Kamis, 20 Juni 2013

HAM dan Larangan Polwan Berjilbab

HAM dan Larangan Polwan Berjilbab
Ira Alia Maerani ;    Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
SUARA MERDEKA, 19 Juni 2013


"Jilbab tak memengaruhi kesigapan polwan. Profesionalitas di lapangan tak akan terganggu dengan berhijab"

SAYA pernah mengikuti seleksi untuk menjadi wartawan sebuah media massa nasional. Perusahaan media itu disebut-sebut memberi gaji cukup besar bagi karyawan, termasuk wartawan. Tatkala tes akhir wawancara dengan pemimpin redaksi, ia mengatakan, ’’Pada media kami, tidak boleh lo pakai jilbab.’’ Saya pun menanggapi, ’’Wah, itu tidak melanggar HAM, Pak?’’

Pemimpin redaksi, yang waktu itu duduk bersama redaktur pelaksana, tak menjawab, dan hanya saling berpandangan. Tapi saya lega, bisa mempertahankan identitas dan harga diri sebagai manusia; hak paling asasi, yakni menjalankan syariat agama yang tidak terpengaruh oleh urusan rezeki yang pasti ada yang mengatur.

Apakah ada kaitan antara jilbab yang saya pakai dan tugas yang bakal saya emban? Saya rasa tak ada. Lihat saja Ayesha Farooq (26), perempuan pilot pertama pesawat tempur Angkatan Udara Pakistan. Mengenakan jilbab, tidak menghambat geraknya menerbangkan F-7PG, jet tempur buatan China, yang berbasis di pangkalan udara Mushaf Sargodha.

Polisi wanita (polwan) Palestina pun tak kalah sigap bertugas dalam balutan jilbab dan busana muslim. Artinya jilbab bukan penghalang untuk tetap gesit, cekatan, terampil, tangkas menjalankan tugas. Kondisi saya waktu itu, yang lebih memilih mempertahankan berjilbab ketimbang mendapat pekerjaan, tidaklah sesulit dialami polwan di negeri ini, yang sebagian ingin berjilbab.

Saya mempunyai ’’kemerdekaan’’ untuk memilih yang terbaik. Tapi bagi sejumlah polwan, pilihan mereka tak sesederhana itu. Ada dua pilihan sulit, yakni menjalankan perintah Allah swt dengan berjilbab tapi melanggar aturan pimpinan, atau menuruti keputusan pimpinan dengan terpaksa ’’berdosa’’ karena terbuka auratnya.

Cukup banyak anggota polwan di Tanah Air berkeinginan berseragam dinas dengan berhijab (berjilbab). Bermula dari keinginan beberapa personel polwan di jajaran Polda Jateng yang merasa risi karena aurat mereka, terutama rambut, lengan, dan kaki terlihat. Bahkan sebagian dari mereka menyurati Kapolri meminta izin untuk berseragam Polri dengan memakai hijab, namun usul mereka tak dikabulkan.

Kapolri menegaskan yang boleh berseragam Polri plus mengenakan hijab hanyalah personel polwan di Polda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Surat keputusan itu bernomor Skep/702/IX/2005 tentang Sebutan, Penggunaan Pakaian Dinas Seragam Polri, dan PNS Polri. Sejumlah pihak telah memberikan tanggapan, termasuk mantan menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang siap menggugat keabsahan regulasi itu. (SM, 13/6/13).

Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin pun mengkritik regulasi yang membatasi polwan untuk berjilbab. Dia menilai kebijakan itu justru tidak bijak dan menyebut aturan Polri soal seragam yang menutup celah penggunaan jilbab bagi polwan sebagai pelanggaran konstitusi, sebagaimana amanat Pasal 29 UUD 1945.

Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana bunyi Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Karena itu, penyelenggaraan negara dan pemerintahan selalu mendasarkan pada peraturan dan perundang-undangan. Negara kita tidak menganut paham teokrasi yang mendasarkan pada ideologi agama tertentu, dan juga bukan negara sekuler yang tidak memedulikan agama.

Pelaksanaan Syariat

Relasi agama dan negara di Indonesia amat sinergis dan tidak pada posisi dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Legi-timasi keberadaan agama di wilayah hukum NKRI serta untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing dilindungi secara konstitusional. (A Rahmad Rosyadi dan Rais Ahmad, 2006:1).

Hal itu juga dibuktikan dengan pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sehingga per 18 Agustus 1945 resmilah Negara Indonesia baru, yaitu negara Pancasila, suatu negara  yang tidak sekuler tetapi juga bukan negara agama. (Moh Mahfud MD, 2001:51). Teks pada paragraf pertama Pembukaan UUD 1945, ’’Atas berkat rahmat Allah swt...’’ , membuktikan negara kita mengedepankan nilai-nilai religius (ketuhanan). Perihal berketuhanan juga menjadi prinsip pokok dalam negara hukum modern. Jimly Asshiddiqie mengatakan ada 13 prinsip pokok yang merupakan pilar utama penyangga tegaknya negara hukum modern. Salah satunya adalah Berketuhanan Yang Mahaesa. (Jimly Asshidiqie, 2007:310).

Mendasarkan pada hukum dan logika hukum itu, cukuplah beralasan bila ada pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan pelarangan berjilbab bagi polwan merupakan pelanggaran konstitusi. Pasal 29 UUD 1945 menyatakan negara menjamin hak-hak warga negara dalam menjalankan ibadah sesuai agama yang dipeluk.
Pemakaian jilbab merupakan ibadah karena merupakan salah satu pelaksanaan syariat bagi perempuan, sebagaimana Surah An-Nuur Ayat 31. Bila muslimah ingin berjilbab, tak boleh ada yang melarang. Jilbab tak akan memengaruhi kerja polwan. Profesionalitas mereka di lapangan tak akan terganggu dengan berhijab. Personel polwan berjilbab seharusnya juga dihargai, jangan dianggap melanggar. Jika itu bisa dilaksanakan maka Polri telah menjalankan konstitusi dengan baik. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar