Sesat Pikir
Selebritas Politik
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Andalas
|
KORAN
TEMPO, 14 November 2012
Lemahnya
kaderisasi partai politik juga berperan dalam munculnya fenomena politikus
"seleb" ini. Parpol dinilai gagal dalam mengembangkan kemampuan dan
mengakomodasi kepentingan anggotanya.
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan secara resmi mendeklarasikan politikusnya,
Rieke Diah Pitaloka, dan pegiat antikorupsi, Teten Masduki, sebagai calon
Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat. Calon lainnya yang ikut dalam pertarungan
pemilihan kepala daerah Jawa Barat ini adalah pasangan Dede Yusuf dan Lex
Laksamana, yang diusung empat partai, yakni Partai Demokrat, PKB, PAN, dan
Partai Gerindra. Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ahmad "Aher"
Heryawan akhirnya memastikan diri kembali maju dalam bursa pilkada Jawa Barat
2013. Dalam pencalonannya kali ini, Aher maju bersama aktor kawakan, Dedy
Mizwar.
Pilkada Jawa
Barat ini terbilang unik karena merupakan ajang pertarungan tiga calon yang
memiliki latar belakang sebagai artis. Ketiganya dianggap berkaliber dalam
dunia entertainment di Tanah Air. Lanskap politik demikian memang bukan
sesuatu yang baru, namun tetap saja memicu kontroversi. Ada yang menganggap
bukanlah sebuah blunder bagi partai politik untuk mencalonkan selebritas
sebagai kandidat. Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh dan
menikmati hak-hak politik mereka, termasuk hak untuk dicalonkan sebagai
kepala daerah. Pihak-pihak yang pro mendesak masyarakat agar lebih
memperhatikan kualitas lain yang dimiliki selebritas atau artis yang
mencalonkan atau dicalonkan, seperti keterampilan politik mereka.
Banyak partai
tampaknya terhipnotis kuat oleh kemampuan atau keberuntungan sejumlah artis
yang berhasil memenangi pilkada di sejumlah daerah, semisal Rano Karno dan
Dede Yusuf sendiri. Partai perlu memahami bahwa prinsip one size fits all
tidak lagi berlaku dan menjanjikan. Tidak sedikit kalangan artis yang juga
tersungkur dalam menjalani eksperimentasi politik demikian. Saiful Jamil di
Serang, Helmy Yahya di Sumatera Selatan, atau Primus Yustisio di Subang
adalah sejumlah bukti nyata bahwa latar belakang keartisan tidak setali tiga
uang dengan magnetisme politik dan peraupan suara.
Gelombang
selebritas politik ini ditengarai karena menguatnya preferensi popularitas di
atas kualifikasi. Banyak partai menjadikan politikus selebritas ini sebagai
penarik suara yang signifikan. Pandangan ini tegak di atas keyakinan bahwa
massa akar rumput dan floating mass-yang kebanyakan gampang tergiur oleh
pesona emosional ketimbang daya tarik intelektual-bakal memberikan suara
lebih besar melebihi para pemilih independen dan kaum terpelajar. Mereka ini
jauh lebih tertarik pada tokoh-tokoh populer dengan janji-janji jangka pendek
daripada orang-orang terpelajar yang menyuguhkan kepentingan jangka panjang.
Keterlibatan politikus selebritas, bersama politikus dengan latar belakang
pengusaha, juga dianggap bakal mencegah politik uang karena sudah dianggap
mapan secara finansial. Mereka dipersepsikan sukar dibeli sehingga layak
mendapatkan kepercayaan dari pemilih. Hal ini diyakini memberi politikus
selebritas tersebut semacam kredibilitas yang tidak dimiliki oleh politikus
lainnya. Namun hal ini tetap menjadi anomali. Kasus Angelina Sondakh menjadi
contoh paling anyar.
Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat, menjadi terkenal tidak menjamin kemenangan
dalam peristiwa politik, seperti yang terlihat pada kegagalan calon presiden
John Glenn, kekalahan pencalonan Oliver North sebagai senator, dan
ketidakmampuan Bill Bradley menundukkan Al Gore dalam pemilihan di kubu
Demokrat. Keberhasilan politik membutuhkan kualitas dan kapabilitas yang
melewati popularitas serta latar belakang selebritas. Kalaupun ada artis yang
sukses di belantara perpolitikan di Negeri Abang Sam, latar pendidikan juga
jauh lebih krusial. Ronald Reagan, yang menjadi presiden, serta Arnold
Schwarzenegger, yang menjadi Gubernur California, adalah lulusan perguruan
tinggi. Reagan adalah sarjana ekonomi dan sosiologi dari Eureka College pada
1932, sedangkan Arnie adalah sarjana ekonomi dari University of
Wisconsin-Superior pada 1979.
Untuk
Indonesia, ini menjadi problematis. Sebagai misal, sungguhpun terkenal
sebagai pembela kebijakan pro-rakyat, publik belum mengetahui apa solusi yang
ditawarkan Rieke Diah Pitaloka untuk mencegah anak-anak kita agar tidak
menjadi TKI ke luar negeri. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada
para artis dan selebritas yang tengah duduk di berbagai komisi di DPR,
semisal Dedi Gumelar, Venna Melinda, dan Inggrid Kansil. Masyarakat boleh
jadi masih dapat menerima sejumlah artis yang termasuk jaminan mutu dan
mempunyai integritas, di antaranya Nurul Arifin dan Sopan Sofyan (almarhum).
Lemahnya
kaderisasi partai juga berperan dalam munculnya fenomena politikus
"seleb" ini. Partai dinilai gagal dalam mengembangkan kemampuan dan
mengakomodasi kepentingan anggotanya. Dulu, seseorang yang ingin mendapatkan
kursi legislatif harus menjalani proses "magang" yang panjang dari
level terendah agar bisa mencalonkan diri sebagai wali kota, bupati, atau
anggota DPR oleh partainya. Kini, siapa pun tanpa rekam jejak politik yang
kredibel dan panjang sudah bisa menduduki lembaga legislatif. Mengharapkan
mereka mampu menangani isu-isu publik yang kompleks hanyalah lamunan di siang
bolong. Tak berlebihan jika dikatakan partai politik dewasa ini tak lebih
dari "parpol pemilu" yang hanya hadir selama masa kampanye. Kantor
mereka kerap tetap tertutup sebelum dan setelah periode kampanye.
Partai juga
kian mengalami sentralisasi akut. Aspirasi yang disampaikan oleh perwakilan
daerah kerap berseberangan dengan pandangan DPP yang masih saja memberlakukan
pola komando dan keputusan satu arah. Sebagai contoh, semua bakal calon yang
diusulkan sebagai gubernur, wali kota, dan bupati harus mendapatkan
persetujuan dari DPP di Jakarta. Kebuntuan kepemimpinan demikian ternyata
membuka jalan bagi politikus selebritas. Cul-de-sac itu akan ditutupi oleh
kelebihan yang dipunyai oleh politikus seleb ini. Lewat pengalaman dengan
media massa, politikus selebritas dapat membantu penguatan citra partai
secara efektif dengan keterampilan media yang mereka miliki. Ada
kecenderungan kuat bahwa politikus seleb bakal mendapat liputan media yang
lebih luas. Kekurangan mereka dalam penguasaan isu-isu aktual bisa diatasi
dengan menjadi komunikator yang andal lewat pengalaman media yang ada.
Partai tengah berjudi dengan
kepercayaan pemilih lewat politikus seleb yang mereka usung. Begitu pemilih
menyadari bahwa politikus demikian hanyalah amatir, partai akan sulit
mengembalikan kepercayaan publik sekaligus membebani politikus selebritas
tersebut untuk bekerja efektif. Tentu rakyat tidak rela jika negara ini
bermetamorfosis sebagai Republik Indonesian Idol ala politikus yang bermental
calo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar