|
KOMPAS, 09 Juni 2013
Pakar
komunikasi politik senantiasa berujar ”pemerintahan yang bekerja baik tanpa
komunikasi publik yang baik hanya melahirkan kisah beragam kegagalan serta
hilangnya panduan, sementara pemerintah yang bekerja biasa saja tetapi mampu
melakukan komunikasi publik yang baik, maka akan dikenang sebagai pemerintahan
yang berhasil”.
Contoh
paling populer adalah pemerintahan Ronald Reagan (1981-1989) yang terkenal
dengan ”Reaganomic”-nya, yang mampu memberi citra ”impian kesejahteraan
Amerika”. Ia dianggap mampu melahirkan renaisans ideologi Amerika meski
sesungguhnya kapasitas individu serta prestasinya tidaklah luar biasa.
Salah
satu status dan peran penting komunikasi publik Presiden, khususnya Indonesia,
tentu saja, mereka yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, yakni Setkab (Sekretariat Presiden) dijabat oleh Dipo Alam.
Salah satu fungsinya menyelenggarakan hubungan masyarakat, fungsi protokoler,
serta analisis dan penyampaian kebijakan pemerintah, baik pada masyarakat
maupun lembaga pemerintahan.
Bisa
diduga, seluruh ucapan Setkab akan selalu menjadi representasi komunikasi politik
Presiden alias Istana. Dalam seloroh disebut ”Setkab adalah pengeras suara
Presiden”.
Pakar
komunikasi berujar bahwa Setkab akan selalu berhadapan dengan gelombang kritik
terhadap Presiden. Yang dikategorikan dalam banyak aspek: kritik kritis sebagai
anjing penjaga bangsa atau kritik sebagai anjing penyerang kekuasaan yang
membahayakan pemerintahan.
Maka,
tugas Setkab dalam menghadapi gelombang kritik komunikasi politik selayaknya
bermoto ”anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”. Artinya, juru komunikasi
Presiden mempunyai kapasitas agar Presiden beserta kabinetnya sebagai kafilah
mampu terus menuju tujuan yang sudah ditunggu rakyat, sementara beragam
gonggongan mampu dikelola secara efisien.
Salah
satunya adalah dengan melakukan komunikasi yang mengandung empat esensi
penting. Pertama, kemampuan menyampaikan pikiran Presiden, termasuk
mengklarifikasi sekiranya terdapat bias lewat kemampuan analisis ekonomi,
politik hingga keamanan. Kedua, kemampuan mengelola konflik untuk menjadikan
setiap musuh menjadi dukungan. Peran ketiga sebagai panduan kerja birokrasi
menjawab seluruh kritik dengan kerja pelayanan konkret. Keempat, yang justru
penting, kemampuan mentransformasi emosi Presiden menjadi komunikasi publik
yang tetap terjaga memandu bangsa, bukan justru menjadi pengeras suara emosi
presiden. Harus dicatat, sangatlah wajar Presiden secara pribadi dalam ruang
pribadi menjadi emosional menghadapi gelombang kritik terus-menerus.
Celakanya,
ketika Presiden secara pribadi emosional, sering kali di negeri ini, kinerja
komunikasi politik Istana malah menjadikan pepatah berganti ”anjing
menggonggong kafilah dan aparatnya diajak menggonggong”. Bisa ditebak, suasana
menjadi riuh, penuh konflik, sementara kafilah tak pernah sampai tujuan,
masyarakat kehilangan panduan.
Kasus
konkret dari penggambaran di atas adalah reaksi Setkab atas surat keberatan
Romo Franz Magnis-Suseno kepada panitia di Amerika atas penghargaan World
Statesman terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Setkab Dipo Alam saat itu
berujar: ”...jadi kata-kata Pak Magnis, dia matanya dangkal, melihat Indonesia
seolah hanya dari TV.”
Cuplikan
pendek di atas terbaca jauh dari sifat analisis serta panduan berbangsa.
Alih-alih memandu malah melahirkan konflik, alih-alih meredam malah memacu
konflik, alih-alih melahirkan dukungan malah melahirkan perlawanan, alih-alih
analisis malah terasa sebagai transformasi emosi.
Prestasi
Presiden dalam dua masa jabatan, sekiranya tidak disertai panduan komunikasi
politik Istana yang mampu memandu komunikasi berbangsa sekaligus panduan
instruksi kerja nyata birokrasi menjawab gelombang kritik, adalah munculnya
pemerintahan yang kehilangan sejarah prestasinya sekaligus hilangnya panduan
berbangsa mengelola demokrasi menjadi semangat membangun bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar