Memahami
Konflik Poso
Hasrullah ; Pengajar FISIP Universitas Hasanuddin;
Menulis Disertasi
”Konflik Poso dari Perspektif Komunikasi Politik”
|
KOMPAS,
01 November 2012
Poso kembali bergejolak. Konflik yang
dialami masyarakat tak kunjung usai. Peristiwa berdarah itu terkadang tak
mengenal lagi humanisme dan kemanusiaan.
Bom Poso yang meledak akhir-akhir ini tidak
bisa dilihat secara sederhana atau murni gerakan teroris semata. Termasuk bom
yang meledak di Pos Polisi Lalu Lintas Kabupaten Poso, yang melukai beberapa
korban tak berdosa.
Ledakan yang dialamatkan ke pihak keamanan
dapat juga diterjemahkan sebagai protes terhadap kelompok tertentu yang tidak
nyaman dan puas terhadap pembangunan infrastruktur. Atau, bisa juga,
rekonsiliasi yang berdasarkan perbedaan pandangan ideologis dan strata sosial
ekonomi ternyata belum tuntas hingga ke akar rumput. Untuk itulah perlu kita
memahami secara komprehensif dan simultan dari aspek pesan politiknya.
Protes
Sosial
Tindakan teror yang dialamatkan kepada
pihak kepolisian jadi pertanda pesan komunikasi politik bernuansa protes
sosial. Kejadian ledakan bom bukan lagi pertikaian antarwarga yang bermotif
suku, agama, suku, dan antargolongan (SARA) seperti saat muncul konflik poso
1998.
Teror bom yang dianggap sebagai
”perlawanan” terhadap aparat keamanan dan penguasa, mengindikasikan ada pihak
tertentu yang ingin tetap eksis. Mereka ingin menunjukkan jati dirinya dan
ingin mendapat perhatian khusus dari pemerintah.
Pengamatan ini cukup beralasan, terutama
bila bertolak dari perspektif Perjanjian Malino. Perjanjian yang
ditandatangani 20 Desember 2001 itu merupakan wujud keinginan kelompok yang
bertikai—Muslim dan Nasrani—untuk mengakhiri konflik dengan konsensus.
Lahirnya konsensus Deklarasi Malino untuk
Poso telah memiliki ikatan politik, ekonomi, dan sosial untuk mengakhiri
segala bentuk perselisihan.
Testimoni perdamaian yang mengikat antarelite
dan masyarakat: konflik itu merugikan masyarakat Poso sendiri. Komunikasi
politik yang ditangkap dari konflik itu bahwa kesepakatan politik berupa
power sharing merupakan jalan abadi untuk mencegah konflik. Hanya saja,
selama satu dekade terakhir, rentetan peristiwa—di antaranya penculikan dan
peledakan bom—masih tetap. Berdasarkan hasil kajian penulis, konflik
berkepanjangan di Poso bukanlah persoalan agama, melainkan perebutan
kepentingan politik dan ekonomi pribumi-pendatang.
Protes sosial jangan hanya dimaknai bahwa
bom Poso itu adalah teror sesama warga. Sebenarnya, pesan politik yang ingin
disampaikan adalah apakah dinamika masyarakat yang pernah mengalami trauma
konflik murni karena dendam pihak tertentu ataukah karena persoalan ketimpangan
sosial.
Selayaknya pemerintah introspeksi diri
apakah kesepakatan damai yang telah dicapai sudah terimplementasi baik di
lapangan atau belum. Sebab, jika pemerintah kurang memberikan perhatian,
protes sosial ini harus dimaknai bahwa pemerintah perlu lebih intens dan
optimal dalam membangun daerah konflik, baik berupa pelayanan publik maupun
infrastruktur, termasuk pemberdayaan masyarakat pribumi dan pendatang.
Sederhananya, Poso sebagai daerah bekas konflik yang terabaikan membutuhkan
perhatian khusus. Ketidakadilan yang mereka rasakan telah menimbulkan
kekecewaan.
Pesan politik yang perlu juga disimak
adalah seperti yang diungkapkan seorang tokoh deklarasi Malino, Prof Dr
Sulaiman Mamar (2007). Bahwa untuk memperbaiki hubungan kedua kelompok yang
bertikai adalah memperbaiki kehidupan ekonomi dengan segala konsekuensi
akibat dari konflik. Bahkan, menurut Guru Besar Universitas Tadulako ini,
faktor ekonomi akan menjadi perekat perdamaian dan penentu kesepakatan damai.
Kuncinya ada pada perbaikan ekonomi kerakyatan.
Kenyamanan
Komunikasi
Terjadinya gesekan konflik di masyarakat
Poso berarti adanya ketidaknyamanan di antara warga masyarakat ataupun
antarelite. Jika komunikasi berlangsung nyaman, pertanda ada harmonisasi dan
keseimbangan terjadi dalam sistem sosial. Sebaliknya, bila ada teror dan
ancaman bom, berarti ada sekelompok komunitas yang secara sengaja dan
terencana ingin mengganggu stabilitas politik dan keamanan.
Kekerasan di Poso pada masa konflik
diwarnai kenyataan adanya anak-anak berumur 15 tahun sudah pandai merakit bom
dan menggenggam senjata M-16. Itu artinya, kader-kader militan sudah
terbentuk di Poso. Bahkan, menurut informan penelitian disertasi penulis,
Osama bin Laden pernah berkunjung ke Poso. Jika informasi ini benar, artinya
Poso sudah jadi jaringan sel teroris yang perlu mendapat perhatian serius
dari pihak keamanan.
Menghadapi realitas demikian, untuk
mengembalikan kenyamanan warga Poso tidak cukup hanya dengan pendekatan
keamanan. Jauh lebih penting lagi, bagaimana warga Poso yang sudah berjiwa
militan didekati secara persuasif dan komunikasi timbal balik untuk mengubah
pandangan hidup mereka yang militan dan fanatik.
Suatu pandangan hidup, yang sudah merupakan
suatu kepercayaan bahwa melakukan kekerasan dihalalkan atas nama ideologi.
Bahkan, secara ekstrem dikatakan,
menghilangkan nyawa manusia diperbolehkan atas nama agama yang dia anut.
Pemaknaan simbol kekerasan dianggap kewajiban sehingga mereka melakukan tanpa
beban dosa. Menghadapi cara pandang semacam ini yang diperlukan adalah pendekatan
negosiasi dan persuasif dengan ”pencerahan” ideologi.
Hal yang lebih penting lagi dalam
menciptakan harmonisasi dan komunikasi masyarakat Poso, yakni perlunya
kesadaran elite (elite politik dan elite agama). Perlu dibangun kesadaran
bahwa masyarakat Poso yang berdiam di pesisir atau di pegunungan memiliki
hubungan tali persaudaraan. Jangan sampai karena berbeda kepentingan politik
dan ekonomi, Poso menjadi jauh dari kedamaian.
Mengingat salah satu sumber konflik berawal
dari jabatan (kursi bupati) berarti salah satu masalahnya terletak pada
ketidakpuasan yang menimbulkan kekecewaan. Jika para elite menyadari
pentingnya kenyamanan dalam melaksanakan proses komunikasi politik,
kekecewaan jangan dibawa ke arena konflik.
Bukankah prinsip hidup masyarakat Poso
sangat menjunjung tinggi kearifan lokal, sintuwu
maroso, yang maknanya adalah bersatu untuk kuat.
Kearifan lokal yang bermakna filosofis ini
bisa menjadi landasan komunikasi politik bahwa elite perlu menyadari politik
bukanlah segala-galanya. Jika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat
dapat dilakukan komunikasi politik yang positif. Tentu saja dengan bingkai
bahwa bersatu itu menguatkan komunikasi vertikal dan horizontal.
Dengan
demikian, konflik dan perbedaan dapat dihindari untuk mencapai kebersamaan
dan kedamaian. Kenyamanan komunikasi harus menjadi fondasi bahwa budaya
komunikasi sintuwu maroso selalu membingkai kebersamaan untuk persatuan.
Pesan
Politik
Pertanyaan mendasar yang perlu dimunculkan,
mengapa Poso kembali bergejolak, kekerasan dan teror bom terjadi beberapa
minggu ini? Apa sebab utama?
Ada baiknya kita memperhatikan secara
historis bahwa komunikasi yang harmonis antara pendatang-pribumi atau
Muslim-Nasrani telah tercipta sejak 1925. Namun, konflik berdarah sejak
1998-2001 itulah yang membuat negeri Poso mendunia. Dan, konflik itu sendiri
pecah karena adanya faktor kepentingan tertentu.
Dengan kondisi semacam ini, seharusnya
pemerintah perlu secara intens memulihkan kondisi Poso pascakonflik. Kenapa
Poso sebagai daerah bekas konflik dibedakan penanganannya dengan konflik
Aceh? Padahal, Poso dan Aceh sama-sama pernah mengalami tragedi kemanusiaan.
Terlepas dari adanya kekerasan berupa
ledakan bom yang terasakan saat ini, yang terjadi karena adanya luka batin
akibat provokasi dari kelompok yang tidak ingin melihat Poso damai, jauh
lebih penting yang harus dilakukan adalah memaknai konflik itu sendiri.
Bahwa perlu secepatnya ada proyek besar
kemanusiaan. Selain agar kekerasan dapat ditekan, budaya juga damai dapat
terlaksana di tengah masyarakat Poso.
Pesan politik itu di antaranya, pertama,
melakukan pola komunikasi di antara semua kelompok masyarakat bahwa toleransi
kehidupan sosial, politik, agama diterima sebagai konsekuensi masyarakat
majemuk. Kampanye ini tidak hanya disosialisasikan kepada para elite, tetapi
menyentuh masyarakat akar rumput.
Kedua, kebijakan politik betul-betul harus
melayani kepentingan rakyat. Rakyat Poso sangat membutuhkan pemberdayaan
masyarakat, terutama di sektor ekonomi dan pendidikan.
Ketiga, harmonisasi sosial menjadi proyek
besar agar Poso menemukan jati dirinya, di mana masyarakatnya sangat
mencintai kedamaian dan persaudaraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar