|
SUARA
KARYA, 19 Juni 2013
Era reformasi sejak 1998 nyaris
gagal melahirkan agen-agen perubahan yang mampu menciptakan dan membawa
perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, era reformasi
justru melahirkan agents of decay--agen-agen kebusukan yang menjerumuskan
bangsa ini ke dalam krisis multidimensi.
Partai-partai politik tidak
menjadi institusi yang membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Demikian
pula institusi-institusi negara, termasuk institusi penegakan hukum, tidak
lebih dari institusi kuburan yang resisten terhadap perubahan. Institusi negara
menjadi institusi kuburan tempat bercokolnya para agen kubusukan yang
menggunakan kekuasaan untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Keadaan itu terus berkembang
sampai hari ini. Berbagai kasus korupsi yang terjadi di institusi-institusi
negara, termasuk yang melibatkan para elite politik dari berbagai parpol,
terang benderang menggambarkan realitas buruk itu.
Harus diakui, era reformasi memang
menunjukkan kemajuan, khususnya dalam kehidupan demokratisasi. Namun, kemajuan
itu telah berkembang sedemikian rupa, sehingga cenderung menjadi demokrasi
tanpa batas yang menimbulkan penyakit-penyakit deviasi. Di antaranya dalam
bentuk manipulasi kesejatian makna kedaulatan rakyat dan berbagai praktik
politik uang.
Pada era reformasi, kita juga
menyaksikan betapa korupsi kian menggurita. Pelaku-pelakunya bukanlah
orang-orang kafir, melainkan mereka yang menyandang gelar sarjana, bahkan
orang-orang yang taat dan tekun beragama. Dunia pendidikan tampaknya
menghasilkan para sarjana yang cerdas secara intelektual, tetapi mengalami
krisis nilai-nilai. Dari berbagai kasus tindak pidana korupsi besar yang
melibatkan para sarjana cerdas, itu menunjukkan bahwa kita sedang mengalami
krisis.
Realitas itulah yang dirasakan
dewasa ini di tengah kobaran api semangat memberantas korupsi, yang merupakan
suatu kemestian. Sebab, tindak kejahatan itu merupakan suatu bendungan
berbahaya yang tidak hanya mengeblok aliran perkembangan sosial dan ekonomi
masyarakat, tetapi sekaligus juga dapat menghancurkan upaya pencapaian
cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi dapat menyebabkan
kegagalan negara yang direpresentasikan oleh pemerintah dalam menjalankan tugas
dan tanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Mengingat besarnya bahaya korupsi, maka korupsi dinyatakan sebagai tindak
pidana yang luar biasa (extra ordinary
crime). Namun, sifat atau pengategorian itu tidak berarti upaya
pemberantasan korupsi lewat penegakan hukum dapat dilakukan dengan menghalalkan
segala cara, mengabaikan moralitas internal dari hukum dan asas-asas hukum yang
merupakan bagian integral moralitas internal dari hukum itu sendiri.
Berbagai kasus korupsi menjadi
perhatian publik selama ini, mulai dari pusat hingga ke daerah-daerah dan
korupsi di berbagai institusi negara, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif. Pemerintah memang mempunyai agenda untuk membersihkan negeri ini
dari praktik-praktik korupsi yang telah memiskinkan rakyat, menghilangkan
kesempatan kerja, dan menyebabkan ketidakadilan serta pupusnya harapan. Tetapi,
agenda-agenda tersebut secara umum tidak akan dapat dilaksanakan secara efektif
tanpa adanya kemauan politik (political
will) dari pemimpin dan para elite politik negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar