|
TEMPO.CO,
21 Juni 2013
Terpilihnya Hassan Rouhani, 64
tahun, dalam pemilu presiden Iran, 14 Juni lalu, memberi kejutan bagi dunia.
Kemenangan kubu moderat yang disokong mantan presiden Mohammad Khatami dan
Akbar Hashemi Rafsanjani itu cukup mengejutkan karena beberapa hal. Pertama, ia
bukan kandidat yang disokong pemimpin spiritual Ali Khamenei, yang menjagokan
Saeed Jalili. Kedua, meski dilumpuhkan dalam kekacauan pemilu 2009, kubu
moderat ternyata mampu juga mengkonsolidasi diri. Ketiga, di tengah arus
radikalisasi di Timur Tengah, rakyat Iran justru menengadahkan wajah ke arah
moderasi.
Yang lebih mengejutkan, aspirasi
moderasi tak kurang dari 50 persen pemilih Iran ini juga diterima sewajarnya
oleh Khamenei selaku penguasa Iran tertinggi. Padahal, dalam pemilu presiden
2009, Khamenei merespons keras protes-protes yang dipicu kecurangan pemilu yang
mengantarkan Presiden Mahmud Ahmadinejad ke periode kedua jabatannya.
Tokoh-tokoh oposisi Gerakan Hijau yang memimpin protes, seperti Mir Hossein
Mousavi dan Mehdi Karroubi, bahkan sampai kini masih mendekam dalam tahanan
rumah.
Kenapa Ali Khamenei kini seperti
lebih arif dalam merespons situasi?
Selain kotak suara memang tidak
berada di pihak mereka, saya membaca sikap legawa—atau lebih tepatnya
terpaksa—Khamenei dan kubu konservatif itu juga dipicu kian tegang dan
menggelegaknya situasi kawasan. Saat ini, seluruh rezim di kawasan Timur Tengah
sangat sensitif terhadap protes-protes sosial. Khamenei dan para penyokong status
quo Iran mungkin
sadar betapa rentannya cara-cara manipulatif dan represif dalam mengingkari
aspirasi demokratis warganya.
Para mullah pun kini perlu lebih
waspada akan mendidihnya kemarahan rakyat sebagaimana di Tunisia, Mesir, Libya,
dan Suriah. Ini musim bulan madu dan bermuka manisnya elite-elite
non-demokratis terhadap rakyatnya demi mempertahankan eksistensi rezim mereka.
Daripada memungkiri pilihan demokratis warga negara dan menuai huru-hara, para
mullah lebih senang melihat rakyatnya sejenak berdansa (Dancing in the Streets, Foreign
Policy, 15 Juni 2013).
Dilihat dari preferensi Khamenei
dan kubu konservatif, terpilihnya Rouhani yang menjanjikan moderasi tak syak
lagi juga merupakan malang yang tak dapat ditolak. Namun di situ pun masih
terselip secercah berkah. Kepada dunia, para mullah bisa berbangga sembari
berdalih bahwa mereka adalah insan-insan demokratis yang mampu menghormati
kehendak bebas warganya.
Namun, bagi rakyat Iran, hal ini
bukanlah lelucon. Pilihan mereka merupakan protes terhadap masa 8 tahun penuh
konfrontasi dan dikungkung isolasi. Berpesta dan berdansanya mereka atas
kemenangan Rouhani adalah hukuman terhadap rezim lama dan luapan ekspektasi
terhadap rezim baru. Dari sinilah tugas Rouhani tampak tidak mudah.
Hasil konfrontasi
Di era setali tiga uangnya
Ahmadinejad dan Khamenei, posisi dan pengaruh Iran memang tampak kian penting
di Timur Tengah. Sikap konfrontatif Ahmadinejad terhadap Israel juga tampak
memantapkan posisi Iran di Jalur Gaza, Palestina. Irak pasca-Saddam juga
menjadi durian runtuh bagi pengaruh Iran terhadap jirannya. Di Libanon,
Hizbullah masih setia menjadi kepanjangan tangan mereka.
Pergolakan Bahrain pun ikut
mendorong Iran untuk berkonfrontasi dengan Saudi, yang menyokong kerajaan Sunni
di tengah mayoritas Syiah. Di Yaman Selatan dan Timur Saudi, pengaruh Iran
nyata. Dan jangan lupakan kekacauan Suriah. Negeri itu kini menjadi kancah
pertarungan regional antara Iran dan sekutunya demi eksistensi rezim Assad,
melawan oposisi-jihadi yang dibeking Saudi, Qatar, Turki, dan Amerika.
Itulah yang kini dirasakan rakyat
Iran. Pendekatan konfrontatif melawan dunia dan salah urus negara ala
Ahmadinejad justru berbuah Iran sengsara. Pertumbuhan ekonomi selalu negatif
dan terus mengalami resesi. Tingkat inflasi resmi mendekati angka 30 persen.
Inflasi uang terhadap harga pangan mencapai 60 persen, dan angka pengangguran
berada pada kisaran 12-20 persen. Sanksi internasional atas ekspor minyak telah
mengurangi pendapatan Iran segawat 65 persen. Perdagangan dengan dunia
terhambat. Dan tahun lalu saja, mata uang riyal mengalami devaluasi sekitar 80
persen (www.bbc.co.uk,
16 Juni 2013 dan Guardian, 14 Juni 2013).
Keberlangsungan nezam
Kondisi ini tak hanya menjadi
tantangan bagi Rouhani, tapi juga ancaman bagi keberlangsungan nezam,
sistem teokratik ala Iran. Sistem politik yang melimpahkan Pemimpin Spiritual
dan institusi Velayat-e Faqih hak veto untuk hampir semua isu-isu strategis ini
kini sedang digugat. Fakta bahwa rakyat Iran memilih presiden yang menghendaki
moderasi dan menjanjikan lepasnya isolasi ibarat veto terhadap status
quo. Semua itu tanda-tanda zaman yang layak dibaca dengan seksama.
Sebagian pengamat Iran menilai,
pemilu kali ini juga memberi sinyal kuat akan kian lemahnya posisi istimewa
Khamenei sebagai pemimpin spiritual, dan mungkin pula semakin pudarnya dominasi
ulama di medan perpolitikan Iran (Paola Rivetti, Foreign
Policy, 17 Juni 2013). Itu terlihat dari merosotnya kiprah para
ulama dalam sejarah pemilu legislatif Iran. Hasil pemilu dari masa ke masa
memperlihatkan, dukungan pemilih Iran terhadap kaum ulama terus menurun.
Pada 1980-an, keterwakilan mullah di parlemen Iran mencapai 50 persen.
Pada 1990-an, kursi mereka tinggal 25 persen dan kini terus menyusut ke angka
10 persen. Oleh para penelaah Iran, gejala ini dinamai “kecenderungan deklerikalisasi” (de-clericalization
trend). Ini
merupakan konsekuensi perubahan generasi dan semakin menyusutnya kegairahan
akan nostalgia zaman revolusi Islam era Khomaini (Yasmin Alem, www.al-monitor.com 18 Juni 2013).
Yang agak mengejutkan,
kecenderungan deklerikalisasi justru menguat sejak era Ahmadinejad (Reza Aslan, Foreign
Policy, 12 Juni 2013). Karena itu, meski pemilu kali ini tak
sejalan dengan harapan Khamenei dan Dewan Pengawal Revolusi, mereka tetap berlagak
lapang dada. Kelapangdadaan itu mungkin saja didorong oleh pembacaan cermat
terhadap tanda-tanda zaman, atau mungkin juga sekadar memberi ilusi kepada
dunia bahwa rezim teokratik mereka tak goyah dan masih mendapat dukungan
rakyatnya.
Akan lapang dada jugakah mereka
dalam memberi peluang kepada Rouhani untuk melakukan reformasi? Ini masih tanda
tanya. Yang pasti, dualisme kekuasaan masih akan menghantui sistem perpolitikan
Iran. Sementara Rouhani mewakili kehendak pemilih, Khamenei dan institusi Velayat-e
Faqih masih akan berkukuh memegang kendali dengan klaim “kewenangan Ilahi”.
Inilah yang nanti akan
menyulitkan Rouhani dalam memerintah dan mengoreksi politik luar negeri
Teheran. Padahal isu nuklir sangat krusial dalam langkah Iran mengurai isolasi.
Iran pun punya peran vital dalam mengakhiri gejolak Suriah. Jika dualisme ini
terus mengalami turbulensi, Rouhani boleh jadi akan mengulangi era Khatami
(1997-2005): menjadi presiden sekaligus oposisi. Ya, beroposisi terhadap Ali
Khamenei dan status quo. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar