|
KOMPAS,
19 Juni 2013
Penantian
panjang pengakuan hak masyarakat hukum adat secara komprehensif dalam
undang-undang diharapkan segera terwujud dengan disahkannya RUU tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.
Kedudukan
UU ini strategis karena, setelah berlaku, semua peraturan per-UU-an terkait
dengan hak masyarakat hukum adat (MHA) wajib merujuk pada UU ini. Selama ini
dipahami bahwa disharmoni antar-peraturan per-UU-an merupakan salah satu sebab
terjadinya konflik, khususnya terkait dengan akses menguasai atau memanfaatkan
sumber daya alam (SDA).
Dalam
RUU disebutkan bahwa negara mengakui hak MHA. Artinya, hak MHA itu bukan
sesuatu yang diberikan negara. Ketika keberadaan MHA sudah diverifikasi, negara
mengakui keberadaannya secara tertulis melalui suatu ketetapan yang bersifat
declaratoir. hal ini sekaligus menunjukkan penghormatan negara terhadap hak MHA
yang sudah ada bahkan jauh sebelum 17 Agustus 1945.
Bagaimana
proses pengakuan hak MHA itu? Diawali dengan kegiatan identifikasi sendiri yang
dapat dilakukan MHA dan/atau pemerintah, data dan informasi terkait dengan MHA
diverifikasi oleh panitia MHA (kabupaten/ kota, provinsi, atau nasional).
Panitia akan mengumumkan hasil verifikasi kepada masyarakat untuk selanjutnya
disampaikan kepada bupati/wali kota, gubernur, atau presiden sesuai dengan
kewenangannya untuk ditetapkan melalui suatu keputusan.
MHA
itu tak eksklusif karena, di samping mempunyai berbagai hak, juga dibebani
dengan kewajiban, antara lain mematuhi peraturan per-UU-an. Mengingat berbagai
konflik terjadi sebagai akibat tak diakuinya hak-hak MHA, di samping mengakui,
negara wajib melindungi MHA agar terjamin pelaksanaan hak-haknya dan
terlindungi dari tindakan kekerasan dan diskriminasi.
RUU
menyebutkan hak MHA atas tanah, wilayah, dan SDA. Khusus hak atas SDA,
dirumuskan bahwa ”SDA mencakup segala sesuatu, baik yang berada di permukaan
tanah maupun di dalam tanah termasuk perairan”. Terkait SDA yang berada di
bawah tanah, perlu diberi pembatasan. Di dalam literatur tentang hak ulayat,
sesuai dengan asas pemisahan horizontal, hak ulayat berlaku atas tanah, perairan,
tanaman yang tumbuh sendiri, beserta satwa yang hidup liar. Jadi, hak ulayat
MHA itu meliputi tanah ”plus” segala sesuatu yang berada di atas tanah.
Di
bawah tanah
Bagaimana
dengan SDA yang berada di bawah tanah? Pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria menggariskan bahwa kekayaan alam yang
terkandung di dalam bumi tak termasuk dalam kewenangan pemegang hak atas tanah.
Sebagai contoh disebut perlunya UU khusus yang mengatur tentang pertambangan.
Hal ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU
No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
Merujuk
Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945, cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bila dijabarkan, cabang produksi
yang (1) penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; (2)
penting bagi negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; (3) tidak
penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak, menurut MK,
harus dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Maka,
SDA terkait pertambangan mineral, minyak, gas, batubara, dan semua sumber daya
energi potensial tidak termasuk dalam pengertian hak MHA atas SDA yang terdapat
di dalam tanah sebagaimana dirumuskan dalam RUU. Meski begitu, sesuai dengan
asas pengakuan terhadap hak MHA, jika SDA pertambangan berada di dalam wilayah
MHA, maka MHA harus diberi hak memperoleh manfaat dan pembagian keuntungan dari
alokasi dan pemanfaatan SDA itu.
Wilayah
adat merupakan salah satu unsur dalam proses penetapan MHA di samping sejarah
MHA, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan
kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Khusus terkait dengan wilayah MHA,
seyogianya dalam RUU dimuat ketentuan bahwa keputusan bupati/wali kota, keputusan
gubernur, atau keputusan presiden tentang penetapan MHA dilampiri dengan peta
wilayah MHA yang merupakan hasil kegiatan pendaftaran tanah dengan obyek hak
ulayat MHA sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an terkait pendaftaran
tanah.
Karena
hingga saat ini terdapat sejumlah peraturan daerah (perda) terkait hak ulayat
MHA, seyogianya perda itu juga dilampiri dengan peta wilayah MHA yang
bersangkutan. Arti pentingnya peta wilayah adat antara lain untuk menghindari
konflik terkait batas wilayah. Pemetaan wilayah adat akan membantu pekerjaan
besar pemerintah menuntaskan pendaftaran tanah di seluruh wilayah RI, baik yang
berstatus tanah negara, tanah perseorangan/badan hukum, maupun tanah ulayat
MHA.
RUU
menyebutkan bahwa MHA berhak mendapatkan restitusi dan kompensasi yang layak
dan adil atas tanah ulayat, perairan, wilayah adat, dan SDA yang dimiliki
secara turun-temurun yang diambil alih, dikuasai, digunakan, atau dirusak tanpa
persetujuan MHA. Ketentuan lebih lanjut terkait restitusi dan kompensasi akan
diatur dalam peraturan pemerintah. Rumusan RUU tentang restitusi dan kompensasi
perlu diperjelas sehingga implementasinya kelak berjalan sesuai dengan
tujuannya.
Pertama,
RUU tidak menjelaskan makna restitusi dan kompensasi, padahal dua hal itu berbeda
dalam esensinya. Merujuk pada berbagai konvensi internasional tentang pengakuan
MHA, restitusi itu dimaknai sebagai upaya mengembalikan hak MHA dalam
situasi/kondisi semula; sedangkan kompensasi diberikan jika secara faktual
restitusi tidak dapat dilaksanakan. Kriteria pemberian kompensasi adalah
kesetaraannya dengan keadaan sebelum hak MHA diambil alih.
Kedua,
RUU juga belum merumuskan tentang bentuk restitusi atau kompensasi. Menurut
konvensi internasional, MHA berhak atas kompensasi yang adil dalam bentuk:
tanah, wilayah, SDA yang setara dalam kualitas, luas dan status hukumnya sebe-
lum diambil alih, atau dapat diberi dalam bentuk lain sesuai pilihan MHA yang
bersangkutan.
Ketiga,
RUU belum mengatur tentang kelembagaan yang berwenang dan bertugas melaksanakan
restitusi dan kompensasi, termasuk tentang prosedur dan mekanisme pengajuan
klaim oleh MHA. Tanpa pengaturan yang komprehensif tentang restitusi dan
kompensasi, tujuan yang mulia itu tak akan mencapai sasaran. Pengambilalihan
tanah, wilayah, dan SDA MHA yang telah terjadi itu menimbulkan gangguan
terhadap hubungan sosial-politik antara pihak yang mengambil alih dan MHA.
Pengakuan
hak MHA disertai dengan komitmen pemberian restitusi dan kompensasi sesuai
dengan ketentuan peraturan per- UU-an merupakan upaya rekonsiliasi untuk
mengembalikan keseimbangan hubungan sosial politik yang sempat terganggu itu.
UU
Pengakuan dan Perlindungan MHA bukan obat mujarab untuk menyelesaikan semua
masalah terkait MHA, tetapi dapat disebut sebagai langkah awal membuktikan
berlakunya pluralisme hukum di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar