Sabtu, 22 Juni 2013

Iran Membaca Tanda-tanda Zaman

Iran Membaca Tanda-tanda Zaman
Novriantoni Kahar ;    Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah
TEMPO.CO, 21 Juni 2013


Terpilihnya Hassan Rouhani, 64 tahun, dalam pemilu presiden Iran, 14 Juni lalu, memberi kejutan bagi dunia. Kemenangan kubu moderat yang disokong mantan presiden Mohammad Khatami dan Akbar Hashemi Rafsanjani itu cukup mengejutkan karena beberapa hal. Pertama, ia bukan kandidat yang disokong pemimpin spiritual Ali Khamenei, yang menjagokan Saeed Jalili. Kedua, meski dilumpuhkan dalam kekacauan pemilu 2009, kubu moderat ternyata mampu juga mengkonsolidasi diri. Ketiga, di tengah arus radikalisasi di Timur Tengah, rakyat Iran justru menengadahkan wajah ke arah moderasi.

Yang lebih mengejutkan, aspirasi moderasi tak kurang dari 50 persen pemilih Iran ini juga diterima sewajarnya oleh Khamenei selaku penguasa Iran tertinggi. Padahal, dalam pemilu presiden 2009, Khamenei merespons keras protes-protes yang dipicu kecurangan pemilu yang mengantarkan Presiden Mahmud Ahmadinejad ke periode kedua jabatannya. Tokoh-tokoh oposisi Gerakan Hijau yang memimpin protes, seperti Mir Hossein Mousavi dan Mehdi Karroubi, bahkan sampai kini masih mendekam dalam tahanan rumah.
Kenapa Ali Khamenei kini seperti lebih arif dalam merespons situasi?

Selain kotak suara memang tidak berada di pihak mereka, saya membaca sikap legawa—atau lebih tepatnya terpaksa—Khamenei dan kubu konservatif itu juga dipicu kian tegang dan menggelegaknya situasi kawasan. Saat ini, seluruh rezim di kawasan Timur Tengah sangat sensitif terhadap protes-protes sosial. Khamenei dan para penyokong status quo Iran mungkin sadar betapa rentannya cara-cara manipulatif dan represif dalam mengingkari aspirasi demokratis warganya.

Para mullah pun kini perlu lebih waspada akan mendidihnya kemarahan rakyat sebagaimana di Tunisia, Mesir, Libya, dan Suriah. Ini musim bulan madu dan bermuka manisnya elite-elite non-demokratis terhadap rakyatnya demi mempertahankan eksistensi rezim mereka. Daripada memungkiri pilihan demokratis warga negara dan menuai huru-hara, para mullah lebih senang melihat rakyatnya sejenak berdansa (Dancing in the Streets, Foreign Policy, 15 Juni 2013).

Dilihat dari preferensi Khamenei dan kubu konservatif, terpilihnya Rouhani yang menjanjikan moderasi tak syak lagi juga merupakan malang yang tak dapat ditolak. Namun di situ pun masih terselip secercah berkah. Kepada dunia, para mullah bisa berbangga sembari berdalih bahwa mereka adalah insan-insan demokratis yang mampu menghormati kehendak bebas warganya.

Namun, bagi rakyat Iran, hal ini bukanlah lelucon. Pilihan mereka merupakan protes terhadap masa 8 tahun penuh konfrontasi dan dikungkung isolasi. Berpesta dan berdansanya mereka atas kemenangan Rouhani adalah hukuman terhadap rezim lama dan luapan ekspektasi terhadap rezim baru. Dari sinilah tugas Rouhani tampak tidak mudah.

Hasil konfrontasi

Di era setali tiga uangnya Ahmadinejad dan Khamenei, posisi dan pengaruh Iran memang tampak kian penting di Timur Tengah. Sikap konfrontatif Ahmadinejad terhadap Israel juga tampak memantapkan posisi Iran di Jalur Gaza, Palestina. Irak pasca-Saddam juga menjadi durian runtuh bagi pengaruh Iran terhadap jirannya. Di Libanon, Hizbullah masih setia menjadi kepanjangan tangan mereka.

Pergolakan Bahrain pun ikut mendorong Iran untuk berkonfrontasi dengan Saudi, yang menyokong kerajaan Sunni di tengah mayoritas Syiah. Di Yaman Selatan dan Timur Saudi, pengaruh Iran nyata. Dan jangan lupakan kekacauan Suriah. Negeri itu kini menjadi kancah pertarungan regional antara Iran dan sekutunya demi eksistensi rezim Assad, melawan oposisi-jihadi yang dibeking Saudi, Qatar, Turki, dan Amerika.

Itulah yang kini dirasakan rakyat Iran. Pendekatan konfrontatif melawan dunia dan salah urus negara ala Ahmadinejad justru berbuah Iran sengsara. Pertumbuhan ekonomi selalu negatif dan terus mengalami resesi. Tingkat inflasi resmi mendekati angka 30 persen. Inflasi uang terhadap harga pangan mencapai 60 persen, dan angka pengangguran berada pada kisaran 12-20 persen. Sanksi internasional atas ekspor minyak telah mengurangi pendapatan Iran segawat 65 persen. Perdagangan dengan dunia terhambat. Dan tahun lalu saja, mata uang riyal mengalami devaluasi sekitar 80 persen (www.bbc.co.uk, 16 Juni 2013 dan Guardian, 14 Juni 2013).

Keberlangsungan nezam

Kondisi ini tak hanya menjadi tantangan bagi Rouhani, tapi juga ancaman bagi keberlangsungan nezam, sistem teokratik ala Iran. Sistem politik yang melimpahkan Pemimpin Spiritual dan institusi Velayat-e Faqih hak veto untuk hampir semua isu-isu strategis ini kini sedang digugat. Fakta bahwa rakyat Iran memilih presiden yang menghendaki moderasi dan menjanjikan lepasnya isolasi ibarat veto terhadap status quo. Semua itu tanda-tanda zaman yang layak dibaca dengan seksama.

Sebagian pengamat Iran menilai, pemilu kali ini juga memberi sinyal kuat akan kian lemahnya posisi istimewa Khamenei sebagai pemimpin spiritual, dan mungkin pula semakin pudarnya dominasi ulama di medan perpolitikan Iran (Paola Rivetti, Foreign Policy, 17 Juni 2013). Itu terlihat dari merosotnya kiprah para ulama dalam sejarah pemilu legislatif Iran. Hasil pemilu dari masa ke masa memperlihatkan, dukungan pemilih Iran terhadap kaum ulama terus menurun.

Pada 1980-an, keterwakilan mullah di parlemen Iran mencapai 50 persen. Pada 1990-an, kursi mereka tinggal 25 persen dan kini terus menyusut ke angka 10 persen. Oleh para penelaah Iran, gejala ini dinamai “kecenderungan deklerikalisasi” (de-clericalization trend). Ini merupakan konsekuensi perubahan generasi dan semakin menyusutnya kegairahan akan nostalgia zaman revolusi Islam era Khomaini (Yasmin Alem, www.al-monitor.com 18 Juni 2013).

Yang agak mengejutkan, kecenderungan deklerikalisasi justru menguat sejak era Ahmadinejad (Reza Aslan, Foreign Policy, 12 Juni 2013). Karena itu, meski pemilu kali ini tak sejalan dengan harapan Khamenei dan Dewan Pengawal Revolusi, mereka tetap berlagak lapang dada. Kelapangdadaan itu mungkin saja didorong oleh pembacaan cermat terhadap tanda-tanda zaman, atau mungkin juga sekadar memberi ilusi kepada dunia bahwa rezim teokratik mereka tak goyah dan masih mendapat dukungan rakyatnya.

Akan lapang dada jugakah mereka dalam memberi peluang kepada Rouhani untuk melakukan reformasi? Ini masih tanda tanya. Yang pasti, dualisme kekuasaan masih akan menghantui sistem perpolitikan Iran. Sementara Rouhani mewakili kehendak pemilih, Khamenei dan institusi Velayat-e Faqih masih akan berkukuh memegang kendali dengan klaim “kewenangan Ilahi”.


Inilah yang nanti akan menyulitkan Rouhani dalam memerintah dan mengoreksi politik luar negeri Teheran. Padahal isu nuklir sangat krusial dalam langkah Iran mengurai isolasi. Iran pun punya peran vital dalam mengakhiri gejolak Suriah. Jika dualisme ini terus mengalami turbulensi, Rouhani boleh jadi akan mengulangi era Khatami (1997-2005): menjadi presiden sekaligus oposisi. Ya, beroposisi terhadap Ali Khamenei dan status quo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar