Kamis, 15 November 2012

Sesat Pikir Selebritas Politik


Sesat Pikir Selebritas Politik
Donny Syofyan ;  Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 14 November 2012



Lemahnya kaderisasi partai politik juga berperan dalam munculnya fenomena politikus "seleb" ini. Parpol dinilai gagal dalam mengembangkan kemampuan dan mengakomodasi kepentingan anggotanya.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan secara resmi mendeklarasikan politikusnya, Rieke Diah Pitaloka, dan pegiat antikorupsi, Teten Masduki, sebagai calon Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat. Calon lainnya yang ikut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah Jawa Barat ini adalah pasangan Dede Yusuf dan Lex Laksamana, yang diusung empat partai, yakni Partai Demokrat, PKB, PAN, dan Partai Gerindra. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad "Aher" Heryawan akhirnya memastikan diri kembali maju dalam bursa pilkada Jawa Barat 2013. Dalam pencalonannya kali ini, Aher maju bersama aktor kawakan, Dedy Mizwar.
Pilkada Jawa Barat ini terbilang unik karena merupakan ajang pertarungan tiga calon yang memiliki latar belakang sebagai artis. Ketiganya dianggap berkaliber dalam dunia entertainment di Tanah Air. Lanskap politik demikian memang bukan sesuatu yang baru, namun tetap saja memicu kontroversi. Ada yang menganggap bukanlah sebuah blunder bagi partai politik untuk mencalonkan selebritas sebagai kandidat. Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh dan menikmati hak-hak politik mereka, termasuk hak untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Pihak-pihak yang pro mendesak masyarakat agar lebih memperhatikan kualitas lain yang dimiliki selebritas atau artis yang mencalonkan atau dicalonkan, seperti keterampilan politik mereka.
Banyak partai tampaknya terhipnotis kuat oleh kemampuan atau keberuntungan sejumlah artis yang berhasil memenangi pilkada di sejumlah daerah, semisal Rano Karno dan Dede Yusuf sendiri. Partai perlu memahami bahwa prinsip one size fits all tidak lagi berlaku dan menjanjikan. Tidak sedikit kalangan artis yang juga tersungkur dalam menjalani eksperimentasi politik demikian. Saiful Jamil di Serang, Helmy Yahya di Sumatera Selatan, atau Primus Yustisio di Subang adalah sejumlah bukti nyata bahwa latar belakang keartisan tidak setali tiga uang dengan magnetisme politik dan peraupan suara.
Gelombang selebritas politik ini ditengarai karena menguatnya preferensi popularitas di atas kualifikasi. Banyak partai menjadikan politikus selebritas ini sebagai penarik suara yang signifikan. Pandangan ini tegak di atas keyakinan bahwa massa akar rumput dan floating mass-yang kebanyakan gampang tergiur oleh pesona emosional ketimbang daya tarik intelektual-bakal memberikan suara lebih besar melebihi para pemilih independen dan kaum terpelajar. Mereka ini jauh lebih tertarik pada tokoh-tokoh populer dengan janji-janji jangka pendek daripada orang-orang terpelajar yang menyuguhkan kepentingan jangka panjang. Keterlibatan politikus selebritas, bersama politikus dengan latar belakang pengusaha, juga dianggap bakal mencegah politik uang karena sudah dianggap mapan secara finansial. Mereka dipersepsikan sukar dibeli sehingga layak mendapatkan kepercayaan dari pemilih. Hal ini diyakini memberi politikus selebritas tersebut semacam kredibilitas yang tidak dimiliki oleh politikus lainnya. Namun hal ini tetap menjadi anomali. Kasus Angelina Sondakh menjadi contoh paling anyar.
Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat, menjadi terkenal tidak menjamin kemenangan dalam peristiwa politik, seperti yang terlihat pada kegagalan calon presiden John Glenn, kekalahan pencalonan Oliver North sebagai senator, dan ketidakmampuan Bill Bradley menundukkan Al Gore dalam pemilihan di kubu Demokrat. Keberhasilan politik membutuhkan kualitas dan kapabilitas yang melewati popularitas serta latar belakang selebritas. Kalaupun ada artis yang sukses di belantara perpolitikan di Negeri Abang Sam, latar pendidikan juga jauh lebih krusial. Ronald Reagan, yang menjadi presiden, serta Arnold Schwarzenegger, yang menjadi Gubernur California, adalah lulusan perguruan tinggi. Reagan adalah sarjana ekonomi dan sosiologi dari Eureka College pada 1932, sedangkan Arnie adalah sarjana ekonomi dari University of Wisconsin-Superior pada 1979.
Untuk Indonesia, ini menjadi problematis. Sebagai misal, sungguhpun terkenal sebagai pembela kebijakan pro-rakyat, publik belum mengetahui apa solusi yang ditawarkan Rieke Diah Pitaloka untuk mencegah anak-anak kita agar tidak menjadi TKI ke luar negeri. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada para artis dan selebritas yang tengah duduk di berbagai komisi di DPR, semisal Dedi Gumelar, Venna Melinda, dan Inggrid Kansil. Masyarakat boleh jadi masih dapat menerima sejumlah artis yang termasuk jaminan mutu dan mempunyai integritas, di antaranya Nurul Arifin dan Sopan Sofyan (almarhum). 
Lemahnya kaderisasi partai juga berperan dalam munculnya fenomena politikus "seleb" ini. Partai dinilai gagal dalam mengembangkan kemampuan dan mengakomodasi kepentingan anggotanya. Dulu, seseorang yang ingin mendapatkan kursi legislatif harus menjalani proses "magang" yang panjang dari level terendah agar bisa mencalonkan diri sebagai wali kota, bupati, atau anggota DPR oleh partainya. Kini, siapa pun tanpa rekam jejak politik yang kredibel dan panjang sudah bisa menduduki lembaga legislatif. Mengharapkan mereka mampu menangani isu-isu publik yang kompleks hanyalah lamunan di siang bolong. Tak berlebihan jika dikatakan partai politik dewasa ini tak lebih dari "parpol pemilu" yang hanya hadir selama masa kampanye. Kantor mereka kerap tetap tertutup sebelum dan setelah periode kampanye.
Partai juga kian mengalami sentralisasi akut. Aspirasi yang disampaikan oleh perwakilan daerah kerap berseberangan dengan pandangan DPP yang masih saja memberlakukan pola komando dan keputusan satu arah. Sebagai contoh, semua bakal calon yang diusulkan sebagai gubernur, wali kota, dan bupati harus mendapatkan persetujuan dari DPP di Jakarta. Kebuntuan kepemimpinan demikian ternyata membuka jalan bagi politikus selebritas. Cul-de-sac itu akan ditutupi oleh kelebihan yang dipunyai oleh politikus seleb ini. Lewat pengalaman dengan media massa, politikus selebritas dapat membantu penguatan citra partai secara efektif dengan keterampilan media yang mereka miliki. Ada kecenderungan kuat bahwa politikus seleb bakal mendapat liputan media yang lebih luas. Kekurangan mereka dalam penguasaan isu-isu aktual bisa diatasi dengan menjadi komunikator yang andal lewat pengalaman media yang ada. 
Partai tengah berjudi dengan kepercayaan pemilih lewat politikus seleb yang mereka usung. Begitu pemilih menyadari bahwa politikus demikian hanyalah amatir, partai akan sulit mengembalikan kepercayaan publik sekaligus membebani politikus selebritas tersebut untuk bekerja efektif. Tentu rakyat tidak rela jika negara ini bermetamorfosis sebagai Republik Indonesian Idol ala politikus yang bermental calo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar