Menakar Beleid Pemutihan Pelepasan Kawasan Hutan
Dodik Ridho Nurrochmat, Lektor
Kepala Kebijakan Kehutanan,
Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
KORAN
TEMPO, 03 November 2012
Beberapa waktu
lalu pemerintah merilis beleid "pemutihan pelepasan kawasan hutan" melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
Fungsi Kawasan Hutan. Peraturan ini dimaksudkan sebagai langkah terobosan untuk
mengurai persoalan tumpang-tindih sekitar sepuluh juta hektare kebun, tambang,
dan aktivitas lain di dalam kawasan hutan yang menjadi sumber konflik
berkepanjangan antara pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan.
Pertikaian
nyaris tak berujung karena para kepala daerah memberikan izin sesuai dengan
kewenangan yang mengacu pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah, sementara
Menteri Kehutanan berpegang pada ketentuan yang digariskan Undang-Undang
Kehutanan. Beleid itu dimaksudkan sebagai "tafsir" yang dijadikan pedoman
oleh kedua pihak, agar tidak terperangkap ketentuan Undang-Undang Penataan
Ruang yang mengancam sanksi pidana dan denda berat bagi pejabat yang
mengeluarkan izin menyalahi tata ruang, termasuk pejabat yang
"memutihkan" pelanggaran tata ruang.
Sejauh mana
langkah terobosan ini efektif? Kebijakan pelepasan kawasan hutan saja tidak
akan pernah dapat menuntaskan masalah keterbatasan ruang! Kita sering terbuai
mitos hidup di negara yang sangat luas bernama Indonesia. Padahal sesungguhnya
wilayah negara kita didominasi oleh laut, sedangkan total luas daratan hanya
sekitar 192 juta hektare. Sementara itu, jumlah penduduk Indonesia saat ini
telah melewati angka 244 juta jiwa dan dipastikan akan terus merambat naik
seiring dengan bertambahnya angka kelahiran. Angka ini menunjukkan bahwa
potensi pemilikan lahan rata-rata per kapita penduduk Indonesia ternyata kurang
dari 0,8 hektare, sekalipun seandainya seluruh daratan dikapling tak tersisa
untuk masyarakat. Bahkan, faktanya, dari seluruh luas daratan, hanya sekitar
seperempatnya yang dapat dimanfaatkan secara leluasa karena lebih dari 136 juta
hektare ditetapkan sebagai kawasan hutan. Dapat dibayangkan betapa rumit
mendistribusikan lahan di luar kawasan hutan yang hanya tersisa 56 juta hektare
untuk memenuhi beragam kepentingan seperempat miliar masyarakat Indonesia.
Kebijakan
pelepasan kawasan hutan dan pengukuhan status lahan saja tidak akan dapat
menyelesaikan esensi permasalahan tenurial, walaupun hal tersebut sangat
diperlukan sebagai "syarat perlu" dalam pengelolaan tenurial kawasan
hutan. Persoalan tumpang-tindih perizinan atau perambahan kawasan hutan,
misalnya, juga tidak dapat disederhanakan menjadi sekadar persoalan hukum yang
dapat diatasi hanya dengan pendekatan legalistik-formal seperti pengukuhan tata
batas.
Dalam konteks
ini, saya ingin menegaskan bahwa, dalam banyak hal, kebenaran bukanlah sesuatu
yang "given"--apalagi permanen--karena "kebenaran" sering
kali tidak lebih dari "produk kekuasaan". Dalam konteks tenurial,
klaim kebenaran pada umumnya hanya melekat atau dilekatkan pada aspek legalitas
dan bukan legitimasi. Rendahnya legitimasi atas penguasaan lahan dalam beberapa
kasus sama sekali tidak berkaitan dengan hadirnya rezim tata batas "de
jure", melainkan sejauh mana tata batas tersebut sesuai dengan pemahaman
dan praktek-praktek penguasaan lahan "de facto" yang berlaku dan
diakui oleh masyarakat di suatu daerah.
Tentu saja
logika ini tidak dapat menjadi pembenar untuk semua kasus perambahan lahan,
terutama untuk perambahan lahan yang kental dengan motif ekonomi. Namun,
terlepas dari apa pun motif perambahan, sesungguhnya negara juga menjadi bagian
dari masalah atau setidaknya menjadi faktor pemicu terjadinya masalah karena
Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara agar mengelola bumi, air, dan kekayaan
alam yang ada di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Faktanya,
penguasaan lahan oleh negara sering kali hanya direfleksikan oleh delineasi
batas di atas peta, namun kehadirannya di tingkat tapak tidak pernah terlihat
apalagi dirasakan. Alih-alih memanfaatkan lahan untuk kesejahteraan masyarakat,
di banyak tempat simbol-simbol kehadiran negara, seperti aparat pengelola atau
sekadar papan nama, sangat sedikit jumlahnya, bahkan sering kali tidak
ditemukan di lapangan. Hal seperti ini jelas mengarah pada situasi "open
access property" yang dapat bermuara pada "tragedy of the
commons" sebagaimana telah diperingatkan Garrett Hardin lebih dari empat
dekade yang lalu.
Diakui atau
tidak, rendahnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan hutan adalah akibat
kebijakan terstruktur dan lekat dengan cengkeraman egoisme sektoral. Kuatnya
egoisme sektoral tidak hanya menyebabkan bias kepentingan dalam kebijakan tata
ruang, tetapi sering kali juga menyandera kepentingan masyarakat luas. Dalam
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional disebutkan bahwa arahan luas kawasan hutan
yang dialokasikan untuk pengusahaan hutan skala kecil hanya 5,57 juta hektare
atau 4,9 persen dari total luas kawasan yang akan dipertahankan sebagai hutan
pada tahun 2030. Lebih menyedihkan lagi, dari alokasi kawasan hutan untuk
pengusahaan hutan skala kecil yang sangat rendah ini pun, realisasinya di
lapangan tersendat-sendat.
Jika dicermati,
beleid "pemutihan" pelepasan kawasan hutan hanya akan efektif
diterapkan pada kasus-kasus tumpang-tindih penggunaan kawasan hutan untuk
perkebunan, pertambangan, atau kepentingan lainnya yang telah mendapatkan izin
kepala daerah di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Sedangkan
kasus-kasus tumpang-tindih perizinan yang berada di dalam "kawasan hutan
tetap" masih menjadi persoalan yang terus mengganjal. Hal ini terjadi
karena peraturan tersebut hanya "memutihkan ketelanjuran" (untuk
tidak menyebut pelanggaran) melalui skema pelepasan kawasan hutan. Beleid ini
menyisakan persoalan mendasar karena hanya pemodal kuat yang dapat mengakses
skema pelepasan kawasan hutan, sementara masyarakat lokal akan tetap menjadi
penonton yang resah di pinggir arena. Semestinya, terobosan peraturan itu juga
menyentuh persoalan yang lebih fundamental, yakni memperluas akses masyarakat
terhadap pemanfaatan hutan. Skema pelepasan kawasan hutan ini, jika terus
berlanjut, akan sangat berisiko terhadap penurunan fungsi hutan sebagai
penyangga kehidupan, karena semakin menciutnya luas kawasan hutan tetap.
Lebih dari
sekadar terobosan kebijakan "pemutihan" pelepasan kawasan hutan,
sebenarnya yang jauh lebih penting adalah mengakomodasi
"ketelanjuran" masyarakat membuka ladang atau kebun di dalam kawasan
hutan sebagai bagian dari kegiatan pemanfaatan hutan. Pengakomodasian
"ladang atau kebun" masyarakat di dalam kawasan hutan sebagai bentuk
kegiatan pemanfaatan hutan sangat dimungkinkan dan semestinya dapat dianggap
sebagai salah satu varian dari konsep agroforestry. Berbeda dengan skema
pemutihan pelepasan kawasan hutan yang cenderung elitis, kebijakan yang
mengakui kebun dan ladang masyarakat di kawasan hutan sebagai bentuk
agroforestry tidak hanya berpotensi menjadi pengungkit ekonomi masyarakat
sekitar hutan, tetapi pada saat yang sama juga diyakini membantu mengatasi
berbagai persoalan tenurial di negeri ini! *
Berbeda dengan skema pemutihan
pelepasan kawasan hutan yang cenderung elitis, kebijakan yang mengakui kebun
dan ladang masyarakat di kawasan hutan sebagai bentuk agroforestry tidak hanya
berpotensi menjadi pengungkit ekonomi masyarakat sekitar hutan, tetapi pada
saat yang sama juga diyakini membantu mengatasi berbagai persoalan tenurial di
negeri ini! ●
Pemanfaatan hutan harus bijaksana sehingga hutan kita bisa terjaga.
BalasHapus