|
KORAN
TEMPO, 15 Juni 2013
Ada satu kealpaan pemerintah dalam soal proposal kenaikan
harga bahan bakar minyak. Pemerintah merasa yakin bahwa persetujuan Sekretariat
Gabungan (Setgab) atas rencana kenaikan harga BBM merupakan legitimasi terhadap
kebijakan itu. Sebab, persetujuan Setgab akan memuluskan pembahasan revisi APBN
2013 di DPR, mengoreksi subsidi BBM, dan mengalihkan alokasi subsidi untuk
warga miskin (tempo.co, 14 Mei).
Pemerintah seolah telah menegasikan peran publik dalam
pengambilan kebijakan. Padahal BBM sudah menjadi barang (goods) yang sangat penting dalam menggerakkan roda ekonomi dan
sosial masyarakat. Konsumsi dan pemanfaatan BBM mempengaruhi hajat hidup dan
perilaku masyarakat, seperti tecermin ketika terjadi kelangkaan BBM jenis solar
pada April lalu. Masyarakat cukup panik dan marah saat antre solar, apalagi
setelah itu terungkap praktek-praktek penimbunan BBM.
Sebenarnya masih ada tiga aktor penting lain yang belum
didengar suaranya selain para politikus koalisi, yaitu kalangan bisnis,
organisasi masyarakat sipil, dan publik pada tingkatan rumah tangga. Merekalah
sejatinya yang merasakan dampak langsung implementasi kebijakan itu.
Di luar konteks akademis, secara de facto BBM merupakan barang publik (public goods). Meskipun tidak semua orang mengkonsumsi bahan bakar
minyak, BBM memiliki nilai kegunaan bagi publik secara luas. Rivalitas dalam
konsumsi dan eksklusivitas dalam pemanfaatan BBM menjadi tanpa batas (kabur).
Dengan kata lain, BBM memiliki derajat kepublikan yang tinggi karena menjadi
kebutuhan hidup dan berdampak bagi orang banyak, terutama BBM bersubsidi.
Dengan menaikkan harga BBM, eksklusivisme dan rivalitas
pemanfaatannya ikut meningkat. Pun, dampak ikutan dari kenaikan harga BBM
berkaitan dengan perubahan derajat kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah
memprediksi peningkatan jumlah penduduk miskin sebesar 2,61 persen sebagai
dampak dari kebijakan tersebut.
Di tengah rencana kebijakan yang makin gencar itu,
terdengar suara-suara politikus oposisi mengkampanyekan penolakan kenaikan harga
BBM. Argumen mereka pun tidak kalah kuat dibanding alasan pemerintah untuk
menyelamatkan APBN, karena besarnya subsidi BBM dan kesalahan sasaran penerima
subsidi. Para oposan menilai masih ada langkah kebijakan alternatif yang bisa
ditempuh selain menaikkan harga BBM.
Pertama, penghematan APBN, terutama yang berasal dari
belanja-belanja yang tidak terserap setiap tahun. Kedua, pemangkasan perjalanan
dinas yang boros hingga 20 persen. Terakhir, adanya kebocoran BBM setara dengan
6 juta kiloliter. Bila nilai-nilai inefisiensi tersebut digabung, setidaknya
terkumpul Rp 68 triliun yang cukup untuk menutup penghematan subsidi yang
didapat dengan menaikkan harga BBM (republika.co.id,
20 Mei).
Selain itu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyampaikan
argumen berbeda dalam soal kenaikan harga BBM, meski secara normatif merupakan
bagian dari koalisi pemerintah. PKS menilai kebijakan itu akan menambah beban
masyarakat. Apalagi pemerintah sebenarnya belum optimal menggali pendapatan
negara dari pajak dan belanja negara belum efisien. PKS berpendapat pula bahwa
pemerintah semestinya memprioritaskan terlebih dulu penyelesaian kebijakan
energi yang akan membantu persoalan BBM. Pun, kompensasi melalui pemberian
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) dinilai tidak akan mampu menekan
beban masyarakat pasca-kenaikan harga BBM (tempo.co,
4 Juni).
Argumen versi pemerintah vis a vis kekuatan oposisi tersebut sebenarnya bisa dinalar. Hanya,
debat kebijakan yang mempertimbangkan informasi dan data yang relevan untuk
mengurai argumen kebijakan yang paling tepat masih belum terbuka dan jelas.
Karena itu, cara-cara pengambilan kebijakan instan yang hanya mencari dukungan
kawan sekubu dan mengandalkan kekuatan jumlah dalam perdebatan di parlemen
bukanlah upaya yang elegan.
Salah satu mekanisme yang bisa ditempuh dan akan
mendewasakan publik adalah melalui praktek keterbukaan (disclosure). Transparansi dalam pengambilan kebijakan sangat
penting karena mampu mengurangi derajat politisasi kebijakan, yang pada
akhirnya akan mendorong akuntabilitas kebijakan.
Praktek disclosure
memiliki dua keuntungan penting. Pertama, keterbukaan akan menyediakan
informasi kepada masyarakat, termasuk warga awam, tentang pilihan-pilihan
kebijakan. Termasuk di dalamnya hasil analisis manfaat yang didapat dan biaya
(kerugian) yang harus dikeluarkan untuk setiap pilihan kebijakan. Kedua,
keterbukaan akan memungkinkan pemerintah meningkatkan kualitas kebijakannya
dengan cara menyerap suara-suara publik secara lebih baik (Sustain, 2013).
Asal suara-suara oposan sesungguhnya tidak bisa didominasi
atau diwakili kekuatan politik oposisi semata, melainkan sejatinya bersumber
dari rakyat yang akan menerima dampak dari kebijakan yang diambil pemerintah.
Dalam prakteknya, pemerintah bisa memaparkan rencana kenaikan harga BBM dalam
bahasa sederhana dan diekspos dengan cara-cara yang populer. Isinya berupa
perbandingan pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil, termasuk pilihan
kebijakan yang disuarakan para oposan. Adapun informasi dan argumen lengkap
atas pilihan-pilihan kebijakan tersebut bisa dimuat dan disediakan dalam
sumber-sumber elektronik resmi milik pemerintah.
Keterbukaan yang argumentatif berbasis perbandingan data
seperti itu penting dilakukan, karena bisa mengurangi resistansi dan sinisme
publik terhadap kebijakan yang sensitif dan berdampak luas, seperti kenaikan
harga BBM. Tidak ada salahnya pemerintah melakukan kajian-kajian cepat (rapid appraisals) yang mengakomodasi
argumen multipihak, mengingat kepastian kenaikan harga BBM sudah ditunggu banyak
kalangan.
Yang terpenting, pemerintah telah beriktikad untuk
memaparkan perbandingan berbagai alternatif kebijakan secara transparan kepada
publik. Praktek keterbukaan tentunya lebih akuntabel daripada kompromi
keterwakilan semu para politisi koalisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar