|
MEDIA
INDONESIA, 15 Juni 2013
KEBERADAAN Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) di koalisi tampaknya akan berakhir. Memanasnya hubungan PKS
dengan partai koalisi, terutama Partai Demokrat (PD), memang mengundang
perdebatan. Apa benar akan terjadi pecah kongsi PKS dengan sekretariat gabungan
(setgab)? Meradangnya hubungan itu menyusul sikap PKS yang dianggap tak bisa
lagi diajak kompromi mengenai rencana kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi.
Partai itu memasang spanduk penolakan penaikan harga BBM di mana-mana.
Sejumlah kader PD menganggap tindakan PKS yang menolak
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sudah tidak bisa lagi
dimaafkan dan harus didepak dari koalisi. Sementara sejumlah pihak berpendapat
PD tidak harus mendesak PKS untuk keluar dari koalisi. Pun tidak usah didesak
karena hak untuk itu terletak di tangan SBY, bukan pada setgab. Ketua koalisi
(SBY)-lah yang berwenang untuk mengambil tindakan.
Hitungan lainnya penyebab pecah kongsi merupakan rencana
kebijakan yang menyentuh kemakmuran rakyat banyak. Dengan mendepak PKS, partai
koalisi bisa dianggap menzalimi partai yang prorakyat, dan itu akan memperburuk
citra mereka. Kecuali, PKS yang mundur dari koalisi.
Bagi kubu yang menghendaki PKS keluar dari koalisi,
tindakan itu dianggap hal yang pantas. Partai bergambar padi dan bulan sabit
itu dianggap sudah sering kali tak bisa diajak kompromi dan membikin sejumlah
manuver. Catatan `dosa' PKS di antaranya mendukung pengusutan penjaminan Bank
Century dalam Rapat Paripurna DPR, mendukung hak angket DPR untuk mengusut
kasus pajak, mengancam menarik dukungan jika menteri partai itu dicopot, dan
beberapa catatan `pengkhianatan' lainnya.
Persoalan koalisi tadi bersifat elitis, jauh dari logika
kepentingan akar rumput. Pertimbangannya hanya terkait soal kue kekuasaan. Kelihatan
bahwa kepentingan rakyat tak menjadi dasar utama perdebatan itu. Lantas
bagaimana jika PKS tidak lagi berada di koalisi? Seperti apa seharusnya koalisi
yang efektif dibangun dalam sebuah pemerintahan? Lantas, di manakah posisi
kepentingan rakyat ditempatkan dalam koalisi?
Penentu koalisi
Semestinya ukuran capaian koalisi tersebut ialah
terwujudnya program yang pro terhadap kepentingan rakyat dari partai (koalisi)
menjadi kebijakan publik yang dijalankan. Dalam buku Patterns of Democracy dikemukakan ada sejumlah dasar yang menjadi
landasan orang melakukan koalisi. Bisa jadi dasar itu hanya salah satu atau
bisa pula lebih dari satu dasar sekaligus yang dipakai oleh pihak yang akan
berkoalisi. Salah satu dasar, koalisi akan dilakukan dengan pertimbangan utama
bila akan menghasilkan jumlah ma yoritas 50% ditambah satu. Namun, ternyata
mayoritas parlemen yang dianggap menjamin lancarnya dukungan kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM dengan mudah tidak berlaku pada kasus PKS.
Dasar lainnya yang patut dihitung ialah pertimbangan jumlah
partai yang diajak untuk berkoa lisi. Semakin sedikit jumlah partai yang
dilibatkan dalam berkoalisi, akan semakin bagus. Asumsinya, jumlah yang sedikit
akan memudahkan negosiasi dan koalisi lebih mudah dipertahankan.
PKS dianggap melanggar kontrak politik partai koalisi.
Namun, sejauh ini masyarakat awam tidak punya gambaran jelas perihal isi
kontrak itu. Dengan demikian, masyarakat juga sulit memberikan penilaian. Mana
yang ingkar terhadap kesepakatan atau apakah kesepakatan itu pro dengan mereka atau
sekadar permufakatan kepentingan sempit dan sesaat. Ke depan ketika membangun
koalisi, perlu mengumumkan hal-hal yang berkaitan dengan kesepakatan para
partai peserta koalisi. Contohnya, mengenai agenda koalisi yang sudah
disepakati sehingga masyarakat bisa melihat konsistensi kinerja partai-partai
yang duduk di pemerintahan.
Stabilitas
politik
Demokrat masih sangat pede (percaya diri) bila ditinggalkan
PKS. Koalisi dengan komposisi yang ada minus PKS, menurut mereka, ma sih solid.
Jika koalisi ditinggalkan partai dengan 57 kursi di parlemen itu dan sokongan
berkurang 8,1%, komposisinya masih 60%--sebuah komposisi pemerintahan yang
masih sangat kuat. Sementara itu, PKS harus siap menerima sejumlah konsekuensi,
termasuk kehilangan tiga jabatan menteri yang tentu akan di-reshuffle.
Pemerintahan yang kuat dipahami sebagai pemerintahan dengan
didukung kekuatan yang cukup di parlemen sehingga eksekutif akan mendapat
dukungan untuk melaksanakan program-programnya. Atau juga karena yang
menentukan bertahan atau tidaknya sebuah pemerintahan berada di tangan
parlemen. Karena itulah koalisi diperlukan. Sebab bila dilakukan voting untuk
menentukan disahkannya suatu program atau nasib berlanjutnya sebuah
pemerintahan, pemerintah mendapat cukup suara dukungan.
Kenyataan yang unik di negara ini ialah dianutnya sistem
presidensial, tetapi sangat diwarnai tawarmenawar kekuatan politik dalam
penyusunan kabinet. Akomodasi dari kekuatan politik sebagai hal yang utama
merupakan ciri pokok sistem parlementer, di saat bagi-bagi kue kekuasaan
terwujud melalui jatah menteri terjadi bila tidak ada mayoritas di parlemen
(DPR). Sebab, ketua kebinet dijabat kekuatan utama di parlemen. Bagi-bagi itu
juga meliputi tanggung jawab guna menghadapi mosi dari lembaga wakil rakyat
yang ada. Namun, mayoritas yang lebih dari cukup tidak ekuivalen dengan
terciptanya stabilitas politik (pemerintahan).
Sistem yang dibangun saat ini sebenarnya presidensial yang
kuat. Legitimasi presiden sebagai hasil pemilu langsung sangat kuat.
Pertanggungjawabannya kepada rakyat. Pemberi suara inilah yang harusnya
disuguhi hasil kinerja, karena merekalah yang memberi mandat dan menilai. Maka,
presiden seharusnya membuat tim solid untuk bisa bekerja bagi mereka itu.
Dengan logika seperti itu, pertimbangan utama presiden
dalam menggandeng mitra dan menunjuk menteri-menterinya ialah kemampuan timnya
bekerja untuk rakyat, bagaimana persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini
dapat diatasi menjadi target utama. Eksekutif merupakan pelaksana undang-undang
yang dibuat rakyat melalui para wakilnya, termasuk partai koalisi. Kewenangan
dan tanggung jawab itu kemudian melekat pada presiden dan para pembantunya.
Dalam politik, yang ada bukanlah sahabat sejati, melainkan
kepentingan sejati. Jadi, itu sangat ditentukan kepentingan yang sama, dan
kepentingan sejati bagi partai ialah memenangi pemilu dan menempatkan
kader-kadernya dalam jabatan pemerintahan. Muara dari itu semua sebenarnya
adalah untuk kepentingan rakyat terartikulasi menjadi kebijakan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar