Rabu, 12 Juni 2013

Menantu Sukarno

Menantu Sukarno
Asvi Warman Adam ;   Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KORAN TEMPO, 11 Juni 2013


Taufiq Kiemas, yang ketika itu belum menjabat Ketua MPR, memberikan sumbangan Rp 100 juta yang diberikan dalam dua kali pembayaran. Yang menarik, uang itu diserahkan kepada panitia penggalian makam Tan Malaka di SPBU milik Taufiq Kiemas di Tebet.
Menantu Sukarno, itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan sosok dan kiprah Taufiq Kiemas, yang berpulang di Singapura pada 8 Juni 2013. Dia mempelajari pemikiran Sukarno, proklamator sekaligus mertuanya, dan menjalankannya dengan gayanya sendiri yang khas.
Saya pernah dua kali berkunjung ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, sebelum penggalian makam Tan Malaka pada 2008. Keluarga dan pendukung Tan Malaka kesulitan soal dana untuk menggali sebuah makam yang telah diketahui lokasinya berdasarkan riset Harry Poeze di sebuah desa di Kediri. Departemen Sosial, yang semasa Orde Baru mencampakkannya, telah mengakui kembali Tan Malaka. Namun mereka hanya memiliki anggaran untuk pemugaran makam, bukan untuk menentukan apakah sebuah tempat di Jawa Timur memang kuburan sang Pahlawan Nasional.
Taufiq Kiemas, yang ketika itu belum menjabat Ketua MPR, memberikan sumbangan Rp 100 juta yang diberikan dalam dua kali pembayaran. Yang menarik, uang itu diserahkan kepada panitia penggalian makam Tan Malaka di SPBU milik Taufiq Kiemas di Tebet. Jadi uang itu betul-betul sumbangan pribadi Taufiq Kiemas, terutama untuk transportasi dan honor tiga orang dokter spesialis forensik yang terkemuka dari Jakarta sampai ke desa di Jawa Timur.
Dalam pertemuan dengan Taufiq Kiemas di rumahnya, ia memuji Partai Murba yang didirikan Tan Malaka, walaupun kecil ternyata efektif dan lincah. Hal ini terbukti dengan diangkatnya tokoh partai tersebut sebagai menteri, seperti Chaerul Saleh dan Adam Malik, selain Sukarni-tokoh pemuda yang menculik Sukarno Agustus 1945-sebagai Duta Besar di Beijing. Menteri Pendidikan era Sukarno, Prijono, dikenal sebagai simpatisan Murba. Taufiq Kiemas sangat mengagumi Adam Malik, meski kiprahnya sering disindir "molak-malik", ternyata mampu menjadi Duta Besar di Moskow era Sukarno, dan berlanjut pada posisi Menteri Luar Negeri masa Orde Baru, bahkan pernah menjadi Wakil Presiden. Taufiq menyarankan saya untuk menulis biografi Chaerul Saleh, yang belum terealisasi sampai sekarang.
Walaupun PDIP adalah partai oposisi, saya tidak heran ketika kemudian Taufiq Kiemas diproses dan berhasil menjadi Ketua MPR. Setelah menjadi Ketua MPR, ia menggagas pertemuan antar-ketua lembaga tinggi negara secara berkala. Ini untuk memperlihatkan kepada rakyat bahwa pemimpin mereka rukun-rukun saja, meskipun berasal dari partai politik yang berbeda.
Persatuan sangat digandrungi Bung Karno sejak muda, bahkan sampai menjadi presiden. Konsep Nasakom yang telah dikemukakannya pada 1920-an memperlihatkan kecenderungan tersebut. Pancasila pun pada hakikatnya perekat dan pemersatu bangsa. Menurut Sukarno, Pancasila bisa diperas menjadi trisila dan ekasila. Ekasila itu adalah gotong-royong. Gotong-royong itu adalah mata uang dengan dua sisi, satunya lagi adalah persatuan. Persatuan merupakan prasyarat terlaksananya gotong-royong, sementara itu gotong-royong itu sendiri pada gilirannya akan mengokohkan persatuan.
Taufiq Kiemas sadar akan pentingnya persatuan walaupun organisasi bisa berbeda. Ia membantu dokter Ciptaning-penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI-yang waktu itu belum menjadi anggota DPR. Ciptaning pernah ditugasi mengurus manajemen SPBU milik Taufiq Kiemas. Ia juga memberikan sumbangan kepada Ibu Sulami (almarhum), tokoh Gerwani. Tapi Taufiq Kiemas juga mendukung pencalonan tokoh Katolik, Kasimo, sebagai pahlawan nasional waktu seminar pengusulannya di Hotel Santika Jakarta.
Taufiq Kiemas mendambakan penyelesaian konflik sejarah masa lalu. Ia sangat mendukung kegiatan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang dirintis oleh anak-anak tokoh yang pernah berseberangan, bahkan bertikai pada masa lalu, seperti Letjen (Pur) Agus Widjojo (putra Pahlawan Revolusi Mayjen Sutoyo), Amelia Yani (putri Jenderal A. Yani), Ilham Aidit (anak Ketua PKI D.N. Aidit), dan Sardjono Kartosuwiryo (putra pemimpin DI/TII Kartosuwiryo). Ketika MPR ditugasi mensosialisasi empat pilar yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, Taufiq Kiemas mengajak segenap komponen bangsa untuk berpartisipasi, termasuk melibatkan FSAB. Bahkan, ketika peresmian situs Bung Karno di Ende, Flores, oleh Wakil Presiden, yang juga dihadiri Ketua MPR, pada 1 Juni 2013, saya dapat telepon dari Ilham Aidit bahwa ia masuk rombongan yang diajak ke sana.
Suatu hari pada 2012, para sejarawan, seperti Taufik Abdullah, Anhar Gonggong, dan saya, diundang oleh Prof Jimly Asshiddiqie, yang menjadi anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, untuk berdiskusi di Hotel Sultan Jakarta. Tampaknya, penyelenggara pertemuan itu adalah Sekjen MPR atas prakarsa Taufiq Kiemas. Yang menjadi keprihatinan Taufiq Kiemas adalah TAP MPRS Nomor XXXIII/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto. Walaupun TAP tersebut sudah dinyatakan selesai (einmalig) dengan TAP Nomor I/MPR/2003, konsideran TAP MPRS itu, yang menyebut Sukarno secara tidak langsung membantu G30S, masih menjadi stigma di mata keluarga dan pendukung Bung Karno.
Dalam diskusi disimpulkan sementara, perlu dikeluarkan keputusan presiden untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum. Sementara itu, dipandang bahwa gelar Pahlawan Proklamator yang diberikan kepada Sukarno (dan Hatta) pada 1986 lebih tinggi derajatnya daripada gelar Pahlawan Nasional apa pun sebutannya (Pahlawan Revolusi, Pahlawan Nasional, Pahlawan Kemerdekaan Nasional). Namun pada 8 November 2012, Sukarno dan Hatta diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Tidak ada yang menolak pemberian gelar ini, sungguhpun dari ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 kurang sesuai. Namun diharapkan pengangkatan tersebut akan menghapus stigma terhadap Bung Karno. Selain itu, Taufiq Kiemas berhasil menjadikan tanggal 1 Juni diperingati sebagai Peringatan Pidato Sukarno 1 Juni.

Yang belum terlaksana sampai hari ini adalah Penetapan Presiden tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Diharapkan Ketua MPR yang baru adalah politikus yang dapat melanjutkan upaya mengawal empat pilar kebangsaan yang telah dirintis Taufiq Kiemas. Taufiq Kemas berpulang pada 8 Juni 2013 di Singapura. Berita tentang haul mantan presiden Soeharto di Kemusuk menjadi terimpit oleh liputan tentang kematian sang Ketua MPR yang notabene menantu Sukarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar