Senin, 17 Juni 2013

Pecah Kongsi dan Kepentingan Rakyat

Pecah Kongsi dan Kepentingan Rakyat
Suyatno ;   Peneliti Politik Pemerintahan, Dosen FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2013


KEBERADAAN Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di koalisi tampaknya akan berakhir. Memanasnya hubungan PKS dengan partai koalisi, terutama Partai Demokrat (PD), memang mengundang perdebatan. Apa benar akan terjadi pecah kongsi PKS dengan sekretariat gabungan (setgab)? Meradangnya hubungan itu menyusul sikap PKS yang dianggap tak bisa lagi diajak kompromi mengenai rencana kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi. Partai itu memasang spanduk penolakan penaikan harga BBM di mana-mana.

Sejumlah kader PD menganggap tindakan PKS yang menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sudah tidak bisa lagi dimaafkan dan harus didepak dari koalisi. Sementara sejumlah pihak berpendapat PD tidak harus mendesak PKS untuk keluar dari koalisi. Pun tidak usah didesak karena hak untuk itu terletak di tangan SBY, bukan pada setgab. Ketua koalisi (SBY)-lah yang berwenang untuk mengambil tindakan.

Hitungan lainnya penyebab pecah kongsi merupakan rencana kebijakan yang menyentuh kemakmuran rakyat banyak. Dengan mendepak PKS, partai koalisi bisa dianggap menzalimi partai yang prorakyat, dan itu akan memperburuk citra mereka. Kecuali, PKS yang mundur dari koalisi.

Bagi kubu yang menghendaki PKS keluar dari koalisi, tindakan itu dianggap hal yang pantas. Partai bergambar padi dan bulan sabit itu dianggap sudah sering kali tak bisa diajak kompromi dan membikin sejumlah manuver. Catatan `dosa' PKS di antaranya mendukung pengusutan penjaminan Bank Century dalam Rapat Paripurna DPR, mendukung hak angket DPR untuk mengusut kasus pajak, mengancam menarik dukungan jika menteri partai itu dicopot, dan beberapa catatan `pengkhianatan' lainnya.

Persoalan koalisi tadi bersifat elitis, jauh dari logika kepentingan akar rumput. Pertimbangannya hanya terkait soal kue kekuasaan. Kelihatan bahwa kepentingan rakyat tak menjadi dasar utama perdebatan itu. Lantas bagaimana jika PKS tidak lagi berada di koalisi? Seperti apa seharusnya koalisi yang efektif dibangun dalam sebuah pemerintahan? Lantas, di manakah posisi kepentingan rakyat ditempatkan dalam koalisi?

Penentu koalisi

Semestinya ukuran capaian koalisi tersebut ialah terwujudnya program yang pro terhadap kepentingan rakyat dari partai (koalisi) menjadi kebijakan publik yang dijalankan. Dalam buku Patterns of Democracy dikemukakan ada sejumlah dasar yang menjadi landasan orang melakukan koalisi. Bisa jadi dasar itu hanya salah satu atau bisa pula lebih dari satu dasar sekaligus yang dipakai oleh pihak yang akan berkoalisi. Salah satu dasar, koalisi akan dilakukan dengan pertimbangan utama bila akan menghasilkan jumlah ma yoritas 50% ditambah satu. Namun, ternyata mayoritas parlemen yang dianggap menjamin lancarnya dukungan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dengan mudah tidak berlaku pada kasus PKS.

Dasar lainnya yang patut dihitung ialah pertimbangan jumlah partai yang diajak untuk berkoa lisi. Semakin sedikit jumlah partai yang dilibatkan dalam berkoalisi, akan semakin bagus. Asumsinya, jumlah yang sedikit akan memudahkan negosiasi dan koalisi lebih mudah dipertahankan.

PKS dianggap melanggar kontrak politik partai koalisi. Namun, sejauh ini masyarakat awam tidak punya gambaran jelas perihal isi kontrak itu. Dengan demikian, masyarakat juga sulit memberikan penilaian. Mana yang ingkar terhadap kesepakatan atau apakah kesepakatan itu pro dengan mereka atau sekadar permufakatan kepentingan sempit dan sesaat. Ke depan ketika membangun koalisi, perlu mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan para partai peserta koalisi. Contohnya, mengenai agenda koalisi yang sudah disepakati sehingga masyarakat bisa melihat konsistensi kinerja partai-partai yang duduk di pemerintahan.

Stabilitas politik

Demokrat masih sangat pede (percaya diri) bila ditinggalkan PKS. Koalisi dengan komposisi yang ada minus PKS, menurut mereka, ma sih solid. Jika koalisi ditinggalkan partai dengan 57 kursi di parlemen itu dan sokongan berkurang 8,1%, komposisinya masih 60%--sebuah komposisi pemerintahan yang masih sangat kuat. Sementara itu, PKS harus siap menerima sejumlah konsekuensi, termasuk kehilangan tiga jabatan menteri yang tentu akan di-reshuffle.

Pemerintahan yang kuat dipahami sebagai pemerintahan dengan didukung kekuatan yang cukup di parlemen sehingga eksekutif akan mendapat dukungan untuk melaksanakan program-programnya. Atau juga karena yang menentukan bertahan atau tidaknya sebuah pemerintahan berada di tangan parlemen. Karena itulah koalisi diperlukan. Sebab bila dilakukan voting untuk menentukan disahkannya suatu program atau nasib berlanjutnya sebuah pemerintahan, pemerintah mendapat cukup suara dukungan.

Kenyataan yang unik di negara ini ialah dianutnya sistem presidensial, tetapi sangat diwarnai tawarmenawar kekuatan politik dalam penyusunan kabinet. Akomodasi dari kekuatan politik sebagai hal yang utama merupakan ciri pokok sistem parlementer, di saat bagi-bagi kue kekuasaan terwujud melalui jatah menteri terjadi bila tidak ada mayoritas di parlemen (DPR). Sebab, ketua kebinet dijabat kekuatan utama di parlemen. Bagi-bagi itu juga meliputi tanggung jawab guna menghadapi mosi dari lembaga wakil rakyat yang ada. Namun, mayoritas yang lebih dari cukup tidak ekuivalen dengan terciptanya stabilitas politik (pemerintahan).

Sistem yang dibangun saat ini sebenarnya presidensial yang kuat. Legitimasi presiden sebagai hasil pemilu langsung sangat kuat. Pertanggungjawabannya kepada rakyat. Pemberi suara inilah yang harusnya disuguhi hasil kinerja, karena merekalah yang memberi mandat dan menilai. Maka, presiden seharusnya membuat tim solid untuk bisa bekerja bagi mereka itu.

Dengan logika seperti itu, pertimbangan utama presiden dalam menggandeng mitra dan menunjuk menteri-menterinya ialah kemampuan timnya bekerja untuk rakyat, bagaimana persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini dapat diatasi menjadi target utama. Eksekutif merupakan pelaksana undang-undang yang dibuat rakyat melalui para wakilnya, termasuk partai koalisi. Kewenangan dan tanggung jawab itu kemudian melekat pada presiden dan para pembantunya.


Dalam politik, yang ada bukanlah sahabat sejati, melainkan kepentingan sejati. Jadi, itu sangat ditentukan kepentingan yang sama, dan kepentingan sejati bagi partai ialah memenangi pemilu dan menempatkan kader-kadernya dalam jabatan pemerintahan. Muara dari itu semua sebenarnya adalah untuk kepentingan rakyat terartikulasi menjadi kebijakan negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar