Roh Demokrasi
Substansial
FS Swantoro ; Peneliti
dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 01 November 2012
PEMILU 2014 makin dekat, dan muncul sejuta
harapan pesta demokrasi tersebut berlangsung damai dan demokratis. Harapan
itu antara lain supaya KPU terbebas dari intervensi pihak mana pun, mengingat
pemilu dapat dinyatakan demokratis bila lembaga pelaksana bersikap netral,
independen, profesional, dan mengikuti amanat konstitusi (UU).
Jangan kembali terulang pelaksanaan Pemilu
2009 yang buruk dan tidak profesional. Keterulangan itu bisa mencederai
proses demokrasi yang sedang tumbuh mekar di Tanah Air. Karena itu, semua
pihak perlu memikirkan agar Pemilu 2014 bisa menjadi tonggak bagi kehidupan
demokrasi yang substansial.
Sebagai catatan perjalanan demokrasi sejak
reformasi 1998, kita patut mengapresiasi fenomena sukses Pilkada DKI Jakarta
2012. Pilgub pada 20 September lalu itu menunjukkan kedewasaan berdemokrasi
warga Ibu Kota. Meski ingar-bingar politik uang hingga isu SARA begitu
sengit, pilkada berakhir damai dan demokratis.
Prestasi demokrasi lokal itu ibarat cermin
bening mengingat pemilihan mulai bergeser dari pemilu prosedural ke
subtansial. Dalam Pemilu 2014, boleh jadi Indonesia memasuki babak baru era
perpolitikan yang lebih substantif. Mengingat rakyat makin cerdas, kritis,
dan berani, diharapkan demokrasi prosedural dalam Pileg dan Pilpres 2014 bisa
menuju demokrasi substansial. Politik uang menjadi tidak berarti lagi untuk
membeli suara atau memengaruhi pemilih (konstituen).
Bila kader partai dan politikus yang akan
berlaga tidak mengubah perilaku buruk mereka, bersiap-siaplah ditinggalkan
pemilih. Demokrasi substansial yang kita idam-idamkan dalam tiap pemilu,
lahir dalam Pilkada DKI Jakarta. Semua berharap demokrasi substansial seperti
pilgub tersebut, layak ditularkan ke daerah-daerah lain.
Pilkada DKI Jakarta itu seakan-akan memberi
angin segar bahwa demokrasi substansial bisa muncul di mana pun asal penyelenggara
pemilu bersikap netral dan nonpartisan. Kepemimpinan yang jujur dan tegas,
menjadi pilihan utama yang tak boleh ditawar hingga mampu mengalahkan politik
uang dan isu SARA.
Harapan itu ditujukan agar penyelenggara
pemilu dan komponen lain peserta pemilu, mampu menjalankan peran sesuai
konstitusi. Hal ini penting karena pemilu bukan sekadar mengantarkan
presiden, wakil presiden, anggota DPR, DPRD, DPD, atau gubernur, bupati, dan
wali kota, melainkan harus melahirkan wujud nyata demokrasi prosedural ke
substansial. Seluruh ritual proses politik demokrasi, harus dikelola dalam
rangka berpolitik adalah bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi.
Karena itu, untuk mewujudkan demokrasi
substansial seperti didambakan, sangat dibutuhkan penyelenggara pemilu yang
tidak sekadar menjadi pelaksana dan wasit, tapi juga peran yang bisa memberi
kontribusi mewujudkan demokrasi prosedural sekaligus substansial.
Roh
Demokrasi
Kita sudah hidup di alam demokrasi, tapi
mengapa kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, korupsi, dan pelanggaran HAM
masih terjadi? Kenapa mencari pekerjaan untuk kebanyakan orang masih sulit?
Kenapa biaya pendidikan dan kesehatan masih mahal sehingga tak terjangkau
jutaan rakyat miskin? Hingga demokrasi tak lagi berkorelasi dengan keadilan
dan kemakmuran, seperti diamanatkan bapak pendiri bangsa?
Melaksanakan demokrasi prosedural saja
sesungguhnya belum cukup. Yang mendesak diwujudkan adalah demokrasi yang
memberi ruang bagi rakyat untuk memiliki akses dalam proses pengambilan
kebijakan publik, memperkuat posisi tawar warga sipil, dan mengupayakan
kesejahteraan bagi rakyat tanpa harus membeda-bedakan suku, agama, ras,
antargolongan, dan gender. Demokrasi juga harus bisa menghadirkan etika
politik dan memberi nilai-nilai keutamaan.
Kita perlu memperhatikan minimal tiga hal.
Pertama; kalau demokrasi masih dipercaya sebagai sistem politik terbaik maka
harus ada upaya meningkatkan kualitas level demokrasi, dari prosedural ke
bentuk substansial.
Artinya, manifestasi demokrasi tidak cukup
hanya diukur dari pola konvensional formal, seperti pemilu, pilkada, pilpres,
pembentukan institusi Trias Politika, seperti legislatif, eksekutif, dan
yudikatif tapi secara konkret juga harus mampu mewujudkan keadilan sosial,
ekonomi, hukum, dan politik, serta menyejahterakan seluruh rakyat tanpa
pandang bulu.
Kalau Pemilu 2014 gagal mewujudkan
nilai-nilai demokrasi substansial, demokrasi kita ke depan hanyalah pepesan
kosong. Karena itu, perlu menggalang kerja sama sinergis antara KPU, Bawaslu,
pemerintah dari pusat sampai desa, dan partai-partai politik yang ikut
berlaga pada Pemilu 2014.
Kedua; segala kekuatan masyarakat perlu
diberdayakan dan diberi akses dalam proses pengambilan keputusan pu-blik.
Karena itu wakil rakyat perlu terus
berdialog dengan kearifan dan bukan demi kepentingan pribadi yang rakus dan
hedonis. Ketiga; dengan moral kerakyatan dan keadilan sosial seperti itu,
diharapkan jeritan rakyat untuk keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan bisa menemukan impian. Di situlah, esensi roh demokrasi
substansial bersemayam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar