Kamis, 20 Juni 2013

Kuasa yang Meninggalkan Rakyat

Kuasa yang Meninggalkan Rakyat
Nining Elitos ;   Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh (KASBI)
SINAR HARAPAN, 18 Juni 2013

  
Episode rencana penaikan harga BBM kali ini sedikit berbeda. Di media-media, kita menyaksikan parade pernyataan persetujuan pejabat yang bersahut-sahutan. Segala dalih disampaikan bahwa memotong subsidi adalah demi penyelamatan keuangan negara. Melakukannya berarti juga menyelamatkan rakyat.

Iming-iming ditebar. Segala sisi perikehidupan rakyat bakal ditopang oleh hasil penyunatan subsidi. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 dibagikan pada belasan juta rakyat miskin selama empat bulan. Tak hanya itu, berbagai program kerakyatan diluncurkan, mulai dari beasiswa untuk pelajar/mahasiswa, penyediaan lapangan kerja, pengadaan listrik di daerah terpencil, hingga pembangunan perumahan murah.

Kesannya, seluruh “kebaikan pemerintah” itu selama ini raib gara-gara subsidi BBM yang terlalu besar. Apalagi, subsidi itu ternyata lebih banyak dinikmati golongan kaya. Subsidi BBM benar-benar horor yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.

Di luar panggung media, logika pemerintah berbenturan dengan pengetahuan sehari-hari rakyat. Kebanyakan orang tak mau tahu urusan penyelamatan APBN. Satu hal yang jelas di depan mata, kenaikan BBM berarti naiknya ongkos transportasi, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung, dan segala urusan berhubungan duit yang tak lagi murah.

Tak heran jika menjelang isu kenaikan harga BBM, ribuan elemen rakyat berdemonstrasi di pusat-pusat kekuasaan dari pusat hingga daerah. Mahasiswa turun ke jalan dan memancing keributan dengan aparat keamanan, beberapa bertindak berlebihan seperti di Makassar. Sementara itu, buruh yang kian terorganisasi dan berpengalaman menghadapi kasus dan kebijakan, tumpah ruah di jalan-jalan protokol, Istana Negara, atau gedung DPR.

Pemerintah memang telah membentuk tim khusus sosialisasi penyesuaian harga BBM (diketuai langsung Wapres Boediono). Bujuk rayu ditebar melalui televisi, media massa, juga jutaan spanduk di setiap pom bensin. Namun begitu, tetap saja tercipta jarak begitu lebar antara keinginan pemerintah dan aspirasi masyarakat.

Upaya Bersama

Masalahnya, bertujuan baik atau sebaliknya, pentas kenaikan harga BBM selalu menempatkan rakyat menjadi aktor (sekaligus korban) utama. Sementara itu, (pejabat) pemerintah bertindak sebagai sutradara yang relatif tidak menanggung risiko ke depannya.

Alih-alih mengharapkan keseimbangan finansial, rakyatlah seperti yang harus menanggung permasalahan itu sendirian. Rakyat seperti buruh, tani, dan nelayan yang bekerja keras demi sesuap nasi dipaksa kembali menyerahkan hasil jerih payahnya itu untuk menutup kenaikan harga segala komoditas akibat harga BBM naik.

Sebaliknya pemerintah cukup berkomentar, ketok palu, atau bahkan menghamburkan dana untuk keperluan kampanye kenaikan harga BBM. Mereka pun tak perlu menanggung harga baru BBM lantaran dibayari negara. Dalam berbagai kesempatan, tidak ada simpati dari pejabat yang memadai terhadap kesulitan rakyat pasca-BBM naik. Setidaknya permohonan maaf yang tulus (lantaran bakal menyusahkan rakyat) akan sedikit menjadi penawar kegetiran.

Selain itu, jika temanya adalah penyelamatan anggaran, tidak ada aktivitas atau rencana lain, seolah anggaran yang payah ini semata-mata karena subsidi BBM. Seandainya pemerintah punya agenda lain demi keseimbangan APBN, mungkin rakyat relatif mafhum. Penghematan uang negara untuk hal-hal tidak mendesak misalnya, tentu bakal diapresiasi banyak kalangan.

Porsi terbesar anggaran negara masih untuk belanja pegawai berupa gaji, fasilitas dan berbagai keperluannya. Di banyak daerah, proporsi anggaran daerah untuk item ini bisa mencapai 70-80 persen. Artinya, tidak cukup banyak yang tersisa bagi pembangunan sarana publik. Proporsi timpang ini juga menimbulkan kesan pajak yang dibayar rakyat hanya untuk membiayai gaji pegawai.

Seharusnya, ada kebijakan memadai di sektor ini yang akan menambah kas negara dan menyeimbangkan APBN. Kita sering kali mendengar biaya perjalanan pejabat yang supermahal ke luar daerah dan luar negeri. Biaya ini semestinya dipangkas besar-besaran, kalau perlu ada moratorium (penghentian sementara) perjalanan dinas.

Fasilitas-fasilitas pejabat juga harus terkoreksi signifikan. Tidak ada lagi pembelian kendaraan dinas, komputer baru, dan berbagai fasilitas lain tak mendesak. Penyejuk ruangan diganti kipas angin biasa, gedung-gedung tak perlu dicat lagi. Pada tahap paling ujung, tunjangan bagi pejabat dipangkas sekecil-kecilnya. Intinya, semua tindakan penghematan dilakukan demi anggaran negara yang sehat.

Jika benar subsidi menguntungkan orang kaya yang diketahui pejabat itu juga orang kaya dan menghisap BBM bersubsidi jauh lebih banyak dari orang miskin, bikin skema lain agar orang kaya dipaksa mengeluarkan dana lebih besar. Pajak kendaraan pribadi bisa diperbesar dua hingga tiga kali. Biaya parkir juga perlu dibikin mahal sebagaimana negara-negara lain.

Seandainya hasil akhir proses ini tak juga cukup, pilihan pemotongan subsidi adalah langkah yang harus diambil lantaran tidak ada langkah lainnya.

Pun saat pengumumannya, kita ingin melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau pejabat yang mewakilinya bercucuran air mata, disertai permintaan maaf beribu kali kepada rakyat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar