Kamis, 20 Juni 2013

Koperasi yang Menyejahterakan

Koperasi yang Menyejahterakan
Asep Yayat ;    Wartawan Harian Umum Suara Karya
SUARA KARYA, 19 Juni 2013


Iklan pemerintah tentang peran koperasi dalam menyejahterakan masyarakat, yang belakangan ini lumayan kerap muncul di layar televisi, lebih menyiratkan harapan ketimbang penggambaran realitas di lapangan. Iklan itu lebih membangkitkan kesadaran publik bahwa peran koperasi secara umum belum mencapai tahap ideal.
Dalam kesadaran khalayak luas, sejahtera bersama koperasi masih di awang-awang. Itu tak lain karena dibanding swasta maupun pemerintah melalui kelembagaan BUMN, peran koperasi dalam ekonomi nasional memang masih tertinggal. Artinya, secara umum koperasi belum berperan signifikan dalam menyejahterakan masyarakat. Sebagai lembaga ekonomi, skala usaha koperasi secara umum relatif kecil-kecil dan tidak efisien.

Kegiatan usaha koperasi juga tidak kompetitif serta cenderung lamban dalam merespons dinamika sosial ekonomi di masyarakat. Lalu akumulasi modal juga rendah, pola produksi cenderung konservatif, pemasaran terseok-seok, dan pengurus kurang profesional. Bahkan, terutama di masa lalu, kehidupan koperasi sarat diwarnai salah kelola atau malah manipulasi keuangan oleh oknum pengurus.

Boleh jadi, kenyataan seperti itu tertoreh karena koperasi di Indonesia belum benar-benar tumbuh dari bawah. Wadah-wadah koperasi secara umum tidak lahir sebagai wujud keinginan dan semangat masyarakat untuk meraih kesejahteraan. Merunut jauh ke belakang, terutama selama Orde Baru, koperasi dibentuk lebih karena arahan dan dorongan pemerintah dalam rangka mewadahi kegiatan ekonomi yang ingin digulirkan ke tengah masyarakat.

Jadi, meski koperasi sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, kesadaran masyarakat untuk berhimpun dalam wadah ekonomi tersebut masih saja gersang. Bahkan mereka yang sudah berkoperasi pun tak selalu menunjukkan semangat tinggi. Tingkat partisipasi mereka sangat rendah sebagaimana tercermin dalam simpanan sukarela ataupun simpanan wajib yang mereka setorkan. Paling tidak, simpanan sukarela di koperasi sejauh ini tidak tampil menjadi alternatif tabungan di perbankan.

Selain itu, frekuensi dan volume anggota bertransaksi dalam wadah koperasi juga terbilang sedikit. Terlebih di zaman sekarang, terutama di perkotaan, mereka cenderung lebih senang bertransaksi memenuhi aneka kebutuhan sehari-hari di minimarket - meski itu boleh jadi karena wadah koperasi sendiri gagap atau bahkan gagal merespons dinamika masyarakat.

Kelemahan-kelemahan yang menggelayuti koperasi itu sebenarnya sudah sejak lama disadari dan dikenali. Bahkan entah sudah berapa banyak diskusi dan seminar tentang itu digelar berbagai pihak. Namun peran koperasi dalam perekonomian, khususnya dalam menyejahterakan masyarakat, tetap saja terengah-engah. Malahan, di tengah geliat ekonomi yang makin dinamis dewasa ini, peran koperasi kian jauh tertinggal dibanding swasta dan BUMN.

Pemerintah sendiri, meski pasang-surut, nyaris tak pernah kehilangan semangat untuk memajukan koperasi ini. Itu bukan saja diwujudkan dalam bentuk aturan perundangan dan ketentuan lain, melainkan juga lewat peluncuran aneka program bantuan - mulai bimbingan teknis sampai bantuan dana. Semasa Orde Baru, misalnya, semangat pemerintah ini begitu menggebu-gebu. Sampai pun kala itu pemerintah banyak melakukan intervensi langsung ke dalam rumah tangga koperasi.

Namun berbagai upaya pemerintah itu tak berhasil menempatkan koperasi menjadi tumpuan utama kegiatan ekonomi masyarakat. Tentu, itu juga berarti koperasi untuk sementara ini gagal menyejahterakan masyarakat. Mungkin karena pendekatan pemerintah yang lebih bersifat top down, perkembangan koperasi di masa lalu cenderung semu. Koperasi tidak kunjung mampu maju berkembang, sehat, dan mandiri karena telanjur sangat bergantung kepada dorongan dan aneka bantuan pemerintah. Jadi, apa yang harus dilakukan agar koperasi mampu berperan optimal menyejahterakan masyarakat, bahkan - lebih jauh - menjadi sokoguru ekonomi nasional sebagaimana amanat konstitusi?

Pertama-tama, tentu, kelembagaan koperasi sendiri harus dibenahi. Berbagai kelemahan mendasar harus diatasi terlebih dahulu. Jika tidak, mengharapkan koperasi berperan nyata dan signifikan dalam percaturan ekonomi bisa-bisa sekadar menjadi ilusi.

Pembenahan kelembagaan itu tak bisa diharapkan dapat dilakukan koperasi sendiri. Justru karena dihinggapi sejumlah kelemahan mendasar, koperasi sungguh musykil bisa memberdayakan diri. Itu berarti, bantuan pihak luar sungguh menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Pihak luar itu tidak lain adalah pemerintah selaku pihak yang mengemban amanat konstitusi meretas jalan menjadikan koprasi sebagai sokuguru ekjonomi nasional.

Jadi, bagi pemerintah, memberikan bantuan kepada koperasi sekarang ini tetap relevan dan urgen. Pertama, itu tadi: karena konstitusi mengamanatkan bahwa koperasi harus menjadi sokoguru ekonomi nasional. Kedua, karena problem kemiskinan di tengah masyarakat tetap memprihatinkan. Artinya, pemerintah berkewajiban memberdayakan koperasi sehingga mampu berperan optimal dalam percaturan ekonomi nasional, khususnya menyejahterakan masyarakat.

Dalam konteks itu, pemerintah jangan pantang mengendurkan semangat deofisialisasi perkoperasian yang digulirkan sejak awal reformasi. Deofisialisasi jangan dimaknai sebagai sikap yang cenderung membiarkan koperasi bergelut sendiri menyelesaikan aneka problematikanya, sehingga pemberian bantuan seolah-olah tindakan haram.

Deofisiealisasi selayaknya diartikan sekadar koreksi atas kekeliruan pendekatan pemerintah di masa lalu dengan tidak kelewat jauh mengurusi koperasi sehingga lembaga ekonomi tersebut sulit bisa mandiri dan maju.

Kekeliruan pemerintah di masa lalu dalam membangun koperasi memang tak boleh terulang. Keterlibatan pemerintah yang terlampau jauh terbukti mematikan inisiatif dan kemampuan koperasi untuk berkembang - bahkan sekadar untuk menolong diri sendiri. Dengan kata lain, keterlibatan pemerintah sekarang ini justru harus menumbuhkan koperasi menjadi wadah ekonomi yang sehat dan mandiri.

Untuk itu, peran utama yang perlu dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan gerakan koperasi sebagai kesadaran dan semangat dari bawah. Pemerintah jangan lagi menerapkan pendekatan top-down seperti di masa lalu karena nyata-nyata membuat gerakan koperasi cenderung tidak mengakar dan tidak mandiri.
Pemerintah juga tidak boleh tergoda lagi melakukan campur tangan terhadap rumah tangga koperasi. Campur tangan pemerintah sungguh tidak sehat: koperasi menjadi tidak otonom sehingga tak bisa membangun elan vitalnya sendiri. Jadi, keterlibatan pemerintah dalam membantu memberdayakan koperasi ini adalah sebatas memberikan bimbingan, pengawasan, dan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan koperasi berkembang sehat.

Dalam konteks itu, partisipasi anggota koperasi harus bisa ditingkatkan. Partisipasi anggota dalam berbagai aspek perkoperasian harus dibuat solid. Dalam soal permodalan, misalnya, pemerintah harus membimbing dan mendorong agar koperasi menyandarkan diri kepada aneka bentuk simpanan anggota serta modal sosial berupa cadangan kekayaan berupa aset-aset koperasi.

Partisipasi anggota dalam bentuk setoran simpanan yang lazim berlaku dalam dunia koperasi - simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dan sebagainya - harus digelorakan ke segenap pengurus dan anggota koperasi. Untuk itu, pemerintah harus mampu menumbuhkan loyalitas dan militansi anggota sehingga kiprah koperasi tidak terkendala masalah modal.

Kemampuan koperasi untuk berkembang dan mandiri bisa lebih mantap jika modal sosial lembaga tersebut berfungsi efektif sebagai jaring pengaman. Untuk itu, modal sosial berupa aset-aset itu harus bisa dijaga tetap dalam genggaman koperasi. Dalam konteks ini, pemerintah harus mampu menanamkan kesadaran kuat di kalangan anggota dan pengurus koperasi bahwa modal sosial itu tak boleh sampai dicairkan dan dibagi-bagi di antara mereka dengan alasan apa pun. Bahkan, jika memungkinkan, modal sosial ini justru lebih diperkuat.
Partisipasi anggota dalam kegiatan-kegiatan koperasi juga harus didorong menjadi optimal. Untuk itu, pemerintah lagi-lagi harus bisa menumbuhkan kesadaran di kalangan anggota koperasi bahwa kehadiran mereka dalam rapat-rapat koperasi, misalnya, sungguh penting. Demikian juga dalam bertransaksi, anggota harus bisa diyakinkan bahwa koperasi mesti dijadikan pilihan utama untuk itu. Anggota harus dibuat paham benar bahwa makin tinggi frekuensi maupun volume transaksi mereka dengan koperasi, makin besar pula kesanggupan koperasi untuk maju dan menyejahterakan.

Tetapi, tentu, untuk itu pula jajaran pengurus koperasi harus merupakan sosok-sosok yang bisa diandalkan. Mereka bukan hanya wajib memiliki komitmen dan integritas tinggi, melainkan juga punya kecakapan terukur dalam memajukan koperasi. Maka tidak keliru jika pemerintah ikut menyiapkan tenaga-tenaga profesional untuk mengisi fungsi-fungsi manajemen koperasi ini. Mereka diangkat dan semata bertanggung jawab kepada pengurus. Namun perekrutan tenaga-tenaga profesional ini dilakukan semata jika internal koperasi sendiri tidak memiliki orang yang memenuhi kualifikasi.

Bentuk bantuan lain pemerintah, yang fundamental bagi kemajuan koperasi, adalah pemberian kesempatan-kesempatan usaha. Untuk itu, program-program pemerintah harus disangkutkan dengan koperasi. Misalnya seperti di masa lalu: program penyaluran sarana produksi pertanian - juga program pengadaan pangan - yang dikaitkan dengan kiprah KUD.

Satu hal yang perlu diindahkan adalah bahwa pengaitan program-program pemerintah dengan koperasi ini harus menjamin kesinambungan kegiatan usaha koperasi itu sendiri. Karena itu, program-program pemerintah harus memiliki kaitan erat dengan kegiatan usaha koperasi. Dengan demikian, koperasi menjadi lebih mungkin punya kemampuan mengucurkan kesejahteraan secara konkret kepada masyarakat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar