|
SUARA
KARYA, 19 Juni 2013
Iklan pemerintah tentang peran
koperasi dalam menyejahterakan masyarakat, yang belakangan ini lumayan kerap
muncul di layar televisi, lebih menyiratkan harapan ketimbang penggambaran
realitas di lapangan. Iklan itu lebih membangkitkan kesadaran publik bahwa
peran koperasi secara umum belum mencapai tahap ideal.
Dalam kesadaran khalayak luas,
sejahtera bersama koperasi masih di awang-awang. Itu tak lain karena dibanding
swasta maupun pemerintah melalui kelembagaan BUMN, peran koperasi dalam ekonomi
nasional memang masih tertinggal. Artinya, secara umum koperasi belum berperan
signifikan dalam menyejahterakan masyarakat. Sebagai lembaga ekonomi, skala
usaha koperasi secara umum relatif kecil-kecil dan tidak efisien.
Kegiatan usaha koperasi juga tidak
kompetitif serta cenderung lamban dalam merespons dinamika sosial ekonomi di
masyarakat. Lalu akumulasi modal juga rendah, pola produksi cenderung
konservatif, pemasaran terseok-seok, dan pengurus kurang profesional. Bahkan,
terutama di masa lalu, kehidupan koperasi sarat diwarnai salah kelola atau
malah manipulasi keuangan oleh oknum pengurus.
Boleh jadi, kenyataan seperti itu
tertoreh karena koperasi di Indonesia belum benar-benar tumbuh dari bawah.
Wadah-wadah koperasi secara umum tidak lahir sebagai wujud keinginan dan
semangat masyarakat untuk meraih kesejahteraan. Merunut jauh ke belakang,
terutama selama Orde Baru, koperasi dibentuk lebih karena arahan dan dorongan
pemerintah dalam rangka mewadahi kegiatan ekonomi yang ingin digulirkan ke
tengah masyarakat.
Jadi, meski koperasi sudah dikenal
sejak zaman penjajahan Belanda, kesadaran masyarakat untuk berhimpun dalam
wadah ekonomi tersebut masih saja gersang. Bahkan mereka yang sudah berkoperasi
pun tak selalu menunjukkan semangat tinggi. Tingkat partisipasi mereka sangat
rendah sebagaimana tercermin dalam simpanan sukarela ataupun simpanan wajib
yang mereka setorkan. Paling tidak, simpanan sukarela di koperasi sejauh ini
tidak tampil menjadi alternatif tabungan di perbankan.
Selain itu, frekuensi dan volume
anggota bertransaksi dalam wadah koperasi juga terbilang sedikit. Terlebih di
zaman sekarang, terutama di perkotaan, mereka cenderung lebih senang
bertransaksi memenuhi aneka kebutuhan sehari-hari di minimarket - meski itu
boleh jadi karena wadah koperasi sendiri gagap atau bahkan gagal merespons
dinamika masyarakat.
Kelemahan-kelemahan yang
menggelayuti koperasi itu sebenarnya sudah sejak lama disadari dan dikenali.
Bahkan entah sudah berapa banyak diskusi dan seminar tentang itu digelar
berbagai pihak. Namun peran koperasi dalam perekonomian, khususnya dalam menyejahterakan
masyarakat, tetap saja terengah-engah. Malahan, di tengah geliat ekonomi yang
makin dinamis dewasa ini, peran koperasi kian jauh tertinggal dibanding swasta
dan BUMN.
Pemerintah sendiri, meski
pasang-surut, nyaris tak pernah kehilangan semangat untuk memajukan koperasi
ini. Itu bukan saja diwujudkan dalam bentuk aturan perundangan dan ketentuan
lain, melainkan juga lewat peluncuran aneka program bantuan - mulai bimbingan
teknis sampai bantuan dana. Semasa Orde Baru, misalnya, semangat pemerintah ini
begitu menggebu-gebu. Sampai pun kala itu pemerintah banyak melakukan
intervensi langsung ke dalam rumah tangga koperasi.
Namun berbagai upaya pemerintah
itu tak berhasil menempatkan koperasi menjadi tumpuan utama kegiatan ekonomi
masyarakat. Tentu, itu juga berarti koperasi untuk sementara ini gagal
menyejahterakan masyarakat. Mungkin karena pendekatan pemerintah yang lebih
bersifat top down, perkembangan koperasi di masa lalu cenderung semu. Koperasi
tidak kunjung mampu maju berkembang, sehat, dan mandiri karena telanjur sangat
bergantung kepada dorongan dan aneka bantuan pemerintah. Jadi, apa yang harus
dilakukan agar koperasi mampu berperan optimal menyejahterakan masyarakat,
bahkan - lebih jauh - menjadi sokoguru ekonomi nasional sebagaimana amanat konstitusi?
Pertama-tama, tentu, kelembagaan
koperasi sendiri harus dibenahi. Berbagai kelemahan mendasar harus diatasi
terlebih dahulu. Jika tidak, mengharapkan koperasi berperan nyata dan
signifikan dalam percaturan ekonomi bisa-bisa sekadar menjadi ilusi.
Pembenahan kelembagaan itu tak
bisa diharapkan dapat dilakukan koperasi sendiri. Justru karena dihinggapi
sejumlah kelemahan mendasar, koperasi sungguh musykil bisa memberdayakan diri.
Itu berarti, bantuan pihak luar sungguh menjadi kebutuhan tak terhindarkan.
Pihak luar itu tidak lain adalah pemerintah selaku pihak yang mengemban amanat
konstitusi meretas jalan menjadikan koprasi sebagai sokuguru ekjonomi nasional.
Jadi, bagi pemerintah, memberikan
bantuan kepada koperasi sekarang ini tetap relevan dan urgen. Pertama, itu
tadi: karena konstitusi mengamanatkan bahwa koperasi harus menjadi sokoguru
ekonomi nasional. Kedua, karena problem kemiskinan di tengah masyarakat tetap
memprihatinkan. Artinya, pemerintah berkewajiban memberdayakan koperasi
sehingga mampu berperan optimal dalam percaturan ekonomi nasional, khususnya
menyejahterakan masyarakat.
Dalam konteks itu, pemerintah
jangan pantang mengendurkan semangat deofisialisasi perkoperasian yang
digulirkan sejak awal reformasi. Deofisialisasi jangan dimaknai sebagai sikap
yang cenderung membiarkan koperasi bergelut sendiri menyelesaikan aneka
problematikanya, sehingga pemberian bantuan seolah-olah tindakan haram.
Deofisiealisasi selayaknya
diartikan sekadar koreksi atas kekeliruan pendekatan pemerintah di masa lalu
dengan tidak kelewat jauh mengurusi koperasi sehingga lembaga ekonomi tersebut
sulit bisa mandiri dan maju.
Kekeliruan pemerintah di masa lalu
dalam membangun koperasi memang tak boleh terulang. Keterlibatan pemerintah
yang terlampau jauh terbukti mematikan inisiatif dan kemampuan koperasi untuk
berkembang - bahkan sekadar untuk menolong diri sendiri. Dengan kata lain,
keterlibatan pemerintah sekarang ini justru harus menumbuhkan koperasi menjadi
wadah ekonomi yang sehat dan mandiri.
Untuk itu, peran utama yang perlu
dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan gerakan koperasi sebagai kesadaran dan
semangat dari bawah. Pemerintah jangan lagi menerapkan pendekatan top-down seperti di masa lalu karena
nyata-nyata membuat gerakan koperasi cenderung tidak mengakar dan tidak
mandiri.
Pemerintah juga tidak boleh
tergoda lagi melakukan campur tangan terhadap rumah tangga koperasi. Campur
tangan pemerintah sungguh tidak sehat: koperasi menjadi tidak otonom sehingga
tak bisa membangun elan vitalnya sendiri. Jadi, keterlibatan pemerintah dalam
membantu memberdayakan koperasi ini adalah sebatas memberikan bimbingan,
pengawasan, dan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan koperasi berkembang
sehat.
Dalam konteks itu, partisipasi
anggota koperasi harus bisa ditingkatkan. Partisipasi anggota dalam berbagai
aspek perkoperasian harus dibuat solid. Dalam soal permodalan, misalnya,
pemerintah harus membimbing dan mendorong agar koperasi menyandarkan diri
kepada aneka bentuk simpanan anggota serta modal sosial berupa cadangan
kekayaan berupa aset-aset koperasi.
Partisipasi anggota dalam bentuk
setoran simpanan yang lazim berlaku dalam dunia koperasi - simpanan pokok,
simpanan wajib, simpanan sukarela, dan sebagainya - harus digelorakan ke
segenap pengurus dan anggota koperasi. Untuk itu, pemerintah harus mampu
menumbuhkan loyalitas dan militansi anggota sehingga kiprah koperasi tidak
terkendala masalah modal.
Kemampuan koperasi untuk
berkembang dan mandiri bisa lebih mantap jika modal sosial lembaga tersebut
berfungsi efektif sebagai jaring pengaman. Untuk itu, modal sosial berupa
aset-aset itu harus bisa dijaga tetap dalam genggaman koperasi. Dalam konteks
ini, pemerintah harus mampu menanamkan kesadaran kuat di kalangan anggota dan
pengurus koperasi bahwa modal sosial itu tak boleh sampai dicairkan dan
dibagi-bagi di antara mereka dengan alasan apa pun. Bahkan, jika memungkinkan,
modal sosial ini justru lebih diperkuat.
Partisipasi anggota dalam
kegiatan-kegiatan koperasi juga harus didorong menjadi optimal. Untuk itu,
pemerintah lagi-lagi harus bisa menumbuhkan kesadaran di kalangan anggota
koperasi bahwa kehadiran mereka dalam rapat-rapat koperasi, misalnya, sungguh
penting. Demikian juga dalam bertransaksi, anggota harus bisa diyakinkan bahwa
koperasi mesti dijadikan pilihan utama untuk itu. Anggota harus dibuat paham
benar bahwa makin tinggi frekuensi maupun volume transaksi mereka dengan
koperasi, makin besar pula kesanggupan koperasi untuk maju dan menyejahterakan.
Tetapi, tentu, untuk itu pula
jajaran pengurus koperasi harus merupakan sosok-sosok yang bisa diandalkan.
Mereka bukan hanya wajib memiliki komitmen dan integritas tinggi, melainkan
juga punya kecakapan terukur dalam memajukan koperasi. Maka tidak keliru jika
pemerintah ikut menyiapkan tenaga-tenaga profesional untuk mengisi
fungsi-fungsi manajemen koperasi ini. Mereka diangkat dan semata bertanggung
jawab kepada pengurus. Namun perekrutan tenaga-tenaga profesional ini dilakukan
semata jika internal koperasi sendiri tidak memiliki orang yang memenuhi
kualifikasi.
Bentuk bantuan lain pemerintah,
yang fundamental bagi kemajuan koperasi, adalah pemberian kesempatan-kesempatan
usaha. Untuk itu, program-program pemerintah harus disangkutkan dengan
koperasi. Misalnya seperti di masa lalu: program penyaluran sarana produksi
pertanian - juga program pengadaan pangan - yang dikaitkan dengan kiprah KUD.
Satu hal yang perlu diindahkan
adalah bahwa pengaitan program-program pemerintah dengan koperasi ini harus
menjamin kesinambungan kegiatan usaha koperasi itu sendiri. Karena itu,
program-program pemerintah harus memiliki kaitan erat dengan kegiatan usaha
koperasi. Dengan demikian, koperasi menjadi lebih mungkin punya kemampuan
mengucurkan kesejahteraan secara konkret kepada masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar