Mengukur
Derajat Intoleransi Kolektif
Yogi Setya Permana ; Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
TEMPO, 05 November 2012
Akhir-akhir ini publik
diramaikan oleh beragam hasil survei tentang elektabilitas para kandidat
presiden dalam pemilu 2014. Meskipun pemilu masih dua tahun lagi, berbagai
lembaga survei telah merilis tingkat popularitas nama-nama yang
diperhitungkan untuk maju dalam hajat lima tahunan tersebut. Praktis topik
elektabilitas calon presiden mendominasi ruang-ruang media dan diskusi.
Tetapi ada satu hal yang tampaknya lepas dari perhatian publik, yakni
terselip hasil-hasil survei tentang intoleransi masyarakat. CSIS, LSI, dan
Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI adalah beberapa lembaga yang dalam empat
bulan terakhir merilis hasil surveinya tentang isu intoleransi. Dari
temuan-temuan lembaga tersebut, terbukti intoleransi di dalam masyarakat
merupakan kenyataan dan harus segera disadari.
Temuan Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) dan Centre for
Strategic and International Studies (CSIS) dalam rilis hasil surveinya
beberapa waktu lalu tentang toleransi beragama amat memprihatinkan. Dalam
rilisnya, LSI memaparkan bahwa 15,1 persen responden mengaku tidak nyaman
hidup berdampingan dengan tetangga berbeda agama. Angka persentase tersebut
meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang sebesar 8,2 persen.
Opini pengesahan penggunaan kekerasan dalam penegakan prinsip agama pun
meningkat dari 9,8 persen pada 2005 menjadi 24 persen pada 2012. Artinya, 1
dari 4 orang di Indonesia menganggap sah untuk menggunakan kekerasan dalam
isu agama.
CSIS pun mendapati tren
serupa dalam isu yang sama. Sekitar 33,7 persen responden menjawab bahwa
mereka berkeberatan tinggal bertetangga dengan orang yang beragama lain.
Lebih jauh lagi, sebanyak 68,2 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya
akan pembangunan rumah ibadah agama lain di lingkungannya. Dalam Laporan
Kebebasan Beragama dan Toleransi 2011, The Wahid Institute mencatat ada 49
kasus pelarangan pendirian rumah ibadah di Indonesia. Padahal pada tahun
sebelumnya (2010) hanya tercatat 19 kasus pelarangan pendirian rumah ibadah.
Fenomena ini adalah sebuah ironi di dalam komunitas politik yang mengklaim
dirinya demokratis.
Deretan ironi ini tetap
berlanjut dengan afirmasi yang diberikan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P)
LIPI dalam rilis hasil surveinya pada 11 Oktober 2012 lalu. Sebanyak 14,7
persen responden percaya bahwa orang yang berbeda agama akan merugikan diri
mereka. Survei yang dilakukan secara nasional, dengan sampel sebanyak 1.700
orang yang dipilih secara bertingkat (multistage random sampling), ini
memperoleh temuan lain bahwa 13,8 persen responden berkeberatan tinggal
bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Angka persentase ini senada
dengan hasil temuan survei LSI. Dalam kaitan dengan sistem politik, responden
yang berkeberatan memilih calon legislatif beda agama mencapai 35,6 persen.
Sungguh sebuah tantangan berat yang harus dihadapi untuk demokratisasi ketika
sentimen primordial seperti agama mendominasi preferensi politik.
Angka dan Realitas
Paparan statistik tersebut
bukan berhenti pada angka semata. Angka-angka persentase yang dipaparkan menggambarkan
realitas kekinian dan problematikanya yang harus segera diatasi agar tidak
semakin meningkat. Sinyal akan adanya persemaian benih-benih intoleransi yang
sedemikian masif di dalam masyarakat adalah kenyataan yang harus segera
dicarikan solusinya. Terlebih jika sentimen sektarian ini digunakan oleh
elite-elite oportunis sebagai amunisi untuk memantik konflik demi
mendatangkan keuntungan ekonomi-politik.
Amat disayangkan, dalam
banyak kompetisi politik seperti pemilihan kepala daerah di berbagai tempat,
agama masih digunakan sebagai komoditas politik. Efek destruktifnya sangat
dalam sehingga merusak proses elektoral yang notabene manifestasi dari
demokrasi. Kasus pemilukada Jakarta lalu, yang pekat dengan penggunaan
sentimen agama, jangan sampai terulang. Sebab, dengan derajat intoleransi
yang menguat, potensi konflik amat terbuka jika terseret masuk dalam medan
politik. Terlebih di daerah-daerah yang masyarakatnya belum terlalu maju.
Bersemainya benih-benih
intoleransi adalah fakta yang tidak boleh ditutup-tutupi. Semakin kita
mengabaikan, daya ledaknya nanti di kemudian hari pasti akan sangat besar.
Sangat disayangkan komentar salah seorang pimpinan lembaga tinggi negara yang
tidak mempercayai hasil survei mengenai adanya peningkatan intensitas benih-benih
intoleransi di dalam masyarakat. Ini contoh buruk dari perilaku elite politik
kita yang seharusnya menjadi lokomotif penyadaran publik tentang bahaya
intoleransi bagi usaha demokratisasi yang tengah dirintis bersama.
Pengakuan akan adanya sentimen
intoleransi yang mulai menguat merupakan satu hal krusial yang harus
dilakukan. Tanpa adanya pengakuan, persoalan ini akan terus diabaikan dan
diremehkan oleh segenap anak bangsa. Jangan sampai kita hanya terlelap
dinina-bobokan mitos tentang harmoni yang sudah mendarah daging. Dengan
adanya pengakuan bahwa sinyal intoleransi menguat, akan bangkit kesadaran
kolektif bahwa kita berjalan di atas bara dalam sekam.
Tenun kebangsaan seperti
yang ditulis Anies Baswedan di Kompas (23 Oktober 2012) tidak akan terajut
sempurna tanpa penghormatan kepada sesama warga negara dengan apa pun
atributnya. Negara yang mengklaim demokratis harus memihaki prinsip kewargaan
dan toleransi. Demokrasi mensyaratkan adanya toleransi atas perbedaan dan
keterbukaan akan pluralitas gagasan. Dengan demikian, demokrasi bisa dimaknai
sebagai sarana resolusi konflik yang memediasi benturan berbagai kepentingan
dengan motif apa pun, agama, etnisitas, ekonomi, dan sebagainya, melalui
jalan nirkekerasan.
Jelas berarti bahwa intoleransi mengancam
demokrasi. Hal ini harus dijadikan peringatan oleh elite-elite politik kita
agar tidak menggunakan sentimen agama dalam mobilisasi dukungan politik. Ia
layaknya bola liar yang mampu memantul ke sana kemari tanpa dapat
dikendalikan lagi. Bagi para kandidat presiden yang disebut-sebut dalam
hasil-hasil survei, jangan pernah memainkan isu agama sebagai pendongkrak
popularitas dan elektabilitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar