Kamis, 20 Juni 2013

Efektivitas Dana Kompensasi

Efektivitas Dana Kompensasi
Purbayu Budi Santosa ;    Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 19 Juni 2013


SETELAH melewati perang wacana relatif lama mengenai format kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar, akhirnya pemerintah memputuskan harga itu mengerucut pada pola seragam. Harga premium naik Rp 2.000, dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter, dan solar naik Rp 1.000 dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500. Kenaikan harga dua jenis bahan bakar minyak itu bisa mengurangi subsidi sampai Rp 40 triliun.

Perbedaan penerapan kenaikan harga mendasarkan dalih solar banyak dipakai angkutan umum yang notabene kendaraan rakyat kecil, dan perahu nelayan, sedangkan premium banyak dikonsumsi kendaraan pribadi. Memang benar, menaikkan harga BBM akan meringankan beban subsidi, tetapi di sisi lain yang masih memberatkan APBN adalah pembayaran bunga utang Rp 113,2 triliun dan pokok Rp 58,4 triliun, serta surat utang negara yang jatuh tempo sebesar Rp 71 triliun, sehingga total mencapai Rp 241 triliun. Kita hanya bisa berharap pada masa mendatang tak ada lagi kebiasaan mengutang yang justru memberatkan APBN, yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan subsidi, salah satunya subsidi bahan bakar.

John Perkins dalam buku Confessions of an Economic Hit Man mengingatkan bahwa negara yang kaya sumber daya alam akan diperangkap lewat berbagai cara. Indonesia misalnya, utang boleh selalu bertambah tapi tetap dibiarkan kendati uang hasil utang itu rawan dikorupsi. Setelah tak mampu melunasi, negara kita ditekan untuk mengikuti formula negara neolib, salah satu polanya dengan memperkecil subsidi.

Intrik Politik

Momen kenaikan harga BBM ternyata berakibat ganda. Kenaikan harga bahan bakar menjelang Ramadan memicu kenaikan harga barang-barang secara kumulatif, belum lagi setelah pengumuman harga baru dalam beberapa hari mendatang, dan pada saat memasuki bulan Ramadan. Angka inflasi bisa meninggi sampai 7,2% sesuai versi RAPBN-P 2013, kendati APBN memperkirakan inflasi cuma 4,9%. Angka 7,2% bisa membesar bila penyaluran kebutuhan pokok, seperti beras, kedelai, gula, minyak, bawang, dan daging, tidak lancar. Pemerintah harus mencermati pemenuhan kebutuhan pokok karena menjelang Pemilu 2014 biasa diikuti intrik politik. Sekaligus mewaspadai permainan pihak tertentu yang menghambat penyaluran kebutuhan pokok sehingga rakyat kecil menjadi korban.

Pemerintah, melalui Wamenkeu Mahendra Siregar (SM, 15/6/13) menyatakan mengalokasikan dana kompensasi Rp 29,12 triliun. Alokasi itu terdiri atas bantuan sementara langsung masyarakat (BSLM) Rp 9,32 triliun, anggaran percepatan perlindungan sosial Rp 12,6 triliun, alokasi anggaran pengembangan infrastruktur pedesaan Rp 7,2 triliun. Pemerintah juga menyetujui alokasi bantuan siswa miskin (BSM) Rp 7,5 triliun dan anggaran raskin Rp 4,3 triliun untuk 15 bulan. Untuk BLSM diberikan Rp 150 ribu selama 4 bulan, dengan 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS).

Rawan Penyimpangan

Dana kompensasi kenaikan harga BBM, secara konseptual baik tetapi implementasinya bisa jauh menyimpang. Hasil evaluasi penyaluran raskin kurang menggembirakan karena sering salah sasaran, dan penerima menjual kembali beras itu. Bahkan di berbagai daerah beras itu dibagikan merata karena pihak desa tak dapat meredam protes anggota masyarakat yang semestinya tidak menerima.

Kajian dari The Smeru Research Institute (2008) mengenai efektivitas program raskin menunjukkan penilaian yang sama. Kemerendahan efektivitas program itu ditandai kurangnya sosialisasi dan transparansi; tidak tepatnya sasaran penerima, harga, jumlah, dan frekuensi penerimaan; tingginya biaya pengelolaan program; belum optimalnya pelaksanaan monitoring dan evaluasi; dan kurang berfungsinya mekanisme pengaduan.

Program BSLM yang mirip bantuan langsung tunai (BLT) juga dinilai kurang tepat sasaran. Pertama; terkait makin dekatnya dengan Pemilu 2014, program itu menguntungkan partai dan pihak tertentu. Kedua; kurang mendidik karena penerima merasa mendapat rezeki tiban sehingga pemakaiannya cenderung konsumtif.

Nasib suram petani yang sewaktu menanam mengeluarkan biaya tinggi tapi ketika menjual hasil panen mengalami kejatuhan harga, perlu mendapat prioritas mendapatkan dana kompensasi itu. Pemerintah berbagai negara maju acap membeli berbagai komoditas pokok dengan harga tinggi, lalu menjualnya ke masyarakat dengan harga murah. Ketimbang mengandalkan impor produk kebutuhan pokok, yang sering dimainkan mafia kartel, lebih baik pemerintah fokus pada kedaulatan pangan.

Pembangunan infrastruktur lewat dana kompensasi BBM, seyogianya diwujudkan untuk memperbaiki jalan-jalan di pedesaan yang kondisinya memprihatinkan. Termasuk saluran irigasi dan waduk. Semua pihak berharap dana itu bukan sekadar bagi-bagi kesenangan sementara akibat kesedihan dalam jangka panjang. Dana itu hendaknya bisa mendidik masyarakat, yang selain mensyaratkan kejujuran, perlu kerja keras dari semua elemen dalam menuju kemajuan yang dicita-citakan bersama.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar