|
SINAR
HARAPAN, 18 Juni 2013
Episode
rencana penaikan harga BBM kali ini sedikit berbeda. Di media-media, kita
menyaksikan parade pernyataan persetujuan pejabat yang bersahut-sahutan. Segala
dalih disampaikan bahwa memotong subsidi adalah demi penyelamatan keuangan
negara. Melakukannya berarti juga menyelamatkan rakyat.
Iming-iming
ditebar. Segala sisi perikehidupan rakyat bakal ditopang oleh hasil penyunatan
subsidi. Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000
dibagikan pada belasan juta rakyat miskin selama empat bulan. Tak hanya itu,
berbagai program kerakyatan diluncurkan, mulai dari beasiswa untuk
pelajar/mahasiswa, penyediaan lapangan kerja, pengadaan listrik di daerah
terpencil, hingga pembangunan perumahan murah.
Kesannya,
seluruh “kebaikan pemerintah” itu selama ini raib gara-gara subsidi BBM yang
terlalu besar. Apalagi, subsidi itu ternyata lebih banyak dinikmati golongan
kaya. Subsidi BBM benar-benar horor yang menjauhkan rakyat dari kesejahteraan.
Di
luar panggung media, logika pemerintah berbenturan dengan pengetahuan
sehari-hari rakyat. Kebanyakan orang tak mau tahu urusan penyelamatan APBN.
Satu hal yang jelas di depan mata, kenaikan BBM berarti naiknya ongkos
transportasi, harga-harga kebutuhan pokok yang melambung, dan segala urusan
berhubungan duit yang tak lagi murah.
Tak
heran jika menjelang isu kenaikan harga BBM, ribuan elemen rakyat
berdemonstrasi di pusat-pusat kekuasaan dari pusat hingga daerah. Mahasiswa
turun ke jalan dan memancing keributan dengan aparat keamanan, beberapa
bertindak berlebihan seperti di Makassar. Sementara itu, buruh yang kian
terorganisasi dan berpengalaman menghadapi kasus dan kebijakan, tumpah ruah di
jalan-jalan protokol, Istana Negara, atau gedung DPR.
Pemerintah
memang telah membentuk tim khusus sosialisasi penyesuaian harga BBM (diketuai
langsung Wapres Boediono). Bujuk rayu ditebar melalui televisi, media massa,
juga jutaan spanduk di setiap pom bensin. Namun begitu, tetap saja tercipta
jarak begitu lebar antara keinginan pemerintah dan aspirasi masyarakat.
Upaya
Bersama
Masalahnya,
bertujuan baik atau sebaliknya, pentas kenaikan harga BBM selalu menempatkan
rakyat menjadi aktor (sekaligus korban) utama. Sementara itu, (pejabat)
pemerintah bertindak sebagai sutradara yang relatif tidak menanggung risiko ke
depannya.
Alih-alih
mengharapkan keseimbangan finansial, rakyatlah seperti yang harus menanggung
permasalahan itu sendirian. Rakyat seperti buruh, tani, dan nelayan yang
bekerja keras demi sesuap nasi dipaksa kembali menyerahkan hasil jerih payahnya
itu untuk menutup kenaikan harga segala komoditas akibat harga BBM naik.
Sebaliknya
pemerintah cukup berkomentar, ketok palu, atau bahkan menghamburkan dana untuk
keperluan kampanye kenaikan harga BBM. Mereka pun tak perlu menanggung harga
baru BBM lantaran dibayari negara. Dalam berbagai kesempatan, tidak ada simpati
dari pejabat yang memadai terhadap kesulitan rakyat pasca-BBM naik. Setidaknya
permohonan maaf yang tulus (lantaran bakal menyusahkan rakyat) akan sedikit
menjadi penawar kegetiran.
Selain
itu, jika temanya adalah penyelamatan anggaran, tidak ada aktivitas atau
rencana lain, seolah anggaran yang payah ini semata-mata karena subsidi BBM.
Seandainya pemerintah punya agenda lain demi keseimbangan APBN, mungkin rakyat
relatif mafhum. Penghematan uang negara untuk hal-hal tidak mendesak misalnya,
tentu bakal diapresiasi banyak kalangan.
Porsi
terbesar anggaran negara masih untuk belanja pegawai berupa gaji, fasilitas dan
berbagai keperluannya. Di banyak daerah, proporsi anggaran daerah untuk item
ini bisa mencapai 70-80 persen. Artinya, tidak cukup banyak yang tersisa bagi
pembangunan sarana publik. Proporsi timpang ini juga menimbulkan kesan pajak
yang dibayar rakyat hanya untuk membiayai gaji pegawai.
Seharusnya,
ada kebijakan memadai di sektor ini yang akan menambah kas negara dan
menyeimbangkan APBN. Kita sering kali mendengar biaya perjalanan pejabat yang
supermahal ke luar daerah dan luar negeri. Biaya ini semestinya dipangkas
besar-besaran, kalau perlu ada moratorium (penghentian sementara) perjalanan
dinas.
Fasilitas-fasilitas
pejabat juga harus terkoreksi signifikan. Tidak ada lagi pembelian kendaraan
dinas, komputer baru, dan berbagai fasilitas lain tak mendesak. Penyejuk
ruangan diganti kipas angin biasa, gedung-gedung tak perlu dicat lagi. Pada
tahap paling ujung, tunjangan bagi pejabat dipangkas sekecil-kecilnya. Intinya,
semua tindakan penghematan dilakukan demi anggaran negara yang sehat.
Jika
benar subsidi menguntungkan orang kaya yang diketahui pejabat itu juga orang
kaya dan menghisap BBM bersubsidi jauh lebih banyak dari orang miskin, bikin
skema lain agar orang kaya dipaksa mengeluarkan dana lebih besar. Pajak
kendaraan pribadi bisa diperbesar dua hingga tiga kali. Biaya parkir juga perlu
dibikin mahal sebagaimana negara-negara lain.
Seandainya
hasil akhir proses ini tak juga cukup, pilihan pemotongan subsidi adalah
langkah yang harus diambil lantaran tidak ada langkah lainnya.
Pun
saat pengumumannya, kita ingin melihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau
pejabat yang mewakilinya bercucuran air mata, disertai permintaan maaf beribu
kali kepada rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar