Merombak
Anggaran
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur
Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
01 November 2012
Para ekonom yang berteriak kencang soal
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2013 nyaris berfokus pada
satu hal saja: subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak. Pemerintah
dianggap keterlaluan karena membuang ratusan triliun rupiah untuk dibakar di
jalan, tanpa memberikan manfaat bagi orang miskin. Rekomendasi mereka juga
seragam, mengalihkan subsidi BBM tersebut ke infrastruktur.
Namun, apakah soal RAPBN 2013 (dan APBN
sebelum-sebelumnya) cuma itu? Tentu tidak. Bahkan, APBN perlu dirombak total
karena selama ini disusun dengan menggunakan pendekatan konvensional,
seakan-akan tanpa ada jalan lain.
Padahal, jika ditelisik secara lebih
mendalam, akan dijumpai beberapa skenario besaran, alokasi, dan postur APBN
yang lebih adil dan bertenaga sehingga mendekati pencapaian tujuan bernegara.
Intinya, APBN mesti disusun berdasarkan ”alokasi nilai-nilai” yang termaktub
dalam konstitusi dan selanjutnya dikaitkan dengan prioritas masalah yang
hendak dipecahkan (priority-based budgeting).
Politik
Defisit Anggaran
Sistem anggaran konvensional (conventional
budget system) dapat diidentifikasi dari pola yang bertumpu pada input
(input-focused). Mula-mula pemerintah menentukan anggaran patokan (baseline
budget), yang umumnya memakai panduan anggaran tahun sebelumnya. Setelah itu
dilekatkan dengan penambahan besaran anggaran yang terdiri dari variabel:
inflasi, beban anggaran wajib (caseloads), program inisiatif, dan induksi
perubahan kebijakan.
Itulah yang kemudian menghasilkan anggaran
normal (business-as-usual budget). Hal ini akan berbeda bila model yang
dipakai adalah anggaran berbasis prioritas yang berfokus kepada output
(output-based). Pertama-tama akan diputuskan fungsi utama pemerintah, lalu
diikuti dengan pengukuran kinerja dan penyesuaian belanja berdasarkan prioritas
(ALEC, 2011). Alokasi belanja dan pengukuran kinerja dikawal lewat analisis
ongkos berbasis aktivitas (activity-based costing) yang mendeskripsikan semua
elemen biaya atas kegiatan tertentu.
Penyusunan anggaran konvensional salah
satunya bisa dibaca dari politik defisit anggaran yang dirayakan
terus-menerus dan dianggap sebagai rumus baku untuk menggerakkan ekonomi
meski perekonomian sedang tidak mengalami krisis.
Sejak krisis 1998 hingga kini (bahkan sejak
masa Orde Baru), APBN selalu dibuat defisit tanpa ada urgensi dan prioritas
yang jelas. Lebih parah lagi, defisit anggaran itu didesain di atas dua fakta
pahit: kekurangoptimalan penerimaan dan inefisiensi belanja.
Dengan kata lain, defisit anggaran yang
dibiayai utang (dalam dan luar negeri) merupakan instrumen yang sejak awal
diciptakan untuk melanggengkan praktik yang tak laik tersebut, baik dari sisi
penerimaan maupun pengeluaran. Realitas itu makin menyedihkan karena
rata-rata penyerapan utang luar negeri selama ini hanya 71,2 persen sehingga
memunculkan sisa anggaran lebih (SAL) pada akhir tahun anggaran. Pada 2011,
misalnya, SAL mencapai Rp 96,6 triliun (Indef, 2012).
Berikutnya, fungsi APBN di samping sebagai
stabilitator perekonomian juga memiliki peran alokasi dan distribusi. Saat
ini perekonomian memiliki persoalan serius berupa anjloknya pertumbuhan
sektor pertanian dan makin mengecilnya kontribusi sektor industri terhadap
produk domestik bruto (PDB). Padahal, kedua sektor itu sekurang-kurangnya
menyerap 55 persen dari total tenaga kerja. Di luar itu, sebagian besar
tenaga kerja nasional juga bermasalah sebab 62,7 persen bekerja di sektor
informal (BPS, 2012).
Ini yang membuat pembangunan sektor
pertanian dan industri menjadi keniscayaan. Namun, alokasi RAPBN 2013 tak
mencerminkan hal itu sehingga sukar mengharapkan kedua sektor bergerak
maksimal. Ketimpangan pendapatan yang terus meningkat enam tahun terakhir
juga tak terekam dalam fungsi distribusi RAPBN 2013. Jadi, praktis fungsi
alokasi dan distribusi anggaran tersumbat akibat instrumen penyesuaian
belanja berdasarkan prioritas (yang merupakan bagian dari anggaran berbasis
prioritas) mampet.
Alokasi
Nilai-Nilai
Kondisi yang memprihatinkan itu masih pula
ditambah dengan pertumbuhan belanja birokrasi yang terus melesat. Pada
periode tahun 2007-2012, rata-rata pendapatan negara meningkat 10,92 persen,
tetapi belanja pegawai tumbuh 19 persen (Indef, 2012).
Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Eko Prasojo baru saja mengeluarkan pernyataan
mengejutkan, bahwa hanya 20 persen aparat birokrasi yang bekerja. Sumber ini
tentu valid sehingga jika mereka yang betul-betul bekerja dinaikkan jadi 50
persen, belanja birokrasi masih mengandung inefisiensi sebesar 50 persen atau
setara dengan Rp 200 triliun dari total nilai belanja pegawai dan barang.
Jika ditambah inefisiensi dari belanja
modal, pengeluaran kementerian/lembaga dan dana transfer pada kisaran 20
persen saja, ada penghematan lagi Rp 160 triliun-Rp 200 triliun. Jadi, total
inefisiensi ini berkisar Rp 360 triliun-Rp 400 triliun atau 21-24 persen dari
belanja APBN. Isu lainnya, di luar soal penghematan itu, apakah anggaran
birokrasi itu pernah diukur output-nya?
Bagaimana halnya dari sisi penerimaan? Jika
mengambil data pada 2012 akan dijumpai realitas berikut. Jumlah wajib pajak
(pembayar pajak) pribadi sebanyak 19,8 juta dan badan 2,2 juta. Jadi, total
pembayar pajak sebanyak 22 juta. Pada 2011 hanya 32,72 persen pembayar pajak
badan yang membayar dan 54,7 persen pembayar pajak pribadi yang taat menyetor
pajak (Koalisi Masyarakat Sipil untuk APBN Kesejahteraan, 2012).
Jika diandaikan setiap kategori pembayar
pajak itu tingkat ketaatannya menjadi 75 persen, bisa dihitung betapa
banyaknya jumlah pajak yang bisa dikumpulkan pemerintah. Ini belum ditambah
dengan jumlah pembayar pajak pribadi yang dari sisi potensi bisa dijaring
sebanyak 30 juta. Dengan basis seperti itu, sebetulnya tidak terlampau sulit
bagi pemerintah meningkatkan rasio pajak pada kisaran 15-17 persen sehingga
penerimaan pajak menjadi Rp 1.400 triliun. Bila ini dijumlahkan dengan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 400 triliun, kekuatan APBN
menjadi Rp 1.800 triliun!
Apabila jumlah penerimaan anggaran sebesar
itu, pemerintah sama sekali tidak perlu utang, malah surplus (meski tanpa
melakukan efisiensi belanja). Surplus itu bisa dipakai sebagai saldo atau
dihabiskan untuk ekspansi infrastruktur. Di atas segalanya, dalam pendekatan
ekonomi politik, pemerintah adalah institusi yang memiliki otoritas
mengalokasikan nilai-nilai (authoritative allocation of values). Pilihan
terhadap nilai-nilai itulah yang akan menuntun alokasi anggaran sesuai
prioritas masalah.
Deskripsi di atas tidak saja menunjukkan
absennya nilai-nilai dalam mengalokasikan APBN, tetapi juga keengganan untuk
keluar dari zona nyaman praktik inefisiensi belanja dan inoptimalisasi
penerimaan. Inilah yang membuat setiap upaya pengurangan subsidi energi
menimbulkan kemarahan dan perlawanan sengit karena rakyat tahu persis hal-hal
yang tak patut lainnya justru didiamkan.
Jadi, mari berikhtiar merombak APBN secara
keseluruhan, bukan sepotong-sepotong sehingga keadilan dan kesejahteraan
ekonomi tegak di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar