|
TEMPO.CO,
14 Juni 2013
Pengalaman pada 2005 menunjukkan,
keputusan menaikkan harga bahan bakar minyak akan berujung pada lonjakan jumlah
penduduk miskin. Sebagai respons terhadap kenaikan harga minyak dunia,
pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, yang dilakukan dua kali, yakni
pada 1 Maret dan 1 Oktober. Keputusan ini memacu inflasi tahunan hingga
menembus angka 17,11 persen pada 2005. Harga sejumlah bahan kebutuhan pokok,
terutama beras, melambung sehingga menyebabkan daya beli masyarakat yang
menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan makanan jatuh.
Tingkat kesejahteraan mereka pun terkoreksi cukup dalam.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat, keputusan menaikkan harga BBM pada 2005 telah menyebabkan 4,2 juta
orang terjerembap ke jurang kemiskinan sepanjang Februari 2005 hingga Maret
2006. Mereka yang jatuh miskin adalah penduduk hampir miskin (near poor)
dengan tingkat kesejahteraan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin.
Lonjakan jumlah penduduk miskin ini merupakan konsekuensi dari karakteristik
kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang rentan untuk
jatuh miskin jika terjadi guncangan dalam perekonomian.
Keputusan menaikkan harga BBM pada
2005 juga menyebabkan kondisi kemiskinan semakin parah dan dalam. Ini
terkonfirmasi oleh kenaikan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index)
dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index)
pada Maret 2006 dibanding kondisi Februari 2005.
Jika tidak ada aral yang
menghalang, pada pertengahan Juni ini pemerintah bakal kembali menaikkan harga
BBM. Seperti yang terjadi pada 2005, keputusan ini hampir dapat dipastikan juga
bakal memberi pukulan telak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat dengan
kesejahteraan pas-pasan (menengah ke bawah). Pendek kata, jumlah penduduk
miskin diperkirakan bakal bertambah.
Kalaupun jumlah penduduk miskin
bertambah, tentu kita berharap kondisinya tidak separah pada 2005. Dan, belajar
dari pengalaman saat itu, sedikitnya ada dua hal yang harus dilakukan
pemerintah untuk “mengendalikan” kenaikan jumlah penduduk miskin akibat
keputusan menaikkan harga BBM, yakni mengelola inflasi dan menjaga daya beli
penduduk hampir miskin.
Mengelola inflasi
Pemerintah harus menjamin bahwa
dampak inflasi yang terjadi akibat kenaikan harga BBM dapat dikelola dengan
baik (manageable). Kenaikan harga BBM jangan sampai mengerek inflasi
tahunan hingga melampaui perkiraan Bank Indonesia, yakni sebesar 7,76 persen (Tempo,
28 Mei 2013). Dengan kata lain, tambahan inflasi sepanjang 2013 jangan sampai
lebih besar dari 2,46 persen.
Tekanan inflasi dalam 5-6 bulan
mendatang bakal sangat dirasakan oleh kelompok penduduk yang menerima dampak
langsung kenaikan harga BBM, yakni mereka yang menggunakan BBM dalam melakukan
aktivitas sehari-hari, seperti petani dan nelayan. Celakanya, sebagian besar
penduduk miskin dan hampir miskin justru tinggal di pedesaan dan bekerja
sebagai petani serta nelayan. Hasil pendataan Program Perlindungan Sosial yang
diselenggarakan BPS pada 2011 (PPLS 2011) menunjukkan 9,79 juta rumah tangga
atau 60,97 persen dari total rumah tangga dengan status kesejahteraan 30 persen
terendah menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian―yang mencakup
subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan
kehutanan.
Bagi petani dan nelayan, kenaikan
harga BBM akan meningkatkan biaya produksi karena naiknya harga solar untuk
melaut dan meningkatnya harga sarana produksi pertanian, seperti pupuk dan
obat-obatan. Sedangkan pada saat bersamaan, petani dan nelayan juga merupakan
konsumen yang harus membeli barang dan jasa dengan harga lebih tinggi. Karena
itu, daya beli atau tingkat kesejahteraan petani dan nelayan hampir dapat
dipastikan bakal menurun akibat naiknya biaya produksi dan biaya konsumsi di
pedesaan (inflasi pedesaan). Secara statistik, hal ini bakal terkonfirmasi oleh
menurunnya indeks nilai tukar petani (NTP): indikator yang menunjukkan tingkat
kesejahteraan petani.
Pemerintah harus mewaspadai inflasi
yang digerakkan oleh kenaikan harga berbagai bahan makanan (inflasi kelompok
bahan makanan), terutama beras, sebagai akibat meningkatnya biaya produksi dan
distribusi di sektor pertanian serta meningkatnya biaya angkutan. Pengawasan
ketat untuk mencegah kenaikan harga komoditas pangan secara tak wajar juga
perlu dilakukan oleh pemerintah. Diketahui, sebagian besar pengeluaran penduduk
miskin dan hampir miskin dihabiskan untuk membeli makanan terutama beras.
Proporsinya mencapai 60-75 persen terhadap total pengeluaran.
BLT
Terlepas dari siapa yang paling
diuntungkan secara politik di balik pemberian bantuan langsung tunai (BLT), apa
pun namanya, program-program unconditional cash transfer seperti
BLT merupakan pilihan terbaik untuk meredam gempuran inflasi terhadap daya beli
penduduk miskin dan hampir miskin akibat kenaikan harga BBM. Pengalaman pada
2005 menunjukkan, pemberian BLT cukup efektif untuk meredam kian memburuknya
kondisi kemiskinan akibat kenaikan harga BBM.
Dalam soal kenaikan harga BBM,
konteks BLT adalah darurat. Memang tidak direkomendasikan sebagai program
penanggulangan kemiskinan dalam jangka panjang karena, sebagaimana diketahui,
program ini miskin dimensi pemberdayaan. Dalam soal kenaikan harga BBM, BLT
adalah jalan mulia untuk menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir miskin
dari tekanan inflasi. Dan tentunya, belajar dari pengalaman sebelum-sebelumnya,
penyaluran BLT diupayakan harus tepat sasaran untuk mencegah terjadinya gejolak
sosial di masyarakat. Terkait dengan hal ini, akurasi data obyek (rumah tangga)
sasaran penerima program bantuan harus diperbaiki. Penyaluran BLT akan
didasarkan pada basis data hasil PPLS 2011. Pemerintah sebaiknya melakukan
pemutakhiran terlebih dulu terhadap basis data tersebut sebelum digunakan,
mengingat status kemiskinan rumah tangga bersifat dinamis.
Jangka panjang
Akhirnya, terlepas dari berbagai
alasan yang dikemukakan pemerintah sehingga harus menaikkan harga BBM, dalam
jangka panjang harus diupayakan agar kondisi seperti ini tidak terus berulang.
Negeri ini harus lepas dari ketergantungan pada BBM bersubsidi yang membebani
anggaran. Disadari atau tidak, selalu ada ongkos politik, sosial, dan ekonomi
dari tarik-ulur keputusan menaikkan harga BBM. Dari sisi ekonomi, tarik-ulur
soal kenaikan harga BBM telah berujung pada menurunnya peringkat investasi
Indonesia menurut sejumlah lembaga pemeringkat internasional.
Seperti yang telah banyak
dikemukakan oleh sejumlah kalangan, ada banyak langkah yang bisa ditempuh untuk
keluar dari ketergantungan pada BBM bersubsidi, seperti pengembangan sumber
energi alternatif, konversi BBM ke gas, dan pengembangan transportasi massal.
Memang tidak mudah, keseriusan pemerintah dan kita semua dibutuhkan dalam hal
ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar