Presiden 2014
Muda Nonmiliter
AM Hendropriyono ; Jenderal TNI (Purn);
Mantan
Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas
|
KOMPAS,
05 November 2012
Belum lama berselang,
seorang peneliti mengingatkan para purnawirawan TNI agar tidak terjebak dalam
skenario dinosaurus yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kepunahan nilai
keprajuritannya (Kompas, 22/10/2012).
Peringatan
itu terkait kiprah para jenderal purnawirawan tua yang kini sedang saling
berlomba memopulerkan diri untuk menjadi presiden RI 2014. Perlombaan, yang
disebut rakyat sebagai ”Perang Bintang”, dilakukan oleh mereka yang sewaktu
muda hafal di luar kepala tujuh ayat di dalam Sapta Marga. Ayat pertamanya
berbunyi: ”Kami warga negara Republik Indonesia, yang bersendikan Pancasila”.
Di
samping itu, setiap anggota TNI juga diwajibkan mengangkat Sumpah Prajurit,
yang harus diucapkan pada setiap upacara bendera seminggu sekali. Ayat
pertamanya berbunyi: ”Setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang
dan ideologi negara”.
Baik
Sapta Marga maupun Sumpah Prajurit merupakan derivasi dari filsafat
Pancasila, yang digali dari kebudayaan bangsa kita sendiri. Nilai kebudayaan
kita yang luhur di bidang keprajuritan secara praktik telah diteladani Gajah
Mada, tujuh abad lampau. Sampai kini sosok Gajah Mada tetap merupakan simbol
keprajuritan yang dibanggakan TNI dan Polri.
Sang
pemersatu Kerajaan Majapahit itu, walaupun namanya besar karena jasa-jasanya
yang luar biasa bagi negara, tak ingin menjadi raja. Sekarang, dalam
kebudayaan modern kita dewasa ini, keteladanan Gajah Mada justru diikuti
secara terbalik. Para purnawirawan tua membesarkan namanya lewat media massa
justru karena ingin menjadi presiden.
Melalui
kepiawaian konsultan iklan, perwira yang sewaktu muda konduitenya buruk
sekalipun sekarang dapat demikian populer di mata rakyat. Kepopuleran seperti
ini juga dapat membuat para perwira muda usia memahaminya secara keliru:
bahwa medan laga untuk jadi presiden monopoli para bekas tentara yang sudah
tua dan berpangkat perwira tinggi.
Padahal,
sepanjang sejarah Indonesia, dinamika kehidupan bangsa kita sejak dulu penuh
diwarnai peran para perwira menengah TNI yang masih muda. Karakter kelompok
manusia dalam keadaan darurat, yang biasanya terjadi di masa transisi, selalu
menginginkan pemimpin muda berjiwa militer yang tegas dan penuh disiplin,
yang mampu melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman.
Mengapa
harus muda? Secara mental kaum muda punya semangat lebih menggelora. Secara
fisik lebih kuat dan secara psikis lebih tahan, terutama dalam daya tahan
kerja intelektual mereka. Karena itu, jika kaum muda militer ingin berkiprah
di bidang politik, tak usah menunggu karier di militer khatam alias pensiun,
sudah tua, apalagi harus berpangkat jenderal.
Namun,
harus juga diingat, dalam teori demokrasi, dasar kedaulatan politik yang
dijunjung adalah supremasi sipil. Jadi, anggota militer muda yang mau
mencalonkan diri sebagai presiden harus berhenti dahulu sebagai tentara dan
kembali jadi orang sipil yang tak punya ikatan lagi dengan militer.
Masalahnya, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer dan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Militer, berhenti secara tidak sah dari militer
berarti desersi.
Oleh
karena itu, untuk menjawab keinginan rakyat kita, jalan terbaik adalah
mendukung calon sipil yang berjiwa militer. Hanya pemimpin yang berjiwa
tegas, disiplin, dan merakyat yang dapat membawa Indonesia benar-benar
berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang kebudayaan.
Para
purnawirawan militer yang selama ini pernah memimpin rakyat, sesuai semboyan
Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan menjadi teladan), adalah (alm) Soeharto dan
SBY. Namun, dalam keadaan transisi, rakyat masih mendambakan lebih kuatnya
disiplin nasional, baik disiplin birokrasi dan aparatur, disiplin legislasi,
maupun disiplin sosial.
Rakyat
berharap hadirnya kepemimpinan nasional yang tegas agar ide liberal tentang
kebebasan tidak terus makin bergulir ke arah anarkisme. Rakyat berharap
kepemimpinan yang berani agar perkembangan individualisme dalam lingkungan
strategis kita tak makin menjurus ke arah konsumerisme yang hedonistik.
Kesempatan
bagi para purnawirawan tua untuk memimpin bangsa ini dengan berada di depan
dirasakan telah cukup. Sekarang waktunya kaum militer muda dan bekas militer
yang sudah tua mendukung kepemimpinan nasional sipil dari belakang, yang di
antara delapan asas kepemimpinan ABRI/TNI disebut Tut Wuri Handayani.
Para
pemuda dari kalangan sipil kini harus didorong agar berani dan mampu tampil
di depan untuk membangun negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang
beretika. Fenomena Jokowi dalam memenangi kursi gubernur DKI Jakarta
2012-2017 pelajaran yang berharga bagi kita. Bahwa Indonesia menginginkan
orang muda sipil berwajah baru yang berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan
merakyat, sebagai presiden RI yang akan datang.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar