Sabtu, 17 November 2012

Oalaah, Grasi Ola, Olaaa…


Oalaah, Grasi Ola, Olaaa…
Moh Mahfud MD ;  Guru Besar Hukum Konstitusi 
SINDO, 17 November 2012


Saya sungguh tak menyangka, pernyataan yang sebenarnya biasa-biasa saja saya sampaikan itu menimbulkan gelombang kontroversi yang sampai sekarang tak menjawab substansi masalah. 

Sejak awal dua pekan lalu media massa ramai membicarakan pemberian grasi pada Ola dari hukuman mati menjadi hukuman pidana seumur hidup. Mengapa diberi grasi dan apa alasannya? Pertanyaan kemudian semakin menggelora ketika ternyata BNN menangkap terduga penjahat narkoba yang mengaku dikendalikan oleh Ola. Ya, Ola yang belum lama diberi grasi oleh Presiden karena dia bukan pengedar, melainkan hanya kurir. 

Bagaimana seorang kurir di masa lalu setelah masuk penjara dan diberi grasi tiba-tiba menjadi pengendali narkoba dari dalam penjara? Setelah pertanyaan-pertanyaan menggelombang di tengah-tengah publik, dalam satu kesempatan seminar saya ditanya oleh wartawan tentang itu. Maka saya jawab begini, ”Jangan-jangan benar dugaan banyak orang selama ini bahwa jaringan mafia sudah menyentuh Istana. Saya menduga mafia sudah berhasil memengaruhi Istana”.
Pernyataan saya dengan kata ”jangan-jangan benar adanya dugaan” itu disiarkan berkali-kali di televisi dan masih sering diputar lagi sekarang. Dugaan seperti itu bukannya tuduhan, melainkan sebuah produk analisis yang berangkat dari fakta-fakta. Di dalam metodologi ilmiah rangkaian fakta itu melahirkan hipotesis atau dugaan. Hipotesis atau dugaan kalau dilanjutkan secara ilmiah bisa melahirkan tesis,namun kalau dilanjutkan secara hukum bisa melahirkan dalil atau vonis. 

Kebijakan atau keputusan apa pun dan dari siapa pun pasti berdasar dugaan atas fakta yang ada lebih dulu sebelum diurai untuk kemudian dikristalisasi menjadi kebijakan. Bagi saya vonis-vonis pengadilan tingkat pertama sampai kasasi dan PK (empat produk vonis) adalah fakta bahwa Ola adalah pengedar, bukan kurir. Begitu pun merupakan fakta bahwa MA mengeluarkan pertimbangan agar Ola tak diberi grasi. Tetapi kemudian ada fakta lain bahwa menurut Presiden (yang juga disiarkan berkali-kali di televisi) Ola adalah kurir. 

Karena ada fakta masuk yang tak sinkron, maka lahir dugaan, ”jangan-jangan benar dugaan bahwa ada pengaruh mafia.” Mafia itu sendiri, terlepas dari definisinya, adalah fakta yang banyak beroperasi di institusi penegak hukum, bahkan berdasarkan temuan Wamenkumham di lembaga-lembaga pemasyarakatan yang diinspeksinya secara mendadak. Secara hukum sudah jelas, grasi itu hak subjektif-prerogatif presiden.Presiden berhak mengeluarkan grasi tanpa harus terikat pada pertimbangan MA. 

Itu adalah materi kuliah hukum tata negara semester kedua pada program S-1 di fakultas hukum, tak perlu dikuliahkan lagi. Yang jadi persoalan adalah akuntabilitas publiknya dalam pemerintahan yang demokratis. Ingat, negara demokrasi sekarang ini menuntut akuntabilitas publik sebagai wujud dari good governance. Mengapa kalau fakta hukumnya pengedar, kok ada masukan nonhukum yang meyakinkan Presiden bahwa Ola hanya kurir? Itu pertanyaan masyarakat yang muncul berhari-hari sebelum saya menyampaikan dugaan.

Saya sama dengan warga masyarakat lain, hanya perlu penjelasan tentang itu. Ternyata pernyataan yang normal itu dimaki beramai-ramai oleh menteri-menteri. Padahal, Presiden sendiri melalui televisi yang disiarkan luas juga menerima adanya kemungkinan benarnya dugaan itu sehingga menyatakan akan melakukan pengecekan ke dalam untuk mengetahui barangkali ada kelemahan prosedur di bawah. Di masyarakat pun berkembang kontroversi. 

Ada yang mengatakan, Mahfud itu berniat baik, yaitu ingin mengingatkan kita dari ancaman bahaya. Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Mahfud itu niatnya jelek, hanya mencari popularitas. Itu tidak apa-apa, silakan saja masing-masing orang menilai sendiri-sendiri, tak harus seragam, karena negara ini adalah negara demokrasi yang berkonstitusi. Saya sendiri dalam konteks ini sama sekali tak punya niat baik sekaligus tak punya niat jelek. 

Ini soal yang biasa, sebagai jawaban logis dan terbuka atas pertanyaan wartawan yang kalau bertanya apa pun saya jawab. Menjawab seperti itu tidak diwajibkan oleh undang-undang, tetapi juga tidak dilarang oleh undang-undang maupun kode etik profesi saya sebagai hakim atau dosen. Artinya saya hanya melakukan, apa yang dalam bahasa agama, disebut mubah saja (tidak wajib, tidak sunah, dan tidak haram). Ada juga yang perlu dijernihkan. 

Katanya, profesor tak layak mengumbar dugaan,MK juga pernah salah melanggar undang-undang,tapi tak diumbar; melainkan langsung diberi tahu kepada Ketua MK.Secara bergurau saya juga berkata, jenderal tak boleh ngawur, apalagi kalau lulusan Lemhannas yang sangat prestisius itu. Masa marah-marah tanpa membaca konteks statementsecara lengkap? Akan halnya pernyataan bahwa Pak Menteri pernah memberi tahu kepada Ketua MK bahwa MK pernah melanggar undang-undang, maka saya nyatakan: kalau itu benar, sebutkan dalam kasus apa MK melanggar undang-undang, kapan ketua MK diberi tahu, dan dengan cara apa ketua MK diberi tahu? 

Sampaikan itu dengan telepon, bertemu, atau lewat surat. Kalau ada fakta tentang itu, maka saat fakta itu disebutkan saya akan mundur sebagai ketua MK. Sebab, kalau itu benar, berarti Ketua MK itu orang yang tak bertanggung jawab. Sebagai akademisi saya terikat pada ”integritas kecendekiawanan”, kalau salah harus mengaku salah dan mundur secepatnya dari jabatan publik. Menurut saya, integritas kecendekiawanan ini sama dengan sikap keperwiraan dan kekesatriaan yang diajarkan saat saya ikut pramuka di sekolah menengah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar