kritik agar kualitasnya meningkat. 

Mari berhati-hati kalau meliput. Alangkah mulia bila diniatkan sebagai ibadah untuk sedekah informasi kepada masyarakat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar