Sabtu, 22 Juni 2013

Problem “Bisnis” Haji

Problem “Bisnis” Haji
Masduri ;    Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin
IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 21 Juni 2013


Berita buruk tentang pengeloaan ibadah haji kembali mencuat ke permukaan. Dari penjelasan tertulis Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, berdasarkan surat Kementerian Haji Kerajaan Arab Saudi, 6 Juni 2013, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengurangi kuota haji tahun 2013 di seluruh dunia sebesar 20% dari kuota dasar sesuai kesepakatan negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) bagi seluruh negara pengirim jamaah haji tanpa kecuali. Pengurangan kuota jamaah haji ini diakibatkan keterlambatan penyelesaian rehabilitasi Masjidil Haram dan demi menjamin keselamatan jamaah haji.

Keterlambatan rehabilitasi Masjidil Haram berakibat pada berkurangnya kapasitas daya tampung tempat tawaf yang semula dapat menampung jamaah sebanyak 48.000 dalam satu jam, sehingga hanya dapat menampung sebanyak 22.000 jamaah dalam satu jam. Pemerintah Arab Saudi melakukan pengurangan kuota jamaah haji Indonesia 2013 sebesar 20% atau sejumlah 42.200 orang. Dengan demikian kuota Jamaah Haji Indonesia pada tahun 2013 akan menjadi 168.800 jamaah dari semula 211.000 jamaah. Untuk menyelesaikan problem tersebut, Kemenag RI akan berupaya melakukan diplomasi dengan Pemerintah Arab Saudi, mengenai kebijakan pengurangan kuota serta memohon dispensasi implementasi kebijakan tersebut bagi Indonesia.

Para calon jamaah haji pun tentu tersentak, terutama mereka yang memang dijadwalkan akan diberangkatkan tahun 2013. Beragam protes dari masyarakat pun sempat bermunculan. Untuk mengantisipasi hal ini, Menag mengimbau kepada calon jamaah haji yang telah melunasi dan mendapatkan porsi haji tahun 2013 yang berjumlah 180.000 jamaah, untuk bersabar menunggu kebijakan Kemenag setelah pembahasan dengan pihak Pemerintah Arab Saudi. Kepada calon jamaah haji yang kemungkinan akan terkena dampak dari kebijakan Pemerintah Arab Saudi terkait pengurangan kuota ini, Kemenag menjamin akan kepastian mendapatkan alokasi kuota keberangkatannya tahun 2014, dan kepada mereka tidak akan dikenakan biaya tambahan BPIH apabila terjadi selisih lebih pada tahun 2014.

Imbauan yang dilakukan Menag itu, sulit mendapatkan respon positif dari masyarakat, sebab mereka selama ini sudah melunasi dan mengikuti semua prosedur yang mesti mereka lakukan agar bisa diberangkatkan tahun ini. Haji bagi sebagian masyarakat Islam bukan semata persoalan keyakinan teologis. Bagi kelompok masyarakat tertentu, haji menjadi status sosial yang akan meningkatkan derajatnya di mata masyarakat. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin pengurangan kouta ini akan memunculkan gejolak protes keras dari masyarakat.

Terlepas problem pengurangan ini muncul dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, Kemenag sebagai penanggung jawab haji di Indonesia seharusnya melakukan tindakan preventif agar problem pengurangan ini tidak terjadi. Itu dapat dilakukan dengan cara melakukan koordinasi yang baik dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, terutama Kementerian Haji di sana, sehingga tidak terjadi hal-hal negatif seperti sekarang ini.
Masyarakat tentu tidak buta, jika selama ini haji sudah seperti bisnis. Ibadah yang dalam agama Islam sangat disakralkan, kini seolah menjadi ritus sosial yang kian tahun terus kehilangan makna spiritualnya. Bayangkan, setiap tahun calon jamaah haji terus bertambah, sementara kuota yang diterima oleh Kemenag RI relatif sama setiap tahunnya. Akibatnya, mereka ada yang sampai antri lebih dari 11 tahun.

Problem ini kemudian sampai memunculkan usulan moratorium haji, tetapi itu juga menuai banyak protes karena dinilai tidak efektif. Tentu, sekarang ini sudah banyak sekali uang calon jamaah haji yang menumpuk di rekening Kemenag. Uang yang banyak itu terus akan berkembang biak sedemikian rupa, sedangkan dari Kemenag tidak ada transparansi yang jelas terhadap jamaah haji atas hasil bunga bank tersebut. Ini bisa memunculkan banyak kecurigaan dari calon jamaah haji dan masyarakat secara umum.

Apalagi, selama ini sudah ada kasus korupsi penggelapan dana haji. Bagaimanapun kasus ini semakin mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang mengurusi persoalan keagamaan di Indonesia. Selain itu, kita tentu masih ingat pada hasil penelitian KPK tahun 2011 lalu bahwa dari 22 instansi pusat yang disurvei oleh KPK, Kemenag menempati peringkat pertama sebagai instansi paling korup. Fakta tersebut tentu membuat kita semua sangat miris. Karena, Kemenag yang seharusnya menjadi panutan dan contoh bagi instansi lain dalam melakukan perbuatan baik, justru terindikasi lebih korup dibandingkan lainnya.

Sebab itu, Kemenag mestinya menjadikan pengelolaan ibadah haji sebagai bagian dari laku spiritual yang harus mengedepankan nilai-nilai ilihayah dalam pengelolaannya. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang terkesan ada banyak manipulasi dan seperti bisnis yang diperjualbelikan. Apalagi, benar-benar ada fakta penggelapan dana ibadah haji. Haji adalah rukun Islam yang disakralkan, jangan kemudian karena diurusi negara, haji menjadi bias makna, sehingga haji yang awalnya adalah laku spiritual, kini menjadi laku sosial yang dibisniskan.


Yang mendesak dilakukan, diplomasi yang direncanakan oleh Kemenag harus menghasilkan keputusan yang menguntungkan terhadap calon jamaah haji yang memang direncanakan diberangkatkan tahun ini. Artinya, apa yang disampakan oleh Menag Suryadharma Ali itu bukan sekedar pencitraan belaka untuk menenangkan hati para jamaah haji yang rencanakannya diberangkatkan tahun ini, tetapi harus menghasilkan keputusan yang membolehkan mereka benar-benar berangkat tahun ini. Dengan demikian, impian mereka untuk melaksanakan ibadah haji sebagai rukun Islam yang terakhir bisa terealisasi dengan baik, dan mereka bisa meningkatkan laku spiritualnya, serta memiliki dampak sosial yang tinggi sebagai bukti mabrunya haji yang mereka lakukan. Semoga! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar