Penentu Kemudi
di Asia
Dinna Wisnu ;
Co-Founder
& Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
SINDO,
21 November 2012
Minggu ini adalah minggu besar di Asia Timur dan Asia Tenggara,
karena di kawasan ini terlaksana perhelatan besar bernama Konferensi Tingkat
Tinggi Asia Timur 2012 (East Asian Summit/EAS 2012).
Sejak Senin sore,delegasi yang terdiri atas kepala-kepala negara serta menteri luar negeri berkumpul dan saling berpidato mengutarakan harapannya pada EAS.Tuan rumah tahun ini adalah Kamboja. EAS adalah forum tahunan yang terbentuk sejak 2005 bagi 18 negara,yakni 10 negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam) dan 8 negara dengan kerangka kerja sama khusus di ASEAN yakni China, India,Jepang,Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). Melalui forum EAS, ASEAN berupaya merangkul sebanyak-banyaknya mitra strategis di dunia dan menunjukkan giginya dalam “menyetir” agenda-agenda politik internasional, terutama yang menyangkut nasib negara-negara di kawasan Asia. Tahun ini Rusia dan AS pertama kali ikut dalam EAS. Samasepertihalnya pertemuan- pertemuan tingkat tinggi lainnya, EAS tidak hanya menarik karena apa yang diungkapkan dalam pertemuan resmi, tetapi juga apa yang dilakukan para pimpinan delegasi menjelang acara atau di sela-sela acara. Diplomat selalu berkata bahwa tahap-tahap negosiasi dimulai justru di luar ruang sidang. Yang cukup heboh adalah Presiden Barack Obama dari AS. Sebelum berangkat ke kawasan Asia, dia sudah mengeluarkan pernyataan bahwa AS ingin menegaskan lagi pentingnya posisi Asia dalam agenda luar negeri AS saat ini. Istilah Obama: AS sedang melakukan pivot (melibatkan diri lagi dalam porsi yang cukup besar di kawasan ini). Setibanya di Asia, dia melakukan kunjungan pertama kali ke Myanmar; negara yang pernah diembargo secara ekonomi oleh AS dan menjadi target kritik keras dunia. Myanmar adalah negara yang sampai sekarang masih dikuasai oleh junta militer, dikenal punya kecenderungan untuk lebih pro ke China dalam hal politik luar negeri. Di sana Obama difoto sedang merangkul hangat tokoh demokrasi dan Hak Asasi Manusia Aung San Suu Kyi yang bertahuntahun menjadi tahanan politik junta militer. Obama memilih untukberkunjung ke Rangoon, bekas ibu kota yang juga lokasi dari universitas besar dan pergerakan demokrasi,dan bukan ke Naypyidaw, ibu kota tempat junta militer berkuasa. Tapi dengan diplomatis Obama memilih menyebut nama Myanmar, nama yang diberikan oleh junta militer pada negeri itu, dan bukan Burma yang merupakan nama kolonial. Dari Rangoon di Myanmar Obama menyuarakan tiga hal. Pertama, Myanmar bukan lagi negara rendahan di Asia, karena AS sudah menerimanya dengan tangan terbuka. Kedua, bahwa AS menghargai negaranegara yang mengembangkan demokrasi dan perlindungan HAM. Itu sebabnya AS cukup keras terhadap Perdana Menteri Kamboja Hun Sen karena negeri itu dianggap belum ramah HAM. Ketiga, bahwa orang-orang AS perlu menyadari bahwa masa depan AS tidak lagi ada di “Barat”, tetapi justru di “Timur” yakni Asia. Tentu saja, AS apalagi Obama sebenarnya bukan perhatian utama EAS. Dan, bukan cuma AS yang sedang mengelus-elus ego Asia. Rusia yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Lavrov menegaskan komitmen kehadiran Rusia di Asia. Rusia bangga dengan sejumlah inisiatif kerja sama perdagangan bebas di kawasan Asia serta investasinya membuka jalur gas dari Rusia ke China. Jepang, Korea Selatan,dan China mendorong ASEAN untuk memperkuat kerja sama sesama negara Asia. Apa reaksi Asia? Dengan melebarkan keanggotaan dan melibatkan AS dan Rusia, negara-negara Asia sedang berusaha untuk bersama-sama mencari titik keseimbangan baru dalam tatanan politik global, di mana Asia memainkan peranan yang lebih penting dibandingkan di masa-masa lalu. Ini bukan hal mudah. Bukan rahasia bahwa di dalam Asia sendiri masih ada kegamangan tentang siapa yang memegang kemudi di Asia. Indonesia misalnya. Kita tahu persis bahwa yang seharusnya memegang kemudi di Asia adalah ASEAN, dan bahwa Indonesia sebagai negara besar pencetus dan pembina ASEAN bisa menegaskan pentingnya ASEAN sebagai pusat kegiatan negara di kawasan Asia Tenggara sampai ke kawasan Pasifik. Namun,kita masih bingung menghadapi Filipina yang sekarang sebentar- sebentar selalu berteriak minta tolong ke AS atau Kamboja yang lebih akrab dengan China. Ketegangan kedua negara ini tergambar ketika Perdana Menteri Kamboja menyimpulkan hasil pidatopidato yang masuk tentang kesepakatan ASEAN untuk bergerak bersama dalam menjaga keutuhan ASEAN. Presiden Filipina justru melakukan interupsi dengan mengatakan bahwa keutuhan ASEAN tidak bisa dinyatakan sebagai konsensus karena bagi Filipina, ASEAN bukanlah satu-satunya jalur kerja sama yang dapat mendorong pencapaian kepentingan nasional Filipina. Wah…repot ya. Sebenarnya dua hal saja perlu diingat. Pertama, bahwa EAS dilahirkan dan dibuat rutin karena ada keyakinan bahwa masalah-masalah di kawasan ini perlu diselesaikan dengan cara duduk bersama, saling melontarkan wacana, dan dilanjutkan dengan pencarian solusi melalui pendekatan personal ke para kepala negara. Kedua, EAS lahir karena cita-cita menempatkan ASEAN sebagai pengemudi bagi nasibnya sendiri di antara tarik-menarik kepentingan negara-negara besar dan syukur-syukur ikut menentukan tatanan hubungan internasional masa ini dan mendatang. Dalam kerangka ASEAN pasca-Deklarasi ASEAN 2008, sebenarnya relatif tidak ada yang “abu-abu” lagi dalam aturan ASEAN. ASEAN menolak intervensi asing dalam wujud apa pun di kawasan ini. Masalah di kawasan ini harus diselesaikan dengan cara yang disepakati oleh semua negara di ASEAN, dengan cara damai yang efisien. ASEAN bahkan telah mengembangkan sejumlah inisiatif agar berdikari dan berdaya pikat dalam pergaulan internasional. Dan bila ada anggota yang melenceng dari prinsip itu, dia bisa ditegur langsung. Artinya, ayolah tegas pada negara-negara ASEAN yang masih menomorduakan ASEAN dalam politik luar negerinya. Selanjutnya, Indonesia perlu berani ikut menaruh agenda dalam dialog EAS. Tidak semata mengambil isuisu yang memang sudah diagendakan penting bagi Asia seperti penyelesaian Laut China Selatan. Toh, detail penyelesaian tidak akan diputuskan di forum ini. Justru gunakanlah momen saling berwacana antarkepala negara untuk menegur Rusia yang mengklaim sudah menginvestasikan ini-itu di ASEAN, tapi sebenarnya itu terkonsentrasi di China dan negara-negara yang pro-China. Indonesia juga bisa mengambil pengalaman rumitnya membangun kerja sama riil masa kini dengan Rusia karena haluan prioritas kedua negara belum sejalan. Kepada AS, kita perlu menegur sikap AS ke negara-negara Timur Tengah dalam hal perlindungan HAM dan demokrasi. ASEAN perlu mempertimbangkan apakah sikap AS di Timur Tengah adalah sebuah standar ganda dalam penegakan HAM atau memang demikianlah konsistensi AS dalam berpolitik. Kita bisa katakan pada AS bahwa Indonesia menghargai segala ungkapan perhatian AS bagi Asia dan kita mencermati juga konsistensi AS dalam penerapan prinsip-prinsip HAM dan demokrasi di belahan dunia lain. Terlepas dari bagaimana hasilnya nanti, pertemuan-pertemuan tingkat tinggi apa pun harusnya memberikan manfaat bagi kita masyarakat awam yang jauh dari politik. Mungkin ini persoalan komunikasi, tetapi pemerintahan SBY belum dapat menjelaskan kepada publik apa manfaat dari pertemuan tersebut untuk persoalan-persoalan yang kita hadapi. Contoh mengenai TKI yang diperkosa, isu TKI on Sale, masalah perdagangan antarnegara, alih daya, dan seterusnya. Seandainya belum ada bukti, minimal ada penjelasan secara lisan. Dengan demikian, kita bisa tahu apakah pemerintah Indonesia menjadi kemudi di dalam ASEAN atau hanya “sopir tembak”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar