Senin, 17 Juni 2013

BBM dan Persoalan Keterbukaan

BBM dan Persoalan Keterbukaan
Wawan Sobari ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya; Saat ini menempuh Studi Doktoral di Flinders University, Australia
KORAN TEMPO, 15 Juni 2013


Ada satu kealpaan pemerintah dalam soal proposal kenaikan harga bahan bakar minyak. Pemerintah merasa yakin bahwa persetujuan Sekretariat Gabungan (Setgab) atas rencana kenaikan harga BBM merupakan legitimasi terhadap kebijakan itu. Sebab, persetujuan Setgab akan memuluskan pembahasan revisi APBN 2013 di DPR, mengoreksi subsidi BBM, dan mengalihkan alokasi subsidi untuk warga miskin (tempo.co, 14 Mei).
Pemerintah seolah telah menegasikan peran publik dalam pengambilan kebijakan. Padahal BBM sudah menjadi barang (goods) yang sangat penting dalam menggerakkan roda ekonomi dan sosial masyarakat. Konsumsi dan pemanfaatan BBM mempengaruhi hajat hidup dan perilaku masyarakat, seperti tecermin ketika terjadi kelangkaan BBM jenis solar pada April lalu. Masyarakat cukup panik dan marah saat antre solar, apalagi setelah itu terungkap praktek-praktek penimbunan BBM.
Sebenarnya masih ada tiga aktor penting lain yang belum didengar suaranya selain para politikus koalisi, yaitu kalangan bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan publik pada tingkatan rumah tangga. Merekalah sejatinya yang merasakan dampak langsung implementasi kebijakan itu.
Di luar konteks akademis, secara de facto BBM merupakan barang publik (public goods). Meskipun tidak semua orang mengkonsumsi bahan bakar minyak, BBM memiliki nilai kegunaan bagi publik secara luas. Rivalitas dalam konsumsi dan eksklusivitas dalam pemanfaatan BBM menjadi tanpa batas (kabur). Dengan kata lain, BBM memiliki derajat kepublikan yang tinggi karena menjadi kebutuhan hidup dan berdampak bagi orang banyak, terutama BBM bersubsidi. 
Dengan menaikkan harga BBM, eksklusivisme dan rivalitas pemanfaatannya ikut meningkat. Pun, dampak ikutan dari kenaikan harga BBM berkaitan dengan perubahan derajat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah memprediksi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 2,61 persen sebagai dampak dari kebijakan tersebut. 
Di tengah rencana kebijakan yang makin gencar itu, terdengar suara-suara politikus oposisi mengkampanyekan penolakan kenaikan harga BBM. Argumen mereka pun tidak kalah kuat dibanding alasan pemerintah untuk menyelamatkan APBN, karena besarnya subsidi BBM dan kesalahan sasaran penerima subsidi. Para oposan menilai masih ada langkah kebijakan alternatif yang bisa ditempuh selain menaikkan harga BBM.
Pertama, penghematan APBN, terutama yang berasal dari belanja-belanja yang tidak terserap setiap tahun. Kedua, pemangkasan perjalanan dinas yang boros hingga 20 persen. Terakhir, adanya kebocoran BBM setara dengan 6 juta kiloliter. Bila nilai-nilai inefisiensi tersebut digabung, setidaknya terkumpul Rp 68 triliun yang cukup untuk menutup penghematan subsidi yang didapat dengan menaikkan harga BBM (republika.co.id, 20 Mei). 
Selain itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan argumen berbeda dalam soal kenaikan harga BBM, meski secara normatif merupakan bagian dari koalisi pemerintah. PKS menilai kebijakan itu akan menambah beban masyarakat. Apalagi pemerintah sebenarnya belum optimal menggali pendapatan negara dari pajak dan belanja negara belum efisien. PKS berpendapat pula bahwa pemerintah semestinya memprioritaskan terlebih dulu penyelesaian kebijakan energi yang akan membantu persoalan BBM. Pun, kompensasi melalui pemberian Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dinilai tidak akan mampu menekan beban masyarakat pasca-kenaikan harga BBM (tempo.co, 4 Juni).
Argumen versi pemerintah vis a vis kekuatan oposisi tersebut sebenarnya bisa dinalar. Hanya, debat kebijakan yang mempertimbangkan informasi dan data yang relevan untuk mengurai argumen kebijakan yang paling tepat masih belum terbuka dan jelas. Karena itu, cara-cara pengambilan kebijakan instan yang hanya mencari dukungan kawan sekubu dan mengandalkan kekuatan jumlah dalam perdebatan di parlemen bukanlah upaya yang elegan. 
Salah satu mekanisme yang bisa ditempuh dan akan mendewasakan publik adalah melalui praktek keterbukaan (disclosure). Transparansi dalam pengambilan kebijakan sangat penting karena mampu mengurangi derajat politisasi kebijakan, yang pada akhirnya akan mendorong akuntabilitas kebijakan. 
Praktek disclosure memiliki dua keuntungan penting. Pertama, keterbukaan akan menyediakan informasi kepada masyarakat, termasuk warga awam, tentang pilihan-pilihan kebijakan. Termasuk di dalamnya hasil analisis manfaat yang didapat dan biaya (kerugian) yang harus dikeluarkan untuk setiap pilihan kebijakan. Kedua, keterbukaan akan memungkinkan pemerintah meningkatkan kualitas kebijakannya dengan cara menyerap suara-suara publik secara lebih baik (Sustain, 2013). 
Asal suara-suara oposan sesungguhnya tidak bisa didominasi atau diwakili kekuatan politik oposisi semata, melainkan sejatinya bersumber dari rakyat yang akan menerima dampak dari kebijakan yang diambil pemerintah. Dalam prakteknya, pemerintah bisa memaparkan rencana kenaikan harga BBM dalam bahasa sederhana dan diekspos dengan cara-cara yang populer. Isinya berupa perbandingan pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil, termasuk pilihan kebijakan yang disuarakan para oposan. Adapun informasi dan argumen lengkap atas pilihan-pilihan kebijakan tersebut bisa dimuat dan disediakan dalam sumber-sumber elektronik resmi milik pemerintah. 
Keterbukaan yang argumentatif berbasis perbandingan data seperti itu penting dilakukan, karena bisa mengurangi resistansi dan sinisme publik terhadap kebijakan yang sensitif dan berdampak luas, seperti kenaikan harga BBM. Tidak ada salahnya pemerintah melakukan kajian-kajian cepat (rapid appraisals) yang mengakomodasi argumen multipihak, mengingat kepastian kenaikan harga BBM sudah ditunggu banyak kalangan. 
Yang terpenting, pemerintah telah beriktikad untuk memaparkan perbandingan berbagai alternatif kebijakan secara transparan kepada publik. Praktek keterbukaan tentunya lebih akuntabel daripada kompromi keterwakilan semu para politisi koalisi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar