Kamis, 20 Juni 2013

Perlunya Otomatisasi Kebijakan Kompensasi

Perlunya Otomatisasi Kebijakan Kompensasi
Sunarsip ;   Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
KORAN SINDO, 19 Juni 2013


Pertama-tama saya menyambut positif keputusan DPR (meski tidak bulat) menyetujui RAPBN Perubahan 2013 menjadi undang-undang. 

Dengan demikian, kini pemerintah memiliki pijakan hukum untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengamankan fiskal kita. Saya melihat ternyata masih banyak yang belum memahami esensi dilakukannya revisiAPBN 2013. Sebagian menganggap bahwa revisi APBN 2013 hanya untuk mendapatkan persetujuan DPR atas rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Padahal, kenaikan harga BBM hanyalah salah satu topik dalam revisi APBN 2013. 

Selain kenaikan harga BBM, revisi APBN 2013 adalah untuk mengubah sebagian besar postur APBN sebagai respons atas dinamika perekonomian global dan domestik yang terjadi saat ini. Sesungguhnya juga pemerintah dapat melakukan kebijakan menaikkan harga BBM tanpa harus meminta persetujuan DPR. Sebab, di dalam UU Nomor 19/2012 tentang APBN 2013, pemerintah telah memiliki kewenangan menaikkan harga BBM. 

Sayangnya, UU APBN 2013 tidak memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menetapkan kompensasi (BLSM). Akibatnya, ketika pemerintah berencana menyalurkan BLSM sebagai kompensasi atas kebijakan kenaikan harga BBM, persetujuan DPR menjadi diperlukan sehingga revisi APBN 2013 perlu dilakukan. Nah, di sinilah awal dari terjadinya “geger” politik selama pembahasan revisi APBN 2013. Oleh sebagian fraksi di DPR, rencana pemerintah memberikan BLSM tersebut dituding sebagai upaya politis menghadapi tahun politik 2014. 

Belajar dari gonjang-ganjing yang terjadi selama pembahasan APBN 2013, terdapat dua hal yang perlu kita garisbawahi demi terhindarnya kejadian-kejadian seperti ini terulang lagi di masa mendatang. Pertama, besaran dan jenis subsidi yang harus ditanggung APBN adalah merupakan ranah politik anggaran. Artinya, DPR dan pemerintah memang harus menyepakati jenis subsidi dan besarnya anggaran subsidi yang ditanggung APBN. 

Sementara itu, terkait dengan kebijakan apa yang diambil untuk merealisasi anggaran subsidi tersebut, seyogianya disepakati bahwa itu adalah kewenangan pemerintah. Kebijakan seperti menaikkan harga BBM atau tarif listrik, atau dengan melakukan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi, semuanya harus ditempatkan sebagai kewenangan pemerintah dan harus diatur secara tegas dalam setiap UU APBN. Sementara itu, DPR berkewajiban mengawasi agar implementasi atas kebijakan yang akan diambil pemerintah tersebut sesuai dengan UU APBN. 

Kedua, ketika APBN telah memberikan mandat bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka mengamankan APBN (termasuk kenaikan harga BBM bersubsidi), semestinya sekaligus juga mengatur kompensasinya bagi rakyat miskin. Saya melihat, inilah salah satu titik lemah APBN 2013 (sebelum revisi). Di satu sisi UU APBN 2013 memberikan kewenangan bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi, di sisi lain UU APBN 2013 tidak memberikan kewenangan pemerintah untuk menyiapkan kompensasi demi melindungi rakyat miskin dari dampak yang timbul dari kenaikan harga BBM ini. 

Saya kira, siapa pun pemerintahnya, tidak akan cukup berani mengambil opsi menaikkan harga BBM bila tidak memiliki instrumen yang cukup untuk melindungi rakyat dari dampak negatif kenaikan harga BBM. Sehubungan dengan hal tersebut, ke depan saya mengusulkan agar di setiap APBN selalu disiapkan klausul yang mengatur adanya otomatisasi kewenangan bagi pemerintah untuk menyiapkan kompensasi bagi rakyat miskin, bila suatu saat pemerintah harus mengambil kebijakan yang dapat berimplikasi negatif bagi rakyat miskin. 

Dengan melalui mekanisme otomatisasi kewenangan ini kecurigaan dari sebagian kalangan bahwa pemberian kompensasi ini sebagai upaya politik pencitraan, sebagaimana yang saat ini terjadi, dapat dihilangkan. Nah, tinggal jenis dan besarannya anggaran kompensasinya yang memang harus dibahas pemerintah bersama DPR. Saya berpendapat sudah menjadi kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya terhindar dari dampak negatif yang timbul dari suatu kebijakan. 

Kebijakan kenaikan harga BBM, misalnya, memang harus diambil pemerintah untuk mengamankan fiskal kita dan mengembalikan agar tujuan subsidi tepat sasaran. Namun, kita juga paham bahwa kebijakan kenaikan harga BBM pasti akan berdampak negatif bagi rakyat miskin. Saya kira, di tengah masih absennya sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang permanen, pemberian kompensasi semacam BLSM atau apa pun bentuknya masih jauh lebih baik dibanding bila tidak ada sama sekali. 

Hal yang lebih penting adalah jangan sampai akibat kebijakan kenaikan harga BBM tersebut rakyat yang tadinya miskin menjadi lebih miskin dan rakyat yang sebelumnya tidak miskin masuk kategori miskin. Satu hal yang patut dicatat, berdasarkan pengalaman tahun 2005, sesungguhnya model kompensasi BLSM (dulu bernama BLT) ini terbukti efektif untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM bagi rakyat miskin. Bahkan, dibandingkan program-program kemiskinan lain seperti raskin, askeskin, dan kartu sehat, BLT memiliki target sasaran keluarga miskin yang lebih baik. 

Bahkan, di beberapa negara maju (OECD), sebagaimana studi yang dilakukan oleh Armando Barrientos dan David Hulme (2010), konsep BLT (cash transfer) juga terbukti efektif di dalam mengentaskan kemiskinan. Itu artinya, kita tidak perlu anti terhadap BLT. Kalaupun isunya adalah rawan dipolitisasi, maka tinggal bagaimana caranya agar hal itu dapat dicegah. Nah, melalui otomatisasi kebijakan kompensasi (BLT) inilah saya kira hal itu dapat menjadi solusi untuk mencegah BLT menjadi komoditas politik. 

Dari berbagai peristiwa selama pembahasan APBN-P, baik pada 2012 maupun saat ini, saya belum melihat adanya perubahan yang mendasar, baik terhadap mekanisme maupun substansi pembahasan. Kita belum mampu mengunci isuisu krusial dalam APBN. Padahal, isu-isu krusial tersebut selalu muncul setiap tahunnya. Akibatnya, pembahasan APBN dengan mudah menjadi arena politisasi. Kondisi ini harus diakhiri. Pemerintah dan DPR tidak boleh melanggengkan kerja politik anggaran seperti yang selama ini terjadi. 

Harus segara ada jalan keluar agar pembahasan APBN tidak menjadi arena politisasi akibat kerja politik anggaran yang tidak tersistematika dengan baik sehingga pembahasan APBN menjadi tidak produktif. Perlu ada terobosan untuk mengakhirinya. Bila tidak, akan terlalu banyak energi yang kita habiskan. Padahal, masih banyak isu-isu substansial lainnya yang perlu mendapat perhatian. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar