|
SINAR HARAPAN, 07 Juni 2013
Seiring
terus bergulirnya tahapan pemilu, isu yang berkenaan dengan pemilu makin sering
diperbincangkan khalayak. Satu hal yang menjadi sorotan media massa akhir-akhir
ini adalah perihal pengaturan dana kampanye.
Dana
miliaran rupiah akan berputar dan berseliweran lebih cepat ketika fase kampanye
nanti dimulai. Apalagi sejak sistem pemilu diubah mulai Pemilu Legislatif Tahun
2009 dari menggunakan sistem nomor urut menjadi menggunakan sistem suara
terbanyak, kemungkinan saling adu dalam hal merogoh kocek para caleg akan jadi
pemandangan yang lazim terjadi.
Sistem
pemilu kontemporer tersebut “memaksa” setiap caleg berkorban habis-habisan,
khususnya soal finansial, agar peluang meraih kursi bagi mereka lebih besar
dibanding calon lain.
Padahal,
aktivitas pemilu yang berdekatan dengan pengaruh yang besar dari uang dapat berdampak
buruk untuk politik pascapemilu selesai. Dampak yang dimaksud bertalian dengan
hubungan uang dan decision making process oleh para anggota legislatif
terpilih.
Mengutip
Schwimmer (2003), uang memiliki posisi penting di dalam politik karena partai politik
membutuhkan sumber daya yang besar untuk pembiayaan kegiatan pemilu. Namun,
uang tak boleh ditempatkan dalam pengaruh yang besar di dalam aktivitas
pembuatan keputusan (baca: pembuatan kebijakan) oleh para legislator. Untuk
itu, pengaturan dana kampanye ditujukan untuk memagari independensi partai
politik dan caleg yang berkompetisi dari pengaruh uang yang disetor oleh para
donatur kampanye.
Kelemahan
Ongkos
menjadi seorang caleg adalah besar jumlahnya dibenarkan anggota DPR. Sekadar
contoh, Martin Hutabarat, politikus Partai Gerindra, mengatakan caleg yang
bukan selebritas atau tokoh terkenal membutuhkan sekitar Rp 6 miliar untuk
kampanye. Dana tersebut dibutuhkan untuk transportasi, biaya pertemuan dengan
konstituen serta pembuatan baliho, spanduk, dan kaus.
Sayangnya,
di tengah “ancaman” akan jorjorannya para calon wakil rakyat di Senayan,
regulasi mengenai dana kampanye justru terkesan tidak diatur secara serius dan
memiliki sejumlah kelemahan.
Meminjam
istilah judul buku Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang
baru saja diluncurkan (“Basa-basi Dana Kampanye”), pengaturan dana kampanye
dalam UU No 8 Tahun 2012 menjadi seperti sekadar basa-basi. Kalaupun ada
tanggapan dari segelintir anggota DPR yang menyebutkan ke media massa bahwa mereka
setuju pengaturan dana kampanye, namun tetap perlu kritis kepada mereka.
Mengapa
demikian? Pertama, jika memang merasa sungguh-sungguh serius ingin
mengatur uang kampanye para caleg, waktunya bukan sekarang, melainkan sebelum
UU Pemilu disahkan. Sebagai wakil rakyat, pembuktian perjuangan habis-habisan
mendorong segerombolan pasal soal dana kampanye adalah ketika RUU Pemilu masih
dirapatkan di Senayan.
Kedua, pengalaman
sebelumnya menunjukkan bahwa sudah aturannya longgar, praktik penegakan aturan
juga tidak sesuai dengan harapan.
Misalnya
belanja kampanye parpol-parpol dalam Pemilu 2009 menurut AC Nielsen banyak yang
tidak sesuai dengan kenyataan. Seharusnya diperkirakan dengan slot yang
dihitung selama masa kampanye, total anggaran yang dikeluarkan jumlahnya besar,
tapi yang dilaporkan kepada KPU jumlahnya lebih kecil.
Di
samping terkesan basa-basi, pengaturan dana kampanye juga tidak komprehensif
sehingga tidak cukup berhasil menjalankan prinsip pembatasan yang berujung pada
biaya politik yang minimalis. Pengaturan dana kampanye memang membuat batasan
di sisi jumlah penerimaan dana kampanye berdasarkan kategori penyumbang
(individu atau lembaga), tapi membiarkan besaran dana kampanye yang boleh
dikeluarkan.
Padahal,
pengaturan penerimaan sendiri juga masih memiliki lubang di mana belum bisa
“menjerat” anggota parpol kalau berkata tidak benar soal dana penerimaan
kampanye. Dana rekening tidak bisa mengover data penerimaan seorang caleg kalau
dana kampanye yang diterima berasal dari pembayaran tunai. Ditambah lagi,
pelaporan dana kampanye belum dijadikan alat untuk memberi sanksi bagi caleg
yang boros dalam memakai uangnya.
Implikasi
Sistem
dan aturan pemilu yang tidak compatible dengan biaya politik minimalis
pada saat kampanye memiliki setidaknya dua implikasi.
Pertama,
ongkos politik yang tinggi akan berisiko menimbulkan transaksi politik yang
ilegal sifatnya. Dana kampanye diposisikan ibarat dana investasi politik si
wakil rakyat. Logika investasi minimal adalah pengembalian modal awal yang
telah dikucurkan ketika kampanye berlangsung.
Seperti
kita ketahui, gaji seorang anggota DPR berkisar di angka Rp 50 juta per bulan.
Apabila dikalikan 60 bulan masa jabatan seorang wakil rakyat, totalnya adalah
Rp 3 miliar. Angka itu bisa jadi akan tidak cukup untuk terutama bila seorang
caleg mengeluarkan fulus lebih dari Rp 3 miliar.
Akhirnya,
cara-cara pengumpulan uang secara ilegal (misalnya suap, komisi atas jabatan
atau anggaran tertentu) bisa jadi akan menjadi “alternatif utama” bagi para
caleg terpilih untuk mengembalikan modal politiknya.
Implikasi
kedua yakni politik berbiaya tinggi akan menyinggung prinsip kesetaraan dalam
pemilu. Pasalnya, tidak semua caleg memiliki uang yang banyak.
Akan
tetapi, boleh jadi mereka yang berkantong tipis itu punya visi, misi, program,
dan pengalaman mengabdi untuk rakyat yang bagus. Jelas, kampanye yang bermodal
besar adalah tidak adil bagi caleg berkantong tipis, tapi berkarakter abdi
rakyat yang baik.
Di
samping itu, hakikat kampanye pemilu yang ideal adalah yang lebih berisikan adu
visi, misi, dan program kerja ketimbang memobilisasi massa ke suatu tempat
lantas menyajikan hiburan kepada simpatisan dan pendukung yang datang.
Adu
visi, misi, dan program kerja atau debat kandidat secara umum biayanya lebih
murah ketimbang mendatangkan artis untuk sebuah acara panggung hiburan. Apalagi
kalau debat kandidat itu disiarkan dan kemudian disponsori media massa yang
menyiarkannya; sedangkan “memanggil” artis biasanya ditanggung sendiri oleh si
caleg.
Bagaimana
kemudian agar biaya kampanye menjadi murah? Kita berharap banyak pada Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu. KPU ialah lembaga yang
paling mungkin dan “diperbolehkan” membuat aturan khusus soal kampanye,
terutama bertalian dengan kegiatan kampanye. Sebagai contoh, pembatasan jumlah
atribut kampanye, alat peraga, dan iklan kampanye. Pembatasan kegiatan kampanye
oleh KPU dapat dibuat lewat Peraturan KPU.
Membatasi
detail kegiatan kampanye adalah konstitusional ketimbang membatasi jumlah
pengeluaran dana
kampanye karena yang tertera di UU Pemilu adalah aturan soal
jenis dan metode kampanye. Akhirnya, kita tinggal menunggu apakah KPU mau dan
berani membuat terobosan hukum seperti itu dan jika dibuat apakah terobosan
hukum itu didukung para caleg, anggota DPR, dan perwakilan parpol atau tidak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar