Kamis, 20 Juni 2013

Hak Masyarakat Hukum Adat

Hak Masyarakat Hukum Adat
Maria SW Sumardjono ;   Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 19 Juni 2013


Penantian panjang pengakuan hak masyarakat hukum adat secara komprehensif dalam undang-undang diharapkan segera terwujud dengan disahkannya RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Kedudukan UU ini strategis karena, setelah berlaku, semua peraturan per-UU-an terkait dengan hak masyarakat hukum adat (MHA) wajib merujuk pada UU ini. Selama ini dipahami bahwa disharmoni antar-peraturan per-UU-an merupakan salah satu sebab terjadinya konflik, khususnya terkait dengan akses menguasai atau memanfaatkan sumber daya alam (SDA).

Dalam RUU disebutkan bahwa negara mengakui hak MHA. Artinya, hak MHA itu bukan sesuatu yang diberikan negara. Ketika keberadaan MHA sudah diverifikasi, negara mengakui keberadaannya secara tertulis melalui suatu ketetapan yang bersifat declaratoir. hal ini sekaligus menunjukkan penghormatan negara terhadap hak MHA yang sudah ada bahkan jauh sebelum 17 Agustus 1945.

Bagaimana proses pengakuan hak MHA itu? Diawali dengan kegiatan identifikasi sendiri yang dapat dilakukan MHA dan/atau pemerintah, data dan informasi terkait dengan MHA diverifikasi oleh panitia MHA (kabupaten/ kota, provinsi, atau nasional). Panitia akan mengumumkan hasil verifikasi kepada masyarakat untuk selanjutnya disampaikan kepada bupati/wali kota, gubernur, atau presiden sesuai dengan kewenangannya untuk ditetapkan melalui suatu keputusan.

MHA itu tak eksklusif karena, di samping mempunyai berbagai hak, juga dibebani dengan kewajiban, antara lain mematuhi peraturan per-UU-an. Mengingat berbagai konflik terjadi sebagai akibat tak diakuinya hak-hak MHA, di samping mengakui, negara wajib melindungi MHA agar terjamin pelaksanaan hak-haknya dan terlindungi dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.

RUU menyebutkan hak MHA atas tanah, wilayah, dan SDA. Khusus hak atas SDA, dirumuskan bahwa ”SDA mencakup segala sesuatu, baik yang berada di permukaan tanah maupun di dalam tanah termasuk perairan”. Terkait SDA yang berada di bawah tanah, perlu diberi pembatasan. Di dalam literatur tentang hak ulayat, sesuai dengan asas pemisahan horizontal, hak ulayat berlaku atas tanah, perairan, tanaman yang tumbuh sendiri, beserta satwa yang hidup liar. Jadi, hak ulayat MHA itu meliputi tanah ”plus” segala sesuatu yang berada di atas tanah.

Di bawah tanah

Bagaimana dengan SDA yang berada di bawah tanah? Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menggariskan bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi tak termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas tanah. Sebagai contoh disebut perlunya UU khusus yang mengatur tentang pertambangan. Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.

Merujuk Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bila dijabarkan, cabang produksi yang (1) penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; (2) penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; (3) tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak, menurut MK, harus dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Maka, SDA terkait pertambangan mineral, minyak, gas, batubara, dan semua sumber daya energi potensial tidak termasuk dalam pengertian hak MHA atas SDA yang terdapat di dalam tanah sebagaimana dirumuskan dalam RUU. Meski begitu, sesuai dengan asas pengakuan terhadap hak MHA, jika SDA pertambangan berada di dalam wilayah MHA, maka MHA harus diberi hak memperoleh manfaat dan pembagian keuntungan dari alokasi dan pemanfaatan SDA itu.

Wilayah adat merupakan salah satu unsur dalam proses penetapan MHA di samping sejarah MHA, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Khusus terkait dengan wilayah MHA, seyogianya dalam RUU dimuat ketentuan bahwa keputusan bupati/wali kota, keputusan gubernur, atau keputusan presiden tentang penetapan MHA dilampiri dengan peta wilayah MHA yang merupakan hasil kegiatan pendaftaran tanah dengan obyek hak ulayat MHA sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an terkait pendaftaran tanah.

Karena hingga saat ini terdapat sejumlah peraturan daerah (perda) terkait hak ulayat MHA, seyogianya perda itu juga dilampiri dengan peta wilayah MHA yang bersangkutan. Arti pentingnya peta wilayah adat antara lain untuk menghindari konflik terkait batas wilayah. Pemetaan wilayah adat akan membantu pekerjaan besar pemerintah menuntaskan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI, baik yang berstatus tanah negara, tanah perseorangan/badan hukum, maupun tanah ulayat MHA.

RUU menyebutkan bahwa MHA berhak mendapatkan restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas tanah ulayat, perairan, wilayah adat, dan SDA yang dimiliki secara turun-temurun yang diambil alih, dikuasai, digunakan, atau dirusak tanpa persetujuan MHA. Ketentuan lebih lanjut terkait restitusi dan kompensasi akan diatur dalam peraturan pemerintah. Rumusan RUU tentang restitusi dan kompensasi perlu diperjelas sehingga implementasinya kelak berjalan sesuai dengan tujuannya.

Pertama, RUU tidak menjelaskan makna restitusi dan kompensasi, padahal dua hal itu berbeda dalam esensinya. Merujuk pada berbagai konvensi internasional tentang pengakuan MHA, restitusi itu dimaknai sebagai upaya mengembalikan hak MHA dalam situasi/kondisi semula; sedangkan kompensasi diberikan jika secara faktual restitusi tidak dapat dilaksanakan. Kriteria pemberian kompensasi adalah kesetaraannya dengan keadaan sebelum hak MHA diambil alih.

Kedua, RUU juga belum merumuskan tentang bentuk restitusi atau kompensasi. Menurut konvensi internasional, MHA berhak atas kompensasi yang adil dalam bentuk: tanah, wilayah, SDA yang setara dalam kualitas, luas dan status hukumnya sebe- lum diambil alih, atau dapat diberi dalam bentuk lain sesuai pilihan MHA yang bersangkutan.

Ketiga, RUU belum mengatur tentang kelembagaan yang berwenang dan bertugas melaksanakan restitusi dan kompensasi, termasuk tentang prosedur dan mekanisme pengajuan klaim oleh MHA. Tanpa pengaturan yang komprehensif tentang restitusi dan kompensasi, tujuan yang mulia itu tak akan mencapai sasaran. Pengambilalihan tanah, wilayah, dan SDA MHA yang telah terjadi itu menimbulkan gangguan terhadap hubungan sosial-politik antara pihak yang mengambil alih dan MHA.

Pengakuan hak MHA disertai dengan komitmen pemberian restitusi dan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan per- UU-an merupakan upaya rekonsiliasi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial politik yang sempat terganggu itu.

UU Pengakuan dan Perlindungan MHA bukan obat mujarab untuk menyelesaikan semua masalah terkait MHA, tetapi dapat disebut sebagai langkah awal membuktikan berlakunya pluralisme hukum di Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar