|
KOMPAS,
21 Juni 2013
Merekonstruksi
sejarah pembentukan kekayaan di Eropa, sejarawan Perancis Fernand Braudel
berucap, ”Tak henti-hentinya uang telah
mengejutkan manusia.” Dalam
konteks riuh politik tentang BBM bersubsidi beberapa pekan ini, ungkapan
Braudel itu bisa kita adaptasi: ”Tak henti-hentinya BBM telah mengejutkan
manusia.”
Dengan
seluruh perbedaannya, uang dan BBM mirip. Braudel mencatat uang telah
merevolusi hubungan sosial ketika penggunaannya menyebabkan struktur kuno
kehilangan keseimbangan dan wujud baru pertukaran mengganggu tatanan lama.
Karena itu, uang adalah darah dalam badan sosial dan, seperti dinyatakan
William Petty pada 1655, telah menjadi minyak dalam tubuh politik.
Sementara
itu, BBM, kita tahu, adalah penggerak dunia mesin, instalasi, dan transportasi.
Dalam fase sejarah, ketika denyut hidup hampir sepenuhnya bergantung pada mesin
dan teknologi, BBM juga berfungsi sebagai darah tubuh ekonomi. Karena posisi
uang strategis, Braudel melihat negara sebagai pemberi terbesar sekaligus muara
sirkulasi uang itu. Mirip dengan itu, negara berperan dalam pengadaan BBM
(menggali atau impor) dan sirkulasinya via pengaturan harga melalui kebijakan
subsidi.
Braudel
mencatat, dalam sejarah, penggunaan uang lebih menguntungkan beberapa pihak
(pemungut pajak, rumah gadai, tuan tanah, pedagang besar, dan financiers). Subsidi BBM juga lebih menguntungkan
kelas menengah ke atas. Ringkasnya, dari perspektif sosiologi politik dan
politik-ekonomi, kebijakan moneter dan energi mengandung politik kelas.
Politik
kelas ini terdeteksi dalam pertarungan politik energi di DPR ataupun parlemen
jalanan. Rapat Paripurna DPR atas APBN Perubahan berkaitan dengan pengurangan
subsidi BBM (Senin, 17/6),
mendapatkan dukungan pialang saham (bagian dari kelas pemilik modal) di pasar
modal. Pada penutupan sesi I, Indeks Harga Saham Gabungan (teks berjalan Metro TV pukul 13.25) menguat 0,35 poin dan pada sesi
penutupan (pukul 16.45) naik 13,76 poin.
Berbagi
kepentingan
Di
sini kelas pemilik modal berbagi kepentingan dengan negara. Optimisme para
pialang saham didasarkan pada tesis pengurangan subsidi BBM menyehatkan perekonomian
karena beban APBN terkurangi. Karena itu, postur ekonomi akan terjaga di mata
investor global. Salah satu faktor gelombang pelarian modal, kemerosotan IHSG,
dan depresiasi rupiah beberapa pekan sebelumnya ditafsirkan sebagai wujud
kekhawatiran investor global atas produktivitas APBN. Pengusaha Sofjan Wanandi
sejak dini mengusulkan pengurangan subsidi BBM.
Namun,
kelas pekerja sejak dua tahun ini telah merapatkan barisan menentang kebijakan
ini. Tesis mereka: kenaikan harga BBM akan memi- cu inflasi, dan karena itu
akan menurunkan daya beli rakyat kecil, di mana mereka termasuk di dalamnya.
Dalam kata lain, kenaikan harga BBM identik dengan penyengsaraan rakyat. Dengan
dukungan mahasiswa, ”kaum muda idealis”, kaum pekerja mengungkapkan penolakan dengan
menggunakan parlemen jalanan. Pengurangan subsidi BBM merupakan momentum kelas
pekerja kian mengonsolidasikan diri.
Namun,
gejala politik kelas ini tetap terasa ganjil. Di bawah rezim reformasi, negara
tak berhak mengklaim kelas pemilik modal sebagai hasil reproduksinya seba-
gaimana dulu didalilkan Richard Robison di masa Orde Baru. Sebagian besar kelas
pemilik modal hari ini adalah kelanjutan masa lalu plus peluang ekonomi dan
”profesionalisme” yang tersodorkan globalisme. Karena itu, negara di bawah SBY,
terutama sejak 2009, tidak serta-merta melihat mereka sebagai mitra strategis.
Motif kecenderungan ini belum ada dalam rumusan resmi. Yang terlihat adalah
migrasi kelas ini ke dalam dunia politik di bawah frasa ”dwifungsi saudagar”
Jusuf Kalla. Apakah kelas pemilik modal diam-diam telah menjadi pesaing
negara?
Karena
itu, ada gejala negara merapat ke kelas pekerja. Damainya ”pesta buruh” 1 Mei
lalu menjadi indikator. SBY bertemu pemimpin kelas pekerja di Jakarta dan pada
1 Mei di Surabaya. Sejak awal 2013, pemihakan negara atas tuntutan perbaikan
upah kelas pekerja mulai terlihat nyata. Ini bukan saja mendorong konsolidasi
kelas pemilik modal, melainkan juga menempatkan mereka berhadapan dengan
negara. Usul pengunduran realisasi kenaikan upah kelas ini kepada pemerintah
adalah bukti nyata. Melalui dukungan negara, kelas pekerja tampak berkesempatan
mengonsolidasikan diri.
Politik
energi beberapa pekan ini memperlihatkan pesan bercabang tentang politik kelas
di Indonesia ketika pemilik modal mendukung kebijakan negara yang ditentang
kelas pekerja. Namun, tampaknya, hingga akhir 2014, dengan alasan politik pemilu,
negara lebih condong bermitra dengan kelas pekerja daripada kelas pemodal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar