|
KOMPAS, 09 Juni 2013
”Apakah kami sebagai aktor harus pasrah
untuk berakting? Pastinya kami harus berpikir dengan baik. Kami harus tahu
kenapa kami bermain, apa yang kami mainkan, dan siapa yang kami serang dalam
permainan kami. Dan untuk itu kami harus tahu sisi psikologis permainan kami
secara signifikan. Untuk memastikan apakah karakter itu positif atau negatif.
Untuk memahami masyarakat, atau bagian mana dari masyarakat yang ingin dilawan
oleh penulis naskah kami.”
(Surat Meyerhold, murid sekaligus aktor Stanislavsky untuk istrinya yang
ditulis tahun 1901)
Dalam
teater, aktor adalah kekuatan utama untuk menyampaikan pesan pertunjukan kepada
penonton, baik pesan yang diusung teks (naskah) maupun pesan sutradara dan
kelompok pertunjukan yang menafsir teks itu.
Artinya,
ada kekuatan lain di atas panggung yang harus dicermati oleh aktor. Kekuatan
itu mesti dipahami latar belakangnya, potensinya hingga relasi keberadaannya
dengan diri aktor. Syukur-syukur kekuatan itu mampu menjadi teman seperjuangan
aktor mencapai tujuan (menyampaikan pesan) pertunjukan.
Pesan
yang disampaikan pertunjukan biasanya terdiri dari dua hal, yakni pesan tematik
(pokok permasalahan yang menjadi sandaran alur cerita) dan pesan estetik
(keindahan berikut takarannya) yang menyentuh hati penonton hingga memberi
kesan kuat untuk lebih peduli (terlibat) terhadap permasalahan yang dipentaskan
(saat melihat maupun seusainya).
Itu
sejalan dengan Richard Boleslavsky (dalam The First Six Lessons) bahwa teater adalah keagungan penciptaan,
kemurnian, keindahan, sesuatu yang lebih besar dari kehidupan. Ia menganggap
teater adalah misteri besar di mana ada penggabungan antara dua gejala abadi,
yaitu keinginan pada kesempurnaan dan keinginan pada keabadian. Ia juga
meyakini bahwa dalam sebuah teater kreatif, sasaran seorang aktor adalah sukma
manusia.
Artinya,
ada beberapa pesan (dari luar dirinya) yang menjadi tanggung jawab aktor untuk
menyampaikannya dengan utuh. Padahal sudah barang tentu (sebagai manusia) aktor
mempunyai keinginan untuk menyelipkan pesan pribadinya yang mempresentasikan
aktualisasi dirinya. Sementara sebagai manusia, ia memiliki potensi yang
terbatas. Dia hanya punya tubuh dan beberapa hal ”di dalam” tubuh yang
mendorong aktivitasnya, seperti kekuatan pikir dan rasa.
Stanislavsky
sudah menyadari soal itu saat mengolah teori-teorinya bersama Moscow Art Theater (1921-1928). Di antara
hal yang dia bangun dalam pola keaktoran masa itu adalah soal intelegensi.
Stanislavsky juga sadar betul bahwa permainan terbaik seorang aktor akan
ditampilkan oleh penjiwaan yang baik.
Di
antara berbagai kekuatan dan kepentingan berikut aneka relasinya itulah aktor
dengan keterbatasannya melaksanakan kewajiban. Satu-satunya hal yang memberi
alasan bagus agar aktor tidak gentar melakukan kewajibannya adalah, keberadaan
waktu untuk melakoni proses latihan dengan segala kemungkinan bertumbuhnya
pemahaman hingga mencapai kematangan sikap saat pertunjukan.
Keterbatasannya
sebagai manusia, kala dipadukan dengan konsep pertumbuhan pemahaman yang hanya
bisa dicapai lewat proses, pada gilirannya akan menjelma keleluasaan dan
keberdayaan di luar dugaan. Apa yang semula tak terbayangkan (terselip) dalam
teks bakal mengemuka di pertunjukan. Apa yang semula tak terungkap lewat tafsir
sutradara dan kelompok pertunjukan bakal terpapar saat peran yang dilakukan si
aktor mampu tepat membongkarnya.
Suyatna
Anirun mengatakan bahwa tubuh aktor bak tanah liat. Bisa dibentuk apa saja.
Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan peningkatan kualitas dari perangkat
”luar dan dalam” aktor demi terciptanya peristiwa teater yang utuh.
Keaktoran
Banyak
definisi keaktoran yang hanya merujuk sebatas sebagai pelaku. Aktor hanyalah
sekadar memainkan tokoh yang diperankan. Aktor yang baik adalah yang mampu
memerankan tokoh di luar dirinya dengan tepat dan tuntas sehingga fisik dan
karakter si aktor hilang sama sekali, berganti dengan fisik dan karakter tokoh
secara total. Relasi yang terjadi antara aktor dan tokoh diformat sedemikian
rupa hanya sebagai yang memerankan dan yang diperankan. Bahwa antara si aktor
dan sang tokoh yang diperankan terpisah, tidak padu dan bukan sebagai satu kesatuan.
Hal
tersebut agak rancu utamanya menyoal ”jarak” antara aktor dan tokoh pada saat
proses pemeranan berlangsung. Sebab, senyatanya dalam proses pemeranan, semua
hal yang dipakai sang tokoh untuk beraktivitas adalah empunya si aktor. Tubuh
yang bergerak adalah tubuh si aktor, suara yang terdengar adalah suara si
aktor, pikiran dan rasa yang menstimulus semua kejadian yang dilakukan oleh
sang tokoh adalah milik si aktor. Senyatanya aktor dan tokoh adalah satu
kesatuan yang saling melekat dan tidak terpisahkan.
Dengan
demikian, jika merujuk pada definisi di atas, tokoh adalah sesuatu yang
tiba-tiba menitis ke tubuh aktor untuk melakukan aktivitas tertentu dengan
memanfaatkan semua perangkat dan fasilitas yang dimiliki si aktor. Lantaran
tugas aktor adalah memerankan tokoh yang menitis tersebut dengan
sebaik-baiknya, aktor pun membunuh semua potensi aktivitas yang menandai
dirinya, berganti dengan potensi aktivitas yang merepresentasikan sang tokoh.
Maka,
seapik apa pun permainan si aktor, ia tetap cuma diposisikan sebagai pelaku
yang tak punya daya kritis dan (akhirnya) tak mempunyai kekuatan untuk
melakukan penolakan, pergolakan hingga konflik batin saat pemeranan terjadi.
Tak ada daya tawar bagi si aktor yang hanya sekadar mesti menerima dan menyerap
semua informasi soal sang tokoh, lantas menyiapkan semua potensinya untuk
mendukung keberadaan sang tokoh di pertunjukan. Padahal, Grotowski membuktikan
bahwa penyatuan kekuatan psikis dan tubuh aktor adalah alat bagi aktor untuk
melakukan kontak dan berada lebih dekat dengan sisi dalam batinnya.
Tidaklah
elok jika keaktoran dipahami sebagai sekadar kemampuan untuk merepresentasikan
segala aktivitas tokoh, bukan sebagai pergulatan di antara dua pihak (aktor dan
tokoh) yang berlangsung terus-menerus selama proses pemeranan itu berlangsung.
Padahal, pergulatan (konflik batin dan ketegangan fisik) di dalam satu tubuh
yang berlangsung terus-menerus itulah yang seharusnya dijadikan fakta; bahwa
selalu ada yang tumbuh dan melakukan proses pemahaman dalam setiap laku pemeranan.
Pergulatan itulah yang menunjukkan keberdayaan si aktor kala berhadapan dengan
sang tokoh. Keberdayaan yang juga pasti memperkuat posisi tawar sang tokoh kala
dihadap- hadapkan dengan teks serta tafsir (sutradara, kelompok, dan penonton).
Konflik
dan ketegangan yang tak pernah usai itu ibarat bara dalam setiap peristiwa
kebakaran. Selama ada bara, akan selalu ada kemungkinan terjadinya api,
kebakaran, di samping abu dan hawa panas. Dalam setiap proses pemeranan, bara
semacam itu harus selalu dijaga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar