|
KORAN
SINDO, 21 Juni 2013
Ketika diajarkan agama, anak kecil seringkali melontarkan pertanyaan
spontan yang sangat logiskritis sehingga orang tua terhenyak dan sulit
menjawab.
Maka itu, ada ungkapan, setiap anak terlahir membawa kapasitas sebagai filsuf, yang senang bertanya secara radikal, tanpa beban apa pun, termasuk soal Tuhan. Pertanyaan radikal ini justru seringkali terhalangi dan kemudian melemah karena sikap orang tua yang melarang. Alasannya bisa macam-macam, pokoknya jangan bertanya soal agama dan Tuhan. Nanti Tuhan marah.
Jadi, sejak kecil anak sudah dikenalkan Tuhan yang pemarah ketika tidak melaksanakan salat misalnya, padahal usia anak-anak belum diwajibkan salat dan puasa. Itu semua semata sebagai proses pendidikan. Dalam tradisi filsafat dan teologi dikenal istilah “argumen ketuhanan” yang perlu dibedakan dari kata “bukti”. Argumen mengenai ada Tuhan dan sifat-sifat-Nya misalnya mendasarkan pada konstruksi pemikiran logis berdasarkan premis-premis yang ada, baik premis yang diambil dari kitab suci maupun hasil penalaran.
Sedangkan bukti biasanya berlaku pada wilayah empiris yang bisa dibuktikan dengan pancaindra. Karena berbicara tentang Tuhan yang menjadi objek bahasannya bersifat abstrak, metafisis, supragaib, metaempiris, baik yang percaya ada Tuhan maupun yang mengingkarinya masing-masing memiliki argumen yang logis. Dengan demikian, percaya pada Tuhan semata mengandalkan argumen filosofis mesti siap dikritik titik lemah bangunan argumennya.
Tak ada argumen yangsempurnadanmemuaskan semua pihak. Sepanjang sejarah pemikiran ketuhanan dan keagamaan para sarjana, ulama, teolog, dan filsuf selalu terlibat dalam adu argumen dan kita mewarisi kekayaan intelektual yang amat kaya dan beragam. Hanya, kita seringkali tidak siap mental dan intelektual untuk menerima dan melihat kekayaan penafsiran serta argumen keagamaan sehingga muncul konflik karena perbedaan keyakinan.
Ketika berbicara keyakinan, sesungguhnya sudah melangkahi wilayah argumen penalaran karena di situ sudah melibatkan keyakinan hati dan emosi yang ikut berperan. Dalam bahasa Arab maupun Inggris terdapat beberapa istilah dan kata kerja yang menarik direnungkan ketika berbicara soal ketuhanan misalnya: I argue, I think, I believe, I guess, I perceive, I know, I trust, dan sebagainya.
Keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan selalu memerlukan argumen penalaran, tetapi wilayahnya sudah melampaui kekuatan argumen. Immanuel Kant berkata: My belief starts when my reason stops. Dia ingin menekankan tentang kekuatan dan sekaligus keterbatasan nalar ketika memasuki wilayah ketuhanan. Ini bisa dibaca dalam bukunya: The Limit of Pure Reason dan The Practical Reason.
Jadi, dalam kehidupan beragama yang akarnya pada kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan, penalaran itu sangat diperlukan untuk membangun argumentasi mengapa seseorang bertuhan. Mengapa kita percaya pada keabadian jiwa. Mengapa kita percaya ruh tidak mati. Mengapa nanti mesti ada hari pengadilan dengan hakim yang maha-adil.
Berbagai argumentasi filsafat membantu menjawab berbagai pertanyaan fundamental itu secara logis rasional, namun pada akhirnya kekuatan agama berada pada wilayah keyakinan. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang masuk ke wilayah keyakinan dengan fanatik dan emosional, sementara apa yang diyakini bertentangan dengan hasil kajian penalaran kritis. Manusia hidup tidak mungkin lepas dari kepercayaan dan keyakinan pada kekuatan di luar dirinya.
Contoh yang riil, kita mesti yakin dan percaya pada dokter ketika hendak berobat. Kita mesti percaya pada apoteker ketika membeli obat bahwa yang diberikan bukanlah racun. Kita mesti percaya pada pilot ketika hendak naik pesawat. Kita mesti percaya dan yakin ketika menyimpan uang di bank akan kredibilitasnya. Seseorang tidak mungkin hidup dalam keraguan terus-menerus.
Bisa sakit jiwa. Tetapi, mesti diingat, tidak semua kepercayaan dan keyakinan yang dibela mati-matian itu mesti benar. Maka itu, ada orang yang merasa tertipu dan menjadi korban atas keyakinannya. Sejarah banyak mengajarkan pada kita dalam keyakinan yang salah ini. Dulu orang yakin bahwa bumi itu datar. Ternyata ilmu pengetahuan membuktikan keyakinan itu salah. Karena kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran, banyak kemudian kepercayaan seputar ketuhanan yang berguguran.
Terjadi evolusi, kritik, perubahan, dan penalaran ulang tentang ketuhanan. Dulu ada orang mempertuhankan planet-planet dan yang dianggap paling besar adalah matahari sehingga muncul kata “Sunday”. Hari libur untuk menyembah dewa matahari. Ada juga Saturday, hari untuk menyembah dewa Saturnus. Kalau Monday, berarti hari bulan.
Demikianlah seterusnya, semua keyakinan ketuhanan dan keagamaan akan selalu dihadapkan pada kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran logis. Kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan tidak akan mati, tapi alur argumentasinya akan selalu berkembang sehingga sangat mungkin memengaruhi persepsi objek atau sosok yang diyakininya. ●
Maka itu, ada ungkapan, setiap anak terlahir membawa kapasitas sebagai filsuf, yang senang bertanya secara radikal, tanpa beban apa pun, termasuk soal Tuhan. Pertanyaan radikal ini justru seringkali terhalangi dan kemudian melemah karena sikap orang tua yang melarang. Alasannya bisa macam-macam, pokoknya jangan bertanya soal agama dan Tuhan. Nanti Tuhan marah.
Jadi, sejak kecil anak sudah dikenalkan Tuhan yang pemarah ketika tidak melaksanakan salat misalnya, padahal usia anak-anak belum diwajibkan salat dan puasa. Itu semua semata sebagai proses pendidikan. Dalam tradisi filsafat dan teologi dikenal istilah “argumen ketuhanan” yang perlu dibedakan dari kata “bukti”. Argumen mengenai ada Tuhan dan sifat-sifat-Nya misalnya mendasarkan pada konstruksi pemikiran logis berdasarkan premis-premis yang ada, baik premis yang diambil dari kitab suci maupun hasil penalaran.
Sedangkan bukti biasanya berlaku pada wilayah empiris yang bisa dibuktikan dengan pancaindra. Karena berbicara tentang Tuhan yang menjadi objek bahasannya bersifat abstrak, metafisis, supragaib, metaempiris, baik yang percaya ada Tuhan maupun yang mengingkarinya masing-masing memiliki argumen yang logis. Dengan demikian, percaya pada Tuhan semata mengandalkan argumen filosofis mesti siap dikritik titik lemah bangunan argumennya.
Tak ada argumen yangsempurnadanmemuaskan semua pihak. Sepanjang sejarah pemikiran ketuhanan dan keagamaan para sarjana, ulama, teolog, dan filsuf selalu terlibat dalam adu argumen dan kita mewarisi kekayaan intelektual yang amat kaya dan beragam. Hanya, kita seringkali tidak siap mental dan intelektual untuk menerima dan melihat kekayaan penafsiran serta argumen keagamaan sehingga muncul konflik karena perbedaan keyakinan.
Ketika berbicara keyakinan, sesungguhnya sudah melangkahi wilayah argumen penalaran karena di situ sudah melibatkan keyakinan hati dan emosi yang ikut berperan. Dalam bahasa Arab maupun Inggris terdapat beberapa istilah dan kata kerja yang menarik direnungkan ketika berbicara soal ketuhanan misalnya: I argue, I think, I believe, I guess, I perceive, I know, I trust, dan sebagainya.
Keyakinan dan kepercayaan pada Tuhan selalu memerlukan argumen penalaran, tetapi wilayahnya sudah melampaui kekuatan argumen. Immanuel Kant berkata: My belief starts when my reason stops. Dia ingin menekankan tentang kekuatan dan sekaligus keterbatasan nalar ketika memasuki wilayah ketuhanan. Ini bisa dibaca dalam bukunya: The Limit of Pure Reason dan The Practical Reason.
Jadi, dalam kehidupan beragama yang akarnya pada kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan, penalaran itu sangat diperlukan untuk membangun argumentasi mengapa seseorang bertuhan. Mengapa kita percaya pada keabadian jiwa. Mengapa kita percaya ruh tidak mati. Mengapa nanti mesti ada hari pengadilan dengan hakim yang maha-adil.
Berbagai argumentasi filsafat membantu menjawab berbagai pertanyaan fundamental itu secara logis rasional, namun pada akhirnya kekuatan agama berada pada wilayah keyakinan. Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang masuk ke wilayah keyakinan dengan fanatik dan emosional, sementara apa yang diyakini bertentangan dengan hasil kajian penalaran kritis. Manusia hidup tidak mungkin lepas dari kepercayaan dan keyakinan pada kekuatan di luar dirinya.
Contoh yang riil, kita mesti yakin dan percaya pada dokter ketika hendak berobat. Kita mesti percaya pada apoteker ketika membeli obat bahwa yang diberikan bukanlah racun. Kita mesti percaya pada pilot ketika hendak naik pesawat. Kita mesti percaya dan yakin ketika menyimpan uang di bank akan kredibilitasnya. Seseorang tidak mungkin hidup dalam keraguan terus-menerus.
Bisa sakit jiwa. Tetapi, mesti diingat, tidak semua kepercayaan dan keyakinan yang dibela mati-matian itu mesti benar. Maka itu, ada orang yang merasa tertipu dan menjadi korban atas keyakinannya. Sejarah banyak mengajarkan pada kita dalam keyakinan yang salah ini. Dulu orang yakin bahwa bumi itu datar. Ternyata ilmu pengetahuan membuktikan keyakinan itu salah. Karena kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran, banyak kemudian kepercayaan seputar ketuhanan yang berguguran.
Terjadi evolusi, kritik, perubahan, dan penalaran ulang tentang ketuhanan. Dulu ada orang mempertuhankan planet-planet dan yang dianggap paling besar adalah matahari sehingga muncul kata “Sunday”. Hari libur untuk menyembah dewa matahari. Ada juga Saturday, hari untuk menyembah dewa Saturnus. Kalau Monday, berarti hari bulan.
Demikianlah seterusnya, semua keyakinan ketuhanan dan keagamaan akan selalu dihadapkan pada kekuatan ilmu pengetahuan dan penalaran logis. Kepercayaan dan keyakinan pada Tuhan tidak akan mati, tapi alur argumentasinya akan selalu berkembang sehingga sangat mungkin memengaruhi persepsi objek atau sosok yang diyakininya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar