Indonesia
Pasca 2014
Budiman Sudjatmiko ; Anggota Fraksi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan DPR
|
KOMPAS,
05 November 2012
“Jika masyarakat bebas tidak mampu menolong banyak rakyat yang miskin,
masyarakat tersebut tidak akan
Kita
lebih menyukai drama orang-orang terkenal ketimbang kisah dramatis
orang-orang biasa. Tulisan ini ingin mengingatkan drama orang-orang biasa dan
agenda kebangsaan yang akan dihadapi presiden republik ini.
Pada
Hari Investasi di New York beberapa waktu lalu, Presiden SBY menyatakan,
Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar keempat di dunia
tahun 2040.
Proyeksi
optimistis Presiden ini dikampanyekan hingga memenuhi ruang-ruang diskusi
ekonomi politik. Sayang, sosialisasi dilakukan tanpa memberikan pemahaman
ruang lingkup dan keterbatasan indikator yang dipakai, yaitu produk domestik
bruto (PDB).
PDB
mengukur jumlah kegiatan ekonomi dalam negeri (wilayah), berbeda dengan
produk nasional bruto (PNB), yang mengukur pendapatan warga negara (manusia).
Jika ada orang atau perusahaan asing yang melakukan kegiatan ekonomi di
wilayah Indonesia, mereka pun masuk dalam perhitungan PDB, tetapi tidak dalam
PNB.
Pada
negara dengan arus masuk investasi asing seimbang dengan arus investasi
domestik ke luar negeri, nilai PDB cenderung tidak jauh berbeda dengan PNB.
Namun, untuk negara yang lebih didominasi arus masuk investasi asing, seperti
Indonesia, nilainya bisa sangat berbeda.
Misalkan,
ada perusahaan tambang asing yang berinvestasi di Indonesia. Masyarakat
Indonesia hanya memperoleh sedikit bagian melalui gaji, royalti, dan pajak.
Sebagian besar hasilnya dinikmati para pemilik saham, yang warga negara
asing. Namun, parameter PDB memasukkan semua pendapatan itu.
Akibatnya,
PDB dapat menggelembung jauh, melampaui pendapatan aktual yang dinikmati
warga negara Indonesia. Joseph Stiglitz, Nobelis Ekonomi 2001, mengulasnya
dalam pertemuan The Asia Society 2008.
PDB
jadi matriks utama dalam paradigma pembangunan ekonomi Indonesia saat ini.
Dari sini dihasilkan sejumlah turunan, seperti pertumbuhan ekonomi dan
pendapatan per kapita. Jika kita sungguh-sungguh ingin mendapatkan gambaran
faktual tentang kesejahteraan umum orang Indonesia, PNB lebih sesuai.
Kesejahteraan
umum faktual diinstruksikan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: untuk
memajukan kesejahteraan umum. Secara filosofis, kata ”umum” bersifat
menyeluruh dan tidak dapat direduksi sebagai nilai agregat. Maka, tujuan
pembangunan ekonomi tidak boleh diwakili pertumbuhan agregat karena
mengabaikan aspek pemerataan pendapatan.
Akibat
kesalahan ini, indeks gini, yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi
meningkat pesat selama pemerintahan SBY. Publikasi Badan Pusat Statistik
(2012) menyebutkan, tingkat kesenjangan di Indonesia meningkat dari 0,32
(2004) menjadi 0,41 (2011).
Selama
pemerintahan SBY, total pendapatan 20 persen masyarakat terkaya meningkat
dari 42,07 persen (2004) menjadi 48,42 persen (2011). Sebaliknya, total
pendapatan 40 persen masyarakat termiskin menurun dari 20,8 persen (2004)
menjadi 16,85 persen (2011).
Bahkan,
mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto pernah membeberkan fakta
bahwa 0,2 persen penduduk Indonesia kini menguasai 56 persen aset nasional.
Dari aset yang dikuasai tersebut, 87 persen dalam bentuk tanah.
Meningkatnya
ketimpangan adalah ancaman bagi keberlangsungan demokrasi. Stewart, Brown,
dan Langer (2008) menunjukkan bahwa ketimpangan berpengaruh penting terhadap
demokrasi. Pengaruh negatif ketimpangan terhadap demokrasi bahkan lebih
dominan dibanding pengaruh positif pertumbuhan ekonomi atas demokrasi (Li dan
Reuveny, 2003).
Di
Thailand, tingkat ketimpangan meningkat pesat dalam dua dekade terakhir. Pada
akhirnya terjadi ketegangan antara masyarakat kelas menengah atas perkotaan
(kaus kuning) dan kelas menengah bawah pedesaan (kaus merah). Peningkatan
ketimpangan juga memicu gerakan ”Occupy Wall Street” di AS. Inilah yang harus
menjadi bahan refleksi agar keretakan perahu Indonesia tidak melebar dan
masih bisa ditambal pasca-2014.
Kebijakan
ekonomi politik selama pemerintahan SBY jelas didominasi PDB, yang
nyata-nyata berpotensi mengelabui. Faktor pemerataan pembangunan cenderung
diabaikan sehingga menciptakan ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi
Indonesia ke depan.
Maka,
kebijakan ekonomi politik pasca-2014 seyogianya dikembalikan ke semangat
Pembukaan UUD 1945. Untuk itu, saya mengusulkan enam langkah guna menjawab
tantangan aktual ekonomi politik tersebut.
Langkah
pertama adalah menyusun UU Demokrasi Ekonomi yang bertujuan untuk memberikan
arahan pembangunan ekonomi nasional sesuai semangat UUD 1945. Salah satu
aspek vital dalam UU itu adalah reformasi matriks pembangunan ekonomi, dari
PDB ke PNB.
Kedua,
pemberantasan korupsi sebagai tolok ukur komitmen menyelamatkan ”uang rakyat
hanya untuk kesejahteraan rakyat”, peningkatan kapasitas dan kepekaan
anggaran melalui reformasi pajak secara menyeluruh, kemitraan antara sektor
publik dan swasta, penyebaran anggaran ke level pemerintahan terendah, serta
penyusunan anggaran partisipatif yang melibatkan seluruh masyarakat.
Yang
ketiga adalah meningkatkan kapasitas produksi masyarakat secara merata
melalui reformasi agraria, bantuan perkreditan, dan mendorong sektor koperasi
untuk maju.
Langkah
keempat penyusunan program pemberdayaan masyarakat yang bersifat permanen
oleh undang-undang. Dalam hal ini, UU Desa bisa mengakomodasi semangat
tersebut. Tujuannya agar peningkatan kapasitas masyarakat dapat berlangsung
secara berkesinambungan.
Kelima,
penerapan program jaminan sosial secara komprehensif, meliputi kesehatan,
dana pensiun, dan lain sebagainya.
Semua
langkah di atas perlu ditopang sistem birokrasi yang efektif dan efisien.
Untuk itu, langkah keenam yang harus dilakukan adalah reformasi birokrasi.
Proses reformasi ini seyogianya bersandarkan prinsip manajemen sibernetik
modern, yang sensitif, lentur, dan bereaksi cepat menghadapi dinamika
lapangan. Hal tersebut hanya dimungkinkan jika diterapkan sistem birokrasi
cerdas dengan teknologi informasi.
Pada
akhirnya, berhasil atau tidaknya kita dalam menyusun enam agenda di atas
tergantung dari pemimpin Indonesia yang akan mulai bekerja sejak 2014.
Pemimpin yang berani keluar dari zona nyaman dirinya untuk mulai berpikir
secara cerdas, bekerja secara keras, dan mau berkorban yang paling banyak
untuk kebaikan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar