Selamat Datang
Haji Mabrur
Muzayanah Bisri ; Ketua
Muslimat NU dan Kepala SMA NU 1 Alhidayah Kendal
|
SUARA
MERDEKA, 01 November 2012
"Sekiranya
berkali-kali menunaikan ibadah haji itu baik, tentu Nabi Muhammad saw
memberikan contoh"
SEKITAR 210.000 haji Indonesia mulai Rabu,
31 Oktober 2012 kembali ke Tanah Air. Berdasarkan kacamata fikih, seseorang
yang sempurna menjalankan semua amalan maka ibadah haji itu sah dan diterima.
Artinya, dia sudah terbebas dari kewajiban menunaikan ibadah tersebut.
Terlepas apakah biaya yang ia pakai dari usaha haram atau ikhtiar halal.
Selanjutnya, bila kita bertanya apakah ia
ingin kembali ke Makkah, bisa dipastikan hampir semua haji menjawab ingin
kembali ke Tanah Suci. Secara ekstrem, hanya 1-2 orang yang menjawab,'' saya
ingin beribadah haji sekali saja, seperti Nabi Muhammad saw.''
Jawaban ingin kembali ke Tanah Suci
menunjukkan antusiasme muslim Indonesia beribadah haji. Sekilas jawaban itu
menunjukkan nilai positif bila mendasarkan pandangan bahwa berkali-kali
menunaikan ibadah haji menjadi barometer ketakwaan dan ketebalan kantong.
Tapi dari kacamata agama, itu tidak selamanya positif.
Kendati ibadah haji sudah ada semasa Nabi
Ibrahim as, umat Islam baru diwajibkan pada tahun 6 Hijriah. Walaupun begitu,
Nabi Muhammad saw dan para sahabat belum dapat menjalankan ibadah tersebut
karena saat itu kaum musyrik masih menguasai Makkah. Baru setelah menguasai
kota itu pada 12 Ramadan tahun 8 Hijriah, Nabi Muhammad menunaikan ibadah
haji.
Nabi Muhammad pun tidak melakukannya pada
tahun 8 atau 9 Hijriah tapi baru tahun ke-10, dan tiga bulan kemudian Nabi
wafat. Karena itu, ibadah haji Nabi disebut haji wada' (perpisahan). Itu
artinya, Beliau sebenarnya berkesempatan berhaji tiga kali namun hanya sekali
menjalani.
Sekiranya berkali-kali beribadah haji itu
baik, tentu Nabi Muhammad memberikan contoh. Menyadari daftar tunggu calhaj
Indonesia 1,5 juta orang lebih dalam rentang waktu pemberangkatan 8-12 tahun,
patutkan kita berkali-kali menunaikan ibadah haji?
Hadis riwayat imam Al-Khatib Al-Baghdadi
dalam kitab Tarikh Baghdad menyebutkan, '' Akan datang suatu masa bagi
manusia, orang yang kaya dari umatku pergi haji untuk berwisata, yang kelas
menengah pergi haji untuk berdagang, yang ulama pergi haji untuk riya (pamer)
dan mencari popularitas, serta yang fakir pergi haji untuk meminta-minta''.
''Prediksi'' hadis itu bukan pembenaran
terhadap orang yang berhaji dengan motivasi seperti itu melainkan
mengingatkan umat Islam supaya tidak pergi haji dengan tujuan seperti itu.
Apakah prediksi Nabi Muhammad saw terbukti? Sepertinya sudah karena kita bisa
melihat banyak pemimpin umat berkali-kali meninggalkan jemaah untuk sekadar
berhaji demi mengejar fasilitas dan juga rupiah.
Ibadah
Sosial
Ajaran Islam mengategorikan ibadah dalam
dua hal: ibadah qashirah (invidual) dengan kemanfaatan yang hanya dirasakan
si pelaku, serta ibadah muta'adiyah (sosial) yang kemanfaatannya dirasakan
pelaku dan orang lain. Pergi haji termasuk ibadah individual. Karenanya,
ketika pada saat bersamaan ada ibadah individual dan sosial, Nabi tidak
mengerjakan ibadah individual tapi lebih memilih ibadah sosial.
Berbarengan dengan pelaksanaan ibadah haji
tahun ini kondisi perekonomian bangsa kita belum menggembirakan. Kita juga
melihat banyak anak yatim, orang miskin, anak putus atau tidak bisa
bersekolah, menjadi tuawisma akibat bencana dan sebab lain. Juga banyak
balita busung lapar, karyawan terkena PHK, bangunan ponpes terbengkalai, dan
sebagainya.
Bila melihat semua itu, apakah kita perlu
pergi haji untuk kali kedua, ketiga, dan seterusnya, hanya karena kita punya
banyak uang dan sehat? Apakah ibadah haji kita kali kedua dan selanjutnya itu
semata-mata menjalankan perintah Allah? Atau mengikuti bisikan setan melalui
hawa nafsu supaya di mata orang lain kita disebut orang luhur di sisi Allah?
Hadis Qudsi riwayat Imam Muslim menegaskan
bahwa kita bisa menemui Allah SWT di sisi orang sakit, orang kelaparan, orang
kehausan, dan orang menderita. Nabi Muhammad pun tak pernah mengatakan bahwa
umat Islam bisa menemui Allah di sisi atau dekat Kakbah. Dengan kata lain,
umat Islam dapat menemui Allah melalui ibadah sosial, bukan ibadah
individual.
Kaidah fikih menyebutkan, al-muta'addiyah
afdhal min al-qashirah, ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.
Agama dengan ritualnya pasti bukan mekanisme politik. Bagaimana kita bisa
mengingatkan religiositas tanpa kepekaan spiritual untuk mengonsolidasikan
orang-orang menderita dan terabaikan?
Adalah sesuatu yang tak bisa dimungkiri
bahwa jarak sosial seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuan
melaksanakan ritual dan mendekati rumah-rumah kesalehan. Kita bisa mengatakan
bahwa di depan Tuhan hanya ketakwaan yang jadi ukuran. Namun makna berhaji
tak mungkin cukup seandainya sekadar berharap mendapat kesempatan mengejar
predikat haji mabrur dan pertobatan diri.
Di luar perbincangan soal fikih haji, kita
harus berani meneguhkan pesan moral yang korektif terhadap kesadaran palsu
bahwa setelah mendapat predikat haji mabrur kita seolah-olah bisa menuju ke
surga sambil melupakan tanggung jawab bersama menciptakan keadilan sosial di
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar