Kamis, 01 November 2012

Roh Demokrasi Substansial


Roh Demokrasi Substansial
FS Swantoro ;  Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
SUARA MERDEKA, 01 November 2012


PEMILU 2014 makin dekat, dan muncul sejuta harapan pesta demokrasi tersebut berlangsung damai dan demokratis. Harapan itu antara lain supaya KPU terbebas dari intervensi pihak mana pun, mengingat pemilu dapat dinyatakan demokratis bila lembaga pelaksana bersikap netral, independen, profesional, dan mengikuti amanat konstitusi (UU).

Jangan kembali terulang pelaksanaan Pemilu 2009 yang buruk dan tidak profesional. Keterulangan itu bisa mencederai proses demokrasi yang sedang tumbuh mekar di Tanah Air. Karena itu, semua pihak perlu memikirkan agar Pemilu 2014 bisa menjadi tonggak bagi kehidupan demokrasi yang substansial.

Sebagai catatan perjalanan demokrasi sejak reformasi 1998, kita patut mengapresiasi fenomena sukses Pilkada DKI Jakarta 2012. Pilgub pada 20 September lalu itu menunjukkan kedewasaan berdemokrasi warga Ibu Kota. Meski ingar-bingar politik uang hingga isu SARA begitu sengit, pilkada berakhir damai dan demokratis.

Prestasi demokrasi lokal itu ibarat cermin bening mengingat pemilihan mulai bergeser dari pemilu prosedural ke subtansial. Dalam Pemilu 2014, boleh jadi Indonesia memasuki babak baru era perpolitikan yang lebih substantif. Mengingat rakyat makin cerdas, kritis, dan berani, diharapkan demokrasi prosedural dalam Pileg dan Pilpres 2014 bisa menuju demokrasi substansial. Politik uang menjadi tidak berarti lagi untuk membeli suara atau memengaruhi pemilih (konstituen).

Bila kader partai dan politikus yang akan berlaga tidak mengubah perilaku buruk mereka, bersiap-siaplah ditinggalkan pemilih. Demokrasi substansial yang kita idam-idamkan dalam tiap pemilu, lahir dalam Pilkada DKI Jakarta. Semua berharap demokrasi substansial seperti pilgub tersebut, layak ditularkan ke daerah-daerah lain.  
Pilkada DKI Jakarta itu seakan-akan memberi angin segar bahwa demokrasi substansial bisa muncul di mana pun asal penyelenggara pemilu bersikap netral dan nonpartisan. Kepemimpinan yang jujur dan tegas, menjadi pilihan utama yang tak boleh ditawar hingga mampu mengalahkan politik uang dan isu SARA.

Harapan itu ditujukan agar penyelenggara pemilu dan komponen lain peserta pemilu, mampu menjalankan peran sesuai konstitusi. Hal ini penting karena pemilu bukan sekadar mengantarkan presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPRD, DPD, atau gubernur, bupati, dan wali kota, melainkan harus melahirkan wujud nyata demokrasi prosedural ke substansial. Seluruh ritual proses politik demokrasi, harus dikelola dalam rangka berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi.

Karena itu, untuk mewujudkan demokrasi substansial seperti didambakan, sangat dibutuhkan penyelenggara pemilu yang tidak sekadar menjadi pelaksana dan wasit, tapi juga peran yang bisa memberi kontribusi mewujudkan demokrasi prosedural sekaligus substansial.

Roh Demokrasi

Kita sudah hidup di alam demokrasi, tapi mengapa kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, korupsi, dan pelanggaran HAM masih terjadi? Kenapa mencari pekerjaan untuk kebanyakan orang masih sulit? Kenapa biaya pendidikan dan kesehatan masih mahal sehingga tak terjangkau jutaan rakyat miskin? Hingga demokrasi tak lagi berkorelasi dengan keadilan dan kemakmuran, seperti diamanatkan bapak pendiri bangsa?

Melaksanakan demokrasi prosedural saja sesungguhnya belum cukup. Yang mendesak diwujudkan adalah demokrasi yang memberi ruang bagi rakyat untuk memiliki akses dalam proses pengambilan kebijakan publik, memperkuat posisi tawar warga sipil, dan mengupayakan kesejahteraan bagi rakyat tanpa harus membeda-bedakan suku, agama, ras, antargolongan, dan gender. Demokrasi juga harus bisa menghadirkan etika politik dan memberi nilai-nilai keutamaan.

Kita perlu memperhatikan minimal tiga hal. Pertama; kalau demokrasi masih dipercaya sebagai sistem politik terbaik maka harus ada upaya meningkatkan kualitas level demokrasi, dari prosedural ke bentuk substansial.

Artinya, manifestasi demokrasi tidak cukup hanya diukur dari pola konvensional formal, seperti pemilu, pilkada, pilpres, pembentukan institusi Trias Politika, seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif tapi secara konkret juga harus mampu mewujudkan keadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik, serta menyejahterakan seluruh rakyat tanpa pandang bulu.

Kalau Pemilu 2014 gagal mewujudkan nilai-nilai demokrasi substansial, demokrasi kita ke depan hanyalah pepesan kosong. Karena itu, perlu menggalang kerja sama sinergis antara KPU, Bawaslu, pemerintah dari pusat sampai desa, dan partai-partai politik yang ikut berlaga pada Pemilu 2014.

Kedua; segala kekuatan masyarakat perlu diberdayakan dan diberi akses dalam proses pengambilan keputusan pu-blik.

Karena itu wakil rakyat perlu terus berdialog dengan kearifan dan bukan demi kepentingan pribadi yang rakus dan hedonis. Ketiga; dengan moral kerakyatan dan keadilan sosial seperti itu, diharapkan jeritan rakyat untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan bisa menemukan impian. Di situlah, esensi roh demokrasi substansial bersemayam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar