|
TEMPO.CO, 11 Juni 2013
Tak bisa dimungkiri, wacana
konvensi yang dibangun Partai Demokrat adalah sebuah strategi politik membangun
atensi publik terhadap partai tersebut. Hal ini terjadi karena tiga
slogan—bersih, cerdas, santun—yang dipromosikan SBY hampir tidak berlaku lagi
bagi persepsi publik saat ini. Sulit bagi kita untuk percaya bahwa PD masih
“tidak pada korupsi”, politik santun dan cerdas pun terasa kontradiktif bila
melihat perseteruan dan komunikasi politik para politikus PD di media. Walhasil
memang, konvensi adalah hal paling sederhana sekaligus solutif untuk memenuhi
dua kebutuhan penting partai: simpati publik dan kandidat presiden penerus SBY.
Sayangnya, sekalipun politikus PD
serempak mengatakan terbuka bagi siapa pun (Koran Tempo, 3 Juni 2013),
mekanisme konvensi demokratis yang dibayangkan publik tetap berada di bawah
kendali para oligarki yang terlembaga dalam Majelis Tinggi (MT). Pada dasarnya,
keputusan capres Partai Demokrat sesuai dengan AD/ART (pasal 13, poin 5.a)
hanya ditentukan oleh sembilan orang Majelis Tinggi partai.
Artinya, capres
hasil konvensi—setelah melalui mekanisme penjaringan, pendaftaran, seleksi,
kampanye, dan uji elektabilitas—tetap terletak pada preferensi elite melalui
otoritas yang diberikan kepada 9 orang Majelis Tinggi partai. Kandidat yang
lolos dalam konvensi PD akhirnya masuk dalam logika mandatoris elite partai.
Konvensi PD menjadi semacam konvensi setengah hati.
Jika memang demikian, konvensi PD
akhirnya serupa tapi tak sama dengan konvensi Golkar pada 2003 yang akhirnya
memenangkan Wiranto. Golkar (kepemimpinan Akbar Tandjung), dalam menyongsong pemilu
presiden 2004, merealisasi gagasan konvensi hanya dengan diikuti oleh elite
partai politik di tingkat pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dengan
proporsi bobot suara yang berbeda. Hasilnya jelas, Wiranto, yang menang
konvensi, kalah dalam pemilu presiden. Sedangkan Jusuf Kalla, yang kalah dalam
konvensi dan kemudian maju menjadi cawapres dengan SBY, akhirnya menang pada
2004. PD akan bernasib sama jika mekanisme “uji publik” via survei hanya
menjadi pertimbangan minor dan sekadar penggaet atensi publik.
Sebab, capres
pilihan partai hanya merefleksikan preferensi elite minus publik.
Apalagi jika kita melihat
konstelasi PD post-Anas, maka konvensi adalah peranti paling
strategis bagi SBY untuk menutup peluang kepentingan politik kelompok “non-SBY”,
karena determinasi konvensi hanya terletak pada dua pendulum: publik dan MT di
bawah kendali SBY. Di sisi lain, terjadi diaspora faksi pasca-Anas.
Namun, terlepas dari kritik
mekanisme konvensi Partai Demokrat, kita harus jujur mengatakan bahwa konvensi
dalam tataran ide adalah terobosan penting dalamroadmad konsolidasi
demokrasi di Indonesia. Dalam sejarah politik kepartaian di Indonesia,
kelahiran partai dan dinamika kepartaian selanjutnya justru disebabkan oleh
presiden terpilih. Presiden yang melahirkan dan menentukan gerak dinamika
partai politik, bukan justru sebaliknya: Sukarno (PNI), Soeharto (Golkar), Gus
Dur (PKB), Megawati (PDIP), dan SBY (PD). Padahal kelahiran partai adalah
refleksi pembilahan sosial yang direpresentasikannya (Arendt Lijphart, 1969),
sehingga jika mengikut gagasan konsosional demokrasi ala Lijphart tersebut,
maka presiden yang mengikuti ideologi dan platform partai, bukan partai yang
justru dibimbing presiden terpilih. Sejauh ini, tiket capres selalu otomatis
dipegang oleh orang kuat (patron) partai sebagai investor terbesar partai, baik
karena genetik, logistik, maupun taktik.
Artinya, gagasan konvensi akan
mengembalikan ide dasar ini. Sebab, struktur kekuasaan partai tidak lagi
menggunakan legitimasi penuh “restu bapak” atau “restu ibu”. Logika gagasan ini
mirip PDIP yang mulai membuka wacana pengusungan kandidat capres alternatif
dari kalangan muda seperti Jokowi (Koran Tempo, 29 Mei 2013). Hal itu
mengubah logika kandidasi presiden selama ini: partai tak pernah melahirkan
capres, melainkan capres-lah yang melahirkan dan merawat partai. Artinya,
gagasan kandidasi non-patron menjadi mekanisme intra-party yang
akan membalik pola kepemimpinan nasional dan logika politik kepartaian selama
ini.
Selanjutnya, partai juga mempunyai
kapasitas untuk melakukan injeksi ideologi, platform, dan program melalui
penguasaan kursi eksekutif, karena terjadi fatsun politik terhadap presiden
terpilih dengan partai pengusungnya. Bukan seperti yang selama ini terjadi:
nalar politik partai, slogan organisasi, dan kerja organisasi ditentukan oleh
presiden dari partai.
Jika melihat korelasi konvensi
dengan elektabilitas partai, konvensi akan menciptakan dua spektrum kemungkinan
elektabilitas. Pertama, elektabilitas PD akan naik tak terlalu tinggi ketika
konvensi hanya mempromosikan partai melalui pencangkokan popularitas figur yang
mengikuti konvensi. Kedua, elektabilitas PD akan naik signifikan jika konvensi
adalah bentuk promosi program dan platform partai melalui pakta kesepakatan
partai dengan calon peserta konvensi sebelumnya untuk membawa misi kepartaian.
Sebab, sejatinya secara teoretis
berdasarkan pengalaman Amerika Serikat, konvensi berfungsi untuk tiga hal: 1)
memilih kandidat presiden yang paling kompatibel dengan partai dan publik; 2)
mempromosikan program dan agenda partai sebagai institutional branding dalam
tatanan sistem presidensial; serta 3) menjaga kohesi politik di internal partai
melalui mekanisme yang menjadi kesepakatan elite partai.
Akhirnya, ada dua saran penting
bagi PD. Pertama, preferensi elite melalui MT cukup terletak di awal saat
menyeleksi calon peserta konvensi, sehingga kandidat peserta konvensi adalah
orang yang paling merefleksikan kepentingan PD. Artinya, secara kuantitas akan
lebih baik tidak lebih dari tiga orang (dua atau tiga), baru setelahnya peserta
terpilih melakukan kampanye konvensi dan berakhir dengan hasil pilihan publik
tertinggi seperti 50+1 atau >30% tertinggi.
Kedua, jika tetap menggunakan
mekanisme dengan MT diwakili tim independen partai berada di penjaringan awal
dan MT di penentuan akhir, hasil survei harus dipublikasikan secara terbuka.
Artinya, hasil survei atau polling publik akan berpotensi
ditutup jika peraih tertinggi tidak sesuai dengan kepentingan elite partai
(baca: SBY). Di titik ini, hasil preferensi publik harus dibuka kepada khalayak
sehingga akan berfungsi ganda: 1) benar-benar menjadi bahan pertimbangan di MT;
2) menjadi bahan publik untuk mengukur tingkat kesesuaian hasil survei atau pengukuran hasil preferensi publik lainnya dengan
keputusan MT. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar