|
KORAN TEMPO, 11 Juni 2013
Taufiq Kiemas, yang ketika itu belum menjabat Ketua MPR,
memberikan sumbangan Rp 100 juta yang diberikan dalam dua kali pembayaran. Yang
menarik, uang itu diserahkan kepada panitia penggalian makam Tan Malaka di SPBU
milik Taufiq Kiemas di Tebet.
Menantu Sukarno, itulah kata yang paling tepat untuk
menggambarkan sosok dan kiprah Taufiq Kiemas, yang berpulang di Singapura pada
8 Juni 2013. Dia mempelajari pemikiran Sukarno, proklamator sekaligus
mertuanya, dan menjalankannya dengan gayanya sendiri yang khas.
Saya pernah dua kali berkunjung ke rumahnya di Jalan Teuku
Umar, Jakarta, sebelum penggalian makam Tan Malaka pada 2008. Keluarga dan
pendukung Tan Malaka kesulitan soal dana untuk menggali sebuah makam yang telah
diketahui lokasinya berdasarkan riset Harry Poeze di sebuah desa di Kediri.
Departemen Sosial, yang semasa Orde Baru mencampakkannya, telah mengakui
kembali Tan Malaka. Namun mereka hanya memiliki anggaran untuk pemugaran makam,
bukan untuk menentukan apakah sebuah tempat di Jawa Timur memang kuburan sang
Pahlawan Nasional.
Taufiq Kiemas, yang ketika itu belum menjabat Ketua MPR,
memberikan sumbangan Rp 100 juta yang diberikan dalam dua kali pembayaran. Yang
menarik, uang itu diserahkan kepada panitia penggalian makam Tan Malaka di SPBU
milik Taufiq Kiemas di Tebet. Jadi uang itu betul-betul sumbangan pribadi
Taufiq Kiemas, terutama untuk transportasi dan honor tiga orang dokter
spesialis forensik yang terkemuka dari Jakarta sampai ke desa di Jawa Timur.
Dalam pertemuan dengan Taufiq Kiemas di rumahnya, ia memuji
Partai Murba yang didirikan Tan Malaka, walaupun kecil ternyata efektif dan
lincah. Hal ini terbukti dengan diangkatnya tokoh partai tersebut sebagai
menteri, seperti Chaerul Saleh dan Adam Malik, selain Sukarni-tokoh pemuda yang
menculik Sukarno Agustus 1945-sebagai Duta Besar di Beijing. Menteri Pendidikan
era Sukarno, Prijono, dikenal sebagai simpatisan Murba. Taufiq Kiemas sangat
mengagumi Adam Malik, meski kiprahnya sering disindir "molak-malik",
ternyata mampu menjadi Duta Besar di Moskow era Sukarno, dan berlanjut pada
posisi Menteri Luar Negeri masa Orde Baru, bahkan pernah menjadi Wakil
Presiden. Taufiq menyarankan saya untuk menulis biografi Chaerul Saleh, yang
belum terealisasi sampai sekarang.
Walaupun PDIP adalah partai oposisi, saya tidak heran
ketika kemudian Taufiq Kiemas diproses dan berhasil menjadi Ketua MPR. Setelah
menjadi Ketua MPR, ia menggagas pertemuan antar-ketua lembaga tinggi negara
secara berkala. Ini untuk memperlihatkan kepada rakyat bahwa pemimpin mereka
rukun-rukun saja, meskipun berasal dari partai politik yang berbeda.
Persatuan sangat digandrungi Bung Karno sejak muda, bahkan
sampai menjadi presiden. Konsep Nasakom yang telah dikemukakannya pada 1920-an
memperlihatkan kecenderungan tersebut. Pancasila pun pada hakikatnya perekat
dan pemersatu bangsa. Menurut Sukarno, Pancasila bisa diperas menjadi trisila
dan ekasila. Ekasila itu adalah gotong-royong. Gotong-royong itu adalah mata
uang dengan dua sisi, satunya lagi adalah persatuan. Persatuan merupakan prasyarat
terlaksananya gotong-royong, sementara itu gotong-royong itu sendiri pada
gilirannya akan mengokohkan persatuan.
Taufiq Kiemas sadar akan pentingnya persatuan walaupun
organisasi bisa berbeda. Ia membantu dokter Ciptaning-penulis buku Aku Bangga Jadi Anak PKI-yang waktu itu
belum menjadi anggota DPR. Ciptaning pernah ditugasi mengurus manajemen SPBU
milik Taufiq Kiemas. Ia juga memberikan sumbangan kepada Ibu Sulami (almarhum),
tokoh Gerwani. Tapi Taufiq Kiemas juga mendukung pencalonan tokoh Katolik, Kasimo,
sebagai pahlawan nasional waktu seminar pengusulannya di Hotel Santika Jakarta.
Taufiq Kiemas mendambakan penyelesaian konflik sejarah masa
lalu. Ia sangat mendukung kegiatan Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang
dirintis oleh anak-anak tokoh yang pernah berseberangan, bahkan bertikai pada
masa lalu, seperti Letjen (Pur) Agus Widjojo (putra Pahlawan Revolusi Mayjen
Sutoyo), Amelia Yani (putri Jenderal A. Yani), Ilham Aidit (anak Ketua PKI D.N.
Aidit), dan Sardjono Kartosuwiryo (putra pemimpin DI/TII Kartosuwiryo). Ketika
MPR ditugasi mensosialisasi empat pilar yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945,
NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, Taufiq Kiemas mengajak segenap komponen bangsa
untuk berpartisipasi, termasuk melibatkan FSAB. Bahkan, ketika peresmian situs
Bung Karno di Ende, Flores, oleh Wakil Presiden, yang juga dihadiri Ketua MPR,
pada 1 Juni 2013, saya dapat telepon dari Ilham Aidit bahwa ia masuk rombongan
yang diajak ke sana.
Suatu hari pada 2012, para sejarawan, seperti Taufik
Abdullah, Anhar Gonggong, dan saya, diundang oleh Prof Jimly Asshiddiqie, yang
menjadi anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, untuk berdiskusi
di Hotel Sultan Jakarta. Tampaknya, penyelenggara pertemuan itu adalah Sekjen
MPR atas prakarsa Taufiq Kiemas. Yang menjadi keprihatinan Taufiq Kiemas adalah
TAP MPRS Nomor XXXIII/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada
Soeharto. Walaupun TAP tersebut sudah dinyatakan selesai (einmalig) dengan TAP Nomor I/MPR/2003, konsideran TAP MPRS itu,
yang menyebut Sukarno secara tidak langsung membantu G30S, masih menjadi stigma
di mata keluarga dan pendukung Bung Karno.
Dalam diskusi disimpulkan sementara, perlu dikeluarkan
keputusan presiden untuk menyelesaikan persoalan ini secara hukum. Sementara
itu, dipandang bahwa gelar Pahlawan Proklamator yang diberikan kepada Sukarno
(dan Hatta) pada 1986 lebih tinggi derajatnya daripada gelar Pahlawan Nasional
apa pun sebutannya (Pahlawan Revolusi, Pahlawan Nasional, Pahlawan Kemerdekaan
Nasional). Namun pada 8 November 2012, Sukarno dan Hatta diangkat menjadi
Pahlawan Nasional. Tidak ada yang menolak pemberian gelar ini, sungguhpun dari
ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 kurang sesuai. Namun
diharapkan pengangkatan tersebut akan menghapus stigma terhadap Bung Karno.
Selain itu, Taufiq Kiemas berhasil menjadikan tanggal 1 Juni diperingati
sebagai Peringatan Pidato Sukarno 1 Juni.
Yang belum terlaksana sampai hari ini adalah Penetapan
Presiden tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Diharapkan Ketua MPR yang
baru adalah politikus yang dapat melanjutkan upaya mengawal empat pilar
kebangsaan yang telah dirintis Taufiq Kiemas. Taufiq Kemas berpulang pada 8
Juni 2013 di Singapura. Berita tentang haul mantan presiden Soeharto di Kemusuk
menjadi terimpit oleh liputan tentang kematian sang Ketua MPR yang notabene
menantu Sukarno. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar