|
SUARA
MERDEKA, 19 Juni 2013
SETELAH melewati perang wacana relatif lama mengenai format
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar, akhirnya
pemerintah memputuskan harga itu mengerucut pada pola seragam. Harga premium
naik Rp 2.000, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter, dan solar naik Rp
1.000 dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500. Kenaikan harga dua jenis bahan bakar
minyak itu bisa mengurangi subsidi sampai Rp 40 triliun.
Perbedaan penerapan kenaikan harga mendasarkan dalih solar
banyak dipakai angkutan umum yang notabene kendaraan rakyat kecil, dan perahu
nelayan, sedangkan premium banyak dikonsumsi kendaraan pribadi. Memang benar,
menaikkan harga BBM akan meringankan beban subsidi, tetapi di sisi lain yang
masih memberatkan APBN adalah pembayaran bunga utang Rp 113,2 triliun dan pokok
Rp 58,4 triliun, serta surat utang negara yang jatuh tempo sebesar Rp 71
triliun, sehingga total mencapai Rp 241 triliun. Kita hanya bisa berharap pada masa
mendatang tak ada lagi kebiasaan mengutang yang justru memberatkan APBN, yang
pada akhirnya berdampak pada pengurangan subsidi, salah satunya subsidi bahan
bakar.
John Perkins dalam buku Confessions
of an Economic Hit Man mengingatkan bahwa negara yang kaya sumber daya alam
akan diperangkap lewat berbagai cara. Indonesia misalnya, utang boleh selalu
bertambah tapi tetap dibiarkan kendati uang hasil utang itu rawan dikorupsi.
Setelah tak mampu melunasi, negara kita ditekan untuk mengikuti formula negara
neolib, salah satu polanya dengan memperkecil subsidi.
Intrik Politik
Momen kenaikan harga BBM ternyata berakibat ganda. Kenaikan
harga bahan bakar menjelang Ramadan memicu kenaikan harga barang-barang secara
kumulatif, belum lagi setelah pengumuman harga baru dalam beberapa hari
mendatang, dan pada saat memasuki bulan Ramadan. Angka inflasi bisa meninggi
sampai 7,2% sesuai versi RAPBN-P 2013, kendati APBN memperkirakan inflasi cuma
4,9%. Angka 7,2% bisa membesar bila penyaluran kebutuhan pokok, seperti beras,
kedelai, gula, minyak, bawang, dan daging, tidak lancar. Pemerintah harus
mencermati pemenuhan kebutuhan pokok karena menjelang Pemilu 2014 biasa diikuti
intrik politik. Sekaligus mewaspadai permainan pihak tertentu yang menghambat
penyaluran kebutuhan pokok sehingga rakyat kecil menjadi korban.
Pemerintah, melalui Wamenkeu Mahendra Siregar (SM, 15/6/13)
menyatakan mengalokasikan dana kompensasi Rp 29,12 triliun. Alokasi itu terdiri
atas bantuan sementara langsung masyarakat (BSLM) Rp 9,32 triliun, anggaran
percepatan perlindungan sosial Rp 12,6 triliun, alokasi anggaran pengembangan
infrastruktur pedesaan Rp 7,2 triliun. Pemerintah juga menyetujui alokasi
bantuan siswa miskin (BSM) Rp 7,5 triliun dan anggaran raskin Rp 4,3 triliun
untuk 15 bulan. Untuk BLSM diberikan Rp 150 ribu selama 4 bulan, dengan 15,5
juta rumah tangga sasaran (RTS).
Rawan
Penyimpangan
Dana kompensasi kenaikan harga BBM, secara konseptual baik
tetapi implementasinya bisa jauh menyimpang. Hasil evaluasi penyaluran raskin
kurang menggembirakan karena sering salah sasaran, dan penerima menjual kembali
beras itu. Bahkan di berbagai daerah beras itu dibagikan merata karena pihak
desa tak dapat meredam protes anggota masyarakat yang semestinya tidak
menerima.
Kajian dari The Smeru Research Institute (2008) mengenai
efektivitas program raskin menunjukkan penilaian yang sama. Kemerendahan
efektivitas program itu ditandai kurangnya sosialisasi dan transparansi; tidak
tepatnya sasaran penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan; tingginya biaya
pengelolaan program; belum optimalnya pelaksanaan monitoring dan evaluasi; dan
kurang berfungsinya mekanisme pengaduan.
Program BSLM yang mirip bantuan langsung tunai (BLT) juga
dinilai kurang tepat sasaran. Pertama; terkait makin dekatnya dengan Pemilu
2014, program itu menguntungkan partai dan pihak tertentu. Kedua; kurang
mendidik karena penerima merasa mendapat rezeki tiban sehingga pemakaiannya
cenderung konsumtif.
Nasib suram petani yang sewaktu menanam mengeluarkan biaya
tinggi tapi ketika menjual hasil panen mengalami kejatuhan harga, perlu
mendapat prioritas mendapatkan dana kompensasi itu. Pemerintah berbagai negara
maju acap membeli berbagai komoditas pokok dengan harga tinggi, lalu menjualnya
ke masyarakat dengan harga murah. Ketimbang mengandalkan impor produk kebutuhan
pokok, yang sering dimainkan mafia kartel, lebih baik pemerintah fokus pada
kedaulatan pangan.
Pembangunan infrastruktur lewat dana kompensasi BBM,
seyogianya diwujudkan untuk memperbaiki jalan-jalan di pedesaan yang kondisinya
memprihatinkan. Termasuk saluran irigasi dan waduk. Semua pihak berharap dana
itu bukan sekadar bagi-bagi kesenangan sementara akibat kesedihan dalam jangka
panjang. Dana itu hendaknya bisa mendidik masyarakat, yang selain mensyaratkan
kejujuran, perlu kerja keras dari semua elemen dalam menuju kemajuan yang
dicita-citakan bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar