Sabtu, 22 Juni 2013

19 Tahun Pembredelan Majalah Tempo

19 Tahun Pembredelan Majalah Tempo
Ignatius Haryanto ;   Direktur Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan,
Mantan Wartawan Tempo 2001-2003
KORAN TEMPO, 21 Juni 2013


Tak terasa, 21 Juni 2013 ini adalah peringatan atas 19 tahun pembredelan majalah Tempo bersama dua mingguan lain kala itu: majalah Editor dan tabloid Detik. Apa makna pembredelan pada masa Orde Baru itu dengan kondisi media di Indonesia pada hari ini? Ini pembredelan kedua Tempo, setelah pada 1982 Tempo juga pernah ditutup sementara gara-gara liputan soal kampanye masa pemilu yang dianggap menyinggung pemerintah. 
Pembredelan atas tiga mingguan tersebut terjadi pada saat Orde Baru sedang dalam kondisi kuat-kuatnya. Indonesianis Ben Anderson pernah menyebutkan, kondisi tersebut persis seperti ketika Sukarno memegang kekuasaan pada masa Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan Sukarno nyaris mutlak, dan pers pun tunduk di bawah kekuasaannya. Pembredelan itu sendiri ibarat petir di siang bolong, dan banyak orang langsung merasa bahwa Tempo kala itu dianggap "salah" oleh Soeharto karena memberitakan masalah pembelian armada perang eks Jerman Timur yang bermasalah. Pembelian kapal perang dilakukan via Menteri Riset dan Teknologi pada waktu itu, B.J. Habibie. Sedangkan pemerintah sendiri, dalam hal ini Menteri Keuangan Marie Muhammad, tak pernah merencanakan pembelian tersebut. 
Lepas dari pembredelan tersebut, muncul pelbagai reaksi dari masyarakat, para jurnalis muda, dan pihak Tempo sendiri. Ada perlawanan menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara, jurnalis muda mengecam sikap Departemen Penerangan, juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang mendukung pembredelan. Belakangan sejumlah wartawan muda ini mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai bentuk perlawanan atas kontrol informasi dan kontrol organisasi wartawan di tangan pemerintah. Selain itu, demonstrasi berbagai kalangan terjadi di berbagai kota di Indonesia. 
Tempo sempat vakum mengunjungi publik selama 4 tahun, dan pada akhir 1998 --beberapa bulan setelah Soeharto dilengserkan oleh demonstrasi mahasiswa besar-besaran--Tempo periode kedua (kalau boleh dibilang demikian) muncul kembali. Kondisinya tentu sudah berbeda dengan kondisi pada masa Orde Baru. Tempo masa Orde Baru juga adalah semacam puncak dari perolehan media cetak yang pada waktu itu masih mendominasi pemberitaan dan juga perolehan iklan pada masa tersebut. Kantor Tempo terakhir sebelum dibredel adalah kawasan Kuningan, kawasan segitiga emas yang diisi oleh perusahaan-perusahaan besar dan juga kompleks kedutaan besar negara sahabat. Televisi waktu itu masih berusia balita (bawah lima tahun), dan kepercayaan publik kepada televisi masih harus dibangun. 
Kini Tempo adalah salah satu media cetak terpandang, namun di sisi lain ada banyak media lain yang juga menyajikan informasi. Ada persaingan sengit di situ. Tetapi, dari sisi iklan, kini media cetak hanya meraih tak kurang 10 persen dari seluruh belanja iklan yang ada. Sementara itu, televisi mendominasi belanja iklan yang mencapai lebih dari 80 persen dari nilai lebih dari Rp 10 triliun saat ini. 
Konvergensi hari ini terjadi di semua media, dan ihwal diktum bahwa jurnalisme itu adalah "catatan sejarah yang ditulis tergesa-gesa", kini catatan yang sama ditulis dengan semakin tergesa. Namun saya kira Tempo masih memiliki kelebihan dibanding media lain dengan mengambil spesialisasi sebagai pembongkar kasus, dan menawarkan kedalaman-kedalaman liputan investigasi ataupun liputan-liputan khusus yang tetap "enak dibaca dan perlu". Makna dari perkembangan ini, bagaimanapun "content is the king" pada masa konvergensi saat sekarang. 
Tempo telah mengalami pendewasaan secara lembaga dalam banyak segi, terus berevolusi menghadapi tantangan masa kini dari industri media. Lepas dari masalah bisnis adalah hal penting yang harus terus digarap. Namun besaran grup Tempo jika dijejerkan dengan aneka taipan media hari ini memang sangatlah kecil. Namun justru di situ keuntungan yang dimiliki Tempo. Dengan jumlah aset atau modal yang "mini" jika dibandingkan dengan para pemilik media lainnya, Tempo jadi lebih lincah mengelola isi (content)-nya. Tempo tak perlu masuk jebakan konflik kepentingan--sebagaimana dialami oleh para taipan media lain--ketika perusahaan menggurita dan memiliki lini bisnis lain di luar bisnis media. Tak ada perusahaan properti, jalan tol, tambang, rumah sakit, pabrik tisu, hotel, dan lain-lain yang dimiliki Tempo. 
Dalam banyak hal, Tempo juga mau menunjukkan bagaimana seharusnya sebuah media memiliki martabat. Tempo tak segan mengungkap kesalahan internal (dalam kasus wawancara dengan Anas Urbaningrum pasca-pencopotan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, juga saat terjadi iklan 8 halaman yang membantah isi investigasi Tempo atas kasus Kemayoran beberapa tahun yang lalu). Terakhir, Pemimpin Redaksi Tempo, Wahyu Muryadi, menyatakan mundur dari posisinya sebagai Ketua Forum Pemred setelah banyak rekan di Tempo mengingatkan akan potensi Tempo kehilangan independensi dari keterlibatannya dalam forum semacam itu. 

Bredel Tempo 19 tahun silam adalah kisah sejarah. Namun bagaimana Tempo terus berjalan setelah hampir dua dekade itu, inilah yang harus terus dicatat dalam sejarah. Bagaimanapun, bredel bukan lagi suatu tindakan populer oleh penguasa, di masa ketika arus informasi mengalir deras dari berbagai sudut. Namun ketegaran untuk menjadi pemberi informasi yang benar, yang lebih mendalam, seraya dengan rendah hati mengakui jika terjadi kesalahan yang dilakukan Tempo, adalah suatu pelajaran berharga kepada rekan-rekan pengelola industri media hari ini. Semoga Tempo tak sendirian menapaki "jalan pedang" semacam ini, karena pers yang baik sangat didamba oleh publik untuk mendapatkan pegangan dalam melintasi dunia yang penuh dengan informasi (sampah) saat-saat ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar