Kamis, 20 Juni 2013

Rendahnya Moralitas Politikus Kita

Rendahnya Moralitas Politikus Kita
Mohamad Sobary ;    Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
SINAR HARAPAN, 19 Juni 2013


Kita tidak memiliki data mengenai profil para politikus kita. Misalnya, siapa mereka, sekolahnya apa, apa latar belakang ideologi mereka—kalau mereka memang punya ideologi—dari keluarga macam apa mereka berasal, mengapa mereka memilih dunia politik sebagai karier, adakah pilihan lain, dan aspirasi politik macam apa yang mereka miliki. Ini pun jika mereka suatu aspirasi politik tertentu.

Perlu juga diketahui, bagaimana wawasan mereka mengenai politik. Apa yang mereka ketahui mengenai tokoh-tokoh besar di dunia politik, dan bagaimana pandangan dan sikap mereka terhadap orang-orang besar tersebut?

Bagaimana mereka memandang politik sebagai jalan perjuangan di negeri yang secara kebudayaan bersifat pluralistik seperti negeri kita ini? Gagasan apa yang ada di benak mereka ketika mereka menyadari keruwetan, misalnya di dalam politik-keagamaan, yang cenderung tampak menegangkan, dan mematikan hak-hak kelompok lain yang tak sejalan dengan sikap dan pandangan keagamaan tertentu?

Tidak kalah penting, harus ditanyakan pada mereka, bagaimana sikap dan pandangan mereka mengenai agama, yaitu dunia moral, sejarah, etika, dan teladan agung kehidupan, diperhadapkan dengan kenyataan hidup yang ruwet, penuh tekanan dan ketidakadilan ekonomi, politik maupun kebudayaan. Apa peran agama dalam kondisi kehidupan seperti ini?

Lebih mendasar lagi, bagaimana menerjemahkan makna agama di dalam hidup, agar agama sungguh-sungguh memiliki peran penting untuk membentuk suatu bangsa yang memiliki keteguhan moral, dan membuktikan bahwa manusia yang berpegang teguh pada suatu agama, tak mungkin menyimpang dari garis-garis ajaran luhur?

Dengan kata lain, pertanyaan ini ingin menegaskan bahwa agama tidak bisa dimain-mainkan, hanya menjadi sekadar nama sebuah partai, dan sekadar “dijual” murah untuk menarik pengikut, dan dalam kehidupan sehari-hari agama kelihatan begitu mudah disimpangkan.

Selebihnya, pertanyaan ini bermaksud menggali jawaban mengenai ketulusan bergama dan berpolitik, untuk membangun moralitas politik yang beneran, yang memihak keluhuran moral yang ditetapkan Tuhan di dalam kitab-kitab suci, dan secara riil, ada kesungguhan membela kepentingan rakyat.

Apakah para politikus kita pernah terganggu oleh kegelisahan mengenai betapa rendahnya cara kita memperlakukan apa yang ideal, sebagaimana tampak di dalam praktik-praktik kotor dunia politik kita?
Mungkinkah mereka sama sekali tak peduli akan kenyataan memalukan, ketika para tokoh politik yang berhaluan agama, justru berada di garis depan dalam penyimpangan moral, dan menghancurkan ekonomi bangsanya sendiri?

Suatu jenis protes moral seperti apa yang ada pada para politikus kita begitu mereka menyadari bahwa tokoh politik berhaluan agama justru tampak menyolok—dan kelihatannya tidak merasa malu—melacurkan prinsip moral, yang di dalam ibadah kelihatannya dijunjung tinggi?

Kemudian secara khusus, adakah di kalangan politikus yang berhaluan keagamaan, suatu kesadaran bahwa agama telah dilacurkan secara terbuka di dalam politik, oleh para politikus maupun oleh para agamawan, yang serakah dan tak mengenal lagi sikap “zuhud” yang sering mereka khotbahkan?

Kelihatannya, para politikus kita—bahkan termasuk politikus berhaluan keagamaan—tak peduli sama sekali melihat kenyataan mengenaskan macam itu.

Tak ada pemikiran kritis, bahwa berhubung para agamawan sendiri juga ikut melacurkan agama maka sebaiknya diadakan suatu protes, agar mereka belajar dari khotbah-khotbah mereka sendiri. Kalau para agamawan tak pernah belajar atau menghargai khotbah mereka, maka mana mungkin orang lain disuruh menghargainya?

Selebihnya mungkin bagus jika agamawan-agamawan yang ditandai terlalu serakah dan menggunakan kekuatan keagamaan untuk memperkaya diri, harus dihukum sebagai bukan lagi agamawan. Adakah sikap politik seperti ini di kalangan umat, yang konon cerdas dan paham akan makna agama sebagai kekuatan protes?

Kalau kesadaran macam ini terbentuk, mungkinkah ada suatu sikap, bahwa pada suatu saat, dalam suatu khotbah agama, para jemaah bubar total karena tak mau mendengar kemunafikan dikhotbahkan?
Kalau kesadaran dan tindakan ini masih tak mungkin muncul di masyarakat kita, kita turut secara terbuka menelantarkan agama. Kecuali itu kita juga turut menyuburkan penyimpangan di dalam kehidupan seolah penyimpangan itu barang biasa, seperti kita saksikan saat ini.

Sikap terhadap para politikus dari kalangan keagamaan yang serakah, korup, dan berlebihan menikmati kekayaan hasil korupsi? Rakyat harus melawan. Dia mungkin golongan kita, teman kita, tapi kita tak peduli. Kita bukan memihak teman, bukan memihak golongan, melainkan memihak nilai, yakni keindonesiaan. Mungkin juga keadilan; mungkin juga kemanusiaan. Di sana wilayah perjuangan kita.

Persetan dia kawan. Persetan dia orang yang sehaluan dengan kita. Ketika dia korup, kita sudah tidak sehaluan lagi. Ketika dia menyimpangkan prinsip moral, siapa bilang dia masih kawan kita? Jika kawan sudah bukan lagi kawan, maka para koruptor akan berpikir ulang. Tapi jika seorang yang sudah dianggap korup dan ada tanda-tanda bahwa anggapan itu benar, maka membelanya berarti membela kejahatan dan kita, yang membela itu, juga penjahat.

Kejahatan akan hancur, jika penjahatnya merasa dunia sudah tak lagi mengampuninya. Kawan-kawan sudah menjauh. Orang satu partai tak lagi bersedia berkomunikasi dan berbagi dalam suka duka kehidupan.
Dunia sudah tertutup baginya. Jika ini yang terjadi, jelas bahwa kita membela tegaknya harga diri partai, harga diri ketua partai, harga diri kawan-kawan, dan harga diri kita sendiri. Dengan begitu, kita mengubah rendahnya moralitas politikus kita yang memalukan ini. Tak ada orang lain, atau bangsa lain, yang bakal mau melakukannya, kecuali kita, dan hanya kita. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar