Sabtu, 17 November 2012

Tantangan Pascasuksesi di China


Tantangan Pascasuksesi di China
Anna Yulia Hartati ;  Dosen Hubungan Internasional FISIP,
Peneliti pada Lab Diplomasi Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 17 November 2012


"Suksesi kepemimpinan di China kali ini cukup menarik karena diawali intrik sengit antara kubu reformis dan radikal "

SETELAH perhelatan demokrasi di negara besar Amerika Serikat, giliran China, negara besar dengan kemajuan pesat perekonomian bergerak menuju transisi politik. Sebagai negara komunis, China memiliki keunikan dalam proses pergantian pemimpin. Tidak ada pemilihan umum yang melibatkan rakyat, pemimpin sudah ditetapkan melalui Kongres Nasional Partai Komunis.

Sejak 8 November lalu, ribuan pejabat senior dari berbagai daerah di negara itu berkumpul selama sepekan di Beijing untuk mengikuti Kongres Nasional Ke-18 Partai Komunis, yang secara resmi ditutup pada 14 November lalu. Forum itu memiliki makna penting karena mewarnai penentuan  pemimpin masa depan China, melalui Kongres Rakyat Nasional pada Maret  2013.

Negeri Tirai Bambu itu, kini memiliki gross domestic product (GDP) nomor satu di dunia mengalahkan Amerika. Namun ia menghadapi tantangan cukup kompleks di tengah dinamika ekonomi politik global, terkait lima kecenderungan, yaitu hegemoni Amerika, kebangkitan China, peran revitalisasi keamanan Jepang, pemunculan India, dan dominasi peradaban Barat (Rizal Sukma; 2007).

Bagaimana prediksi China ke depan pasca-Presiden Hu Jintao yang sudah menjabat selama 10 tahun? Apakah China akan menjadi negara adidaya?

Banyak Tantangan

Suksesi kepemimpinan di China kali ini cukup menarik karena diawali intrik sengit antara kubu reformis dan radikal yang menghendaki pelaksanaan doktrin Mao dengan pendekatan lebih kaku. Setelah Deng Xiaoping berhasil naik ke tampuk kepemimpinan dan menggagalkan kudeta kelompok garis keras di Partai Komunis, praktis kubu reformis yang mendukung pembaruan kebijakan ekonomi menjadi arus utama. 

Ada banyak tantangan yang dihadapi China pada masa mendatang, yaitu, pertama; faktor pengganti Hu Jintao. Proses pergantian elite di tubuh Partai Komunis didasarkan oleh tarik-menarik kepentingan dan perebutan pengaruh di antara para senior atau petinggi partai yang  berkuasa atau orang kuat yang berada di belakang layar. 

Xi Jinping merupakan aristrokrat Partai Komunis, anak senior partai itu, Xi Zhongxun yang pada masa revolusi kebudayaan dianggap sebagai jenderal pembangkang dan kader dari mantan Presiden Jiang Zemin. Adapun presiden saat ini, Hu Jintao menjadikan kadernya, Li Keqiang, teknokrat dan pakar ekonomi, sebagai perdana menteri.

Politik dinasti di China menunjukkan, meskipun sudah pensiun, seorang tokoh tetap memiliki posisi tawar tinggi dalam suksesi kekuasaan. Pergantian kekuasaan ini juga diikuti transisi agar tidak terjadi krisis dalam kepemimpinan.

Hu Jintao, yang lengser sebagai sekjen partai, dan presiden tahun depan, akan tetap menduduki jabatan Ketua Komisi Tinggi Militer Pusat; sebuah unit partai yang bertanggung jawab sebagai pemberi komando Tentara Pembebasan Rakyat. Adagium ‘’kekuasaan lahir dari moncong senapan’’ sebagaimana digemakan Mao Zedong tetap berlaku.

Kedua; agenda penyelesaian konflik teritorial. Hingga saat ini China terlibat konflik teritorial dengan dua negara tetangga, yaitu terkait sengketa Laut China Selatan yang berhadapan dengan negara ASEAN, dan konflik Kepulauan Diaoyu (Senkaku) dengan Jepang. Konflik ini menyita perhatian masyarakat internasional. Pemimpin China masa mendatang harus punya agenda supaya konflik itu tidak berlarut-larut.

Ketiga; politik pengepungan AS terhadap China. Keberadaan Amerika sebagai negara adidaya tak bisa dimungkiri. Pascapilpres, komitmen AS terlihat tetap bersikap keras terhadap China. Terkait politik isolasi oleh AS, secara geopolitik China harus bisa melakukan tarik ulur dan tidak terpancing dengan provokasi karena Myanmar, yang selama ini merupakan negara tertutup dan sekutu China, sedang ‘’didobrak’’ AS guna mendukung politik pengepungan lewat reformasi demokrasi.

China yang menjalankan reformasi ekonomi sejak 1990-an telah menikmati kemajuan ekonomi spektakuler dan menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi dunia. Modernitas sudah mendominasi tapi realitasnya proses pergantian elite di tubuh Partai Komunis masih mendasarkan pada tarik-menarik kepentingan dan perebutan pengaruh di antara para senior atau petinggi partai yang berkuasa, termasuk orang kuat di belakang layar.

Terlepas dari semua itu, dengan komitmen kuat dari pemimpin baru, China diprediksi tetap menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar