Imperatif Swasembada Beras
Mohammad Jafar Hafsah, Anggota Komisi IV DPR-RI,
Ketua
Badan Pertimbangan Organisasi DPN HKTI
SINDO,
03 November 2012
Beras merupakan komoditas pangan
yang paling vital, digemari dan dikonsumsi oleh seluruh rakyat Indonesia.
Dapat dikatakan bahwa pangannya bangsa Indonesia adalah beras, telah menggeser komoditas-komoditas pangan lain yang sebelumnya merupakan pangan utama masyarakat di berbagai daerah seperti singkong, sagu, jagung,pisang,dan ubi-ubian. Secara global, beras juga memiliki posisi strategis yang tidak kalah vital sebagai bahan pangan, 2/3 penduduk dunia mengonsumsi beras sebagai pangan utama.
Persoalan perberasan hingga saat ini masih merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan. Indonesia tercatat pernah mencapai swasembada pada tahun 1984, 2004, dan 2008 namun jauh lebih panjang lagi daftar tahun Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Di era reformasi, selama 5 tahun berturutturut 1998–2003 Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia, bahkan hingga saat ini peringkat negara pengimpor beras terbesar di dunia hanya silih berganti antara Indonesia dan Filipina.
Persoalan Perberasan
Mengurai persoalan perberasan yang telah terjadi dalam kurun waktu yang panjang, dengan keberagaman perspektif para pengambil kebijakan memandang peran vital dan posisi strategis beras yang mewujud pada kebijakan yang berbedabeda dalam grand strategy pembangunan nasional tentunya menjadi tidak sederhana.Apalagi, beras juga merupakan komoditasyangbernilaipolitik. Berikut beberapa persoalan mendasar perberasan antara lain: Pertama. Politik beras di masa lalu.
Upaya berasisasi yang menempatkan beras sebagai komoditas superior yang dicitrakan sebagai indikator kesejahteraan dan kemajuan telah berimplikasi pada tergusurnya pangan-pangan lokal alternatif seperti jagung, ubiubian, pisang dan sagu yang berakibat pada tingginya laju permintaan dan ketergantungan terhadap beras. Kedua, tingginya konsumsi beras. Orang Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita, Jepang 60 kg per kapita,China 70 kg per kapita,Malaysia 80 kg per kapita,Thailand 90 kg per kapita.
Rata-rata orang Asia mengonsumsi beras 65–70 kg per kapita dan konsumsi beras global tahun 2007 sebanyak 64 kg per kapita. Ketiga, laju konversi areal persawahan yang tinggi.Per tahun lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 100.000 hektare sementara pencetakan areal persawahan baru hanya sebesar 40.000 hektare. Keempat, rendahnya penggunaan teknologi pascapanen yang berakibat pada tingginya tingkat kehilangan (losses) saat panen.
Besarannya mencapai 10,82% atau setara dengan 11 juta ton gabah. Tingkat kehilangan ini mulai dari memanen dengan menggunakan sabit, perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai penggilingan. Kelima, Kerusakan irigasi teknis areal persawahan, mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan tersier.Di era otonomi daerah, laju kerusakan infrastruktur dalam sistem produksi padi semakin tidak terkendali.Hal ini menjadi persoalan sendiri karena daerahdaerah masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat untuk operasional dan maintenance-nya.
Sawah yang semula beririgasi teknis, kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun.Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau,sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering, tidak subur, dan bahkan tidak produktif. Keenam, kegemaran impor beras. Indonesia sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam.
Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah penduduk, kita menjadi importir terbesar dunia,hal ini menjadi rentan karena produksi beras dunia yang diperdagangkan hanya 6–7%.Impor selalu menjadi pilihan dan langkah mudah untuk memenuhi stok pangan nasional, padahal selain ini bisa menjadi bumerang, langkah ini juga menjadi bentuk pengabaian dan disinsentif bagi petani beras dalam negeri.
Mewujudkan Swasembada Beras
Potret persoalan di atas menuntut langkah-langkah ekstra serta komitmen yang kuat dan nyata dari pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras,berupa: Pertama, pencetakan areal persawahan baru.Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014 diperlukan minimal pencetakan areal persawahan baru sebesar 1 juta hektare. Langkah ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang sangat memadai.
Keduasegera merealisasikan food estateyang dimotori langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN terkait. Langkah ini menjadi wujud nyata turun tangannya negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ketiga, mempromosikan dan mengampanyekan diversifikasi pangan. Kegiatan ini mesti dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk iklan-iklan atau programprogram yang komunikatif dibarengi pula inovasi-inovasi dalam memproduksi makanan- makanan alternatif yang berbahan baku komoditas pangan lokal lain.
Keempat,revitalisasi irigasiirigasi teknis serta pembuatan bendungan-bendungan baru. Karena ini belanja modal yang mahal,maka diperlukan sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Selain itu, mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan seperti perkumpulan petani pemakai air (P3A). Kelima, mengefektifkan perlindungan lahan abadi untuk persawahan. Untuk itu diperlukan komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan sekian peraturan perundangan yang telah dimiliki.
Pada tingkat strategis, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Penjabaran UU 41/2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan dibuatnya beberapa peraturan pemerintah (PP), yaitu: PP 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta PP 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Keenam,menekan pembiaran lahan potensial dan pengalihfungsian lahan produktif. Misalnya,merumuskan pajak tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi tanah terlantar yang disengaja, serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk aktivitas industri,perumahan,dan perdagangan. Ketujuh, kebijakan yang berkomitmen kuat untuk zero import. Kebijakan ini akan mendorong optimalisasi dan peningkatan produksi serta mengefektifkan peran Bulog untuk menyerap hasil produksi petani.
Memang sering terjadi polemik antara Bulog dengan Kementerian Pertanian tentang hasil produksi, namun saya kira hakim yang paling objektif adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi kuat adanya kelangkaan barang. Namun, yang terpenting adalah pemerintah harus terus bekerja keras untuk mewujudkan swasembada beras, Bulog pun harus meningkatkan peran dan kinerjanya sebagai lembaga penyangga. Mewujudkan swasembada beras menjadi keharusan karena swasembadalah yang menjadi pilar kedaulatan pangan.
Kedaulatan merupakan substansi dari kemerdekaan, kedaulatan terkandung di dalamnya kemandirian, harga diri, harkat dan martabat bangsa. Kemerdekaan tanpa kedaulatanadalahsemukarena kedaulatanlah yang memaknai kemerdekaan sehingga sebuah bangsa yang merdeka memiliki harga diri serta harkat dan martabat sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Berdaulat berarti tidak tunduk, tergantung, berada dalam protektorat,dan subordinasi bangsa lain.
Berdaulat pangan tidak hanya berarti bahwa setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup,mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat.Tetapi, lebih jauh dari itu berdaulat pangan juga berarti memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup dan kualitas hidup petani pangan sebagai penghasil pangan. ●
Dapat dikatakan bahwa pangannya bangsa Indonesia adalah beras, telah menggeser komoditas-komoditas pangan lain yang sebelumnya merupakan pangan utama masyarakat di berbagai daerah seperti singkong, sagu, jagung,pisang,dan ubi-ubian. Secara global, beras juga memiliki posisi strategis yang tidak kalah vital sebagai bahan pangan, 2/3 penduduk dunia mengonsumsi beras sebagai pangan utama.
Persoalan perberasan hingga saat ini masih merupakan persoalan yang rumit dan belum terselesaikan. Indonesia tercatat pernah mencapai swasembada pada tahun 1984, 2004, dan 2008 namun jauh lebih panjang lagi daftar tahun Indonesia sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia. Di era reformasi, selama 5 tahun berturutturut 1998–2003 Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia, bahkan hingga saat ini peringkat negara pengimpor beras terbesar di dunia hanya silih berganti antara Indonesia dan Filipina.
Persoalan Perberasan
Mengurai persoalan perberasan yang telah terjadi dalam kurun waktu yang panjang, dengan keberagaman perspektif para pengambil kebijakan memandang peran vital dan posisi strategis beras yang mewujud pada kebijakan yang berbedabeda dalam grand strategy pembangunan nasional tentunya menjadi tidak sederhana.Apalagi, beras juga merupakan komoditasyangbernilaipolitik. Berikut beberapa persoalan mendasar perberasan antara lain: Pertama. Politik beras di masa lalu.
Upaya berasisasi yang menempatkan beras sebagai komoditas superior yang dicitrakan sebagai indikator kesejahteraan dan kemajuan telah berimplikasi pada tergusurnya pangan-pangan lokal alternatif seperti jagung, ubiubian, pisang dan sagu yang berakibat pada tingginya laju permintaan dan ketergantungan terhadap beras. Kedua, tingginya konsumsi beras. Orang Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita, Jepang 60 kg per kapita,China 70 kg per kapita,Malaysia 80 kg per kapita,Thailand 90 kg per kapita.
Rata-rata orang Asia mengonsumsi beras 65–70 kg per kapita dan konsumsi beras global tahun 2007 sebanyak 64 kg per kapita. Ketiga, laju konversi areal persawahan yang tinggi.Per tahun lahan sawah yang beralih fungsi mencapai 100.000 hektare sementara pencetakan areal persawahan baru hanya sebesar 40.000 hektare. Keempat, rendahnya penggunaan teknologi pascapanen yang berakibat pada tingginya tingkat kehilangan (losses) saat panen.
Besarannya mencapai 10,82% atau setara dengan 11 juta ton gabah. Tingkat kehilangan ini mulai dari memanen dengan menggunakan sabit, perontokan, pengangkutan, penjemuran, sampai penggilingan. Kelima, Kerusakan irigasi teknis areal persawahan, mencapai hampir 50% baik primer, sekunder dan tersier.Di era otonomi daerah, laju kerusakan infrastruktur dalam sistem produksi padi semakin tidak terkendali.Hal ini menjadi persoalan sendiri karena daerahdaerah masih berharap dan bergantung kepada pemerintah pusat untuk operasional dan maintenance-nya.
Sawah yang semula beririgasi teknis, kini menjadi tadah hujan dan hanya dapat ditanami padi satu kali setahun.Sawah sejenis ini sangat rentan terhadap kekeringan dan musim kemarau,sehingga secara perlahan berubah status menjadi lahan kering, tidak subur, dan bahkan tidak produktif. Keenam, kegemaran impor beras. Indonesia sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam.
Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah penduduk, kita menjadi importir terbesar dunia,hal ini menjadi rentan karena produksi beras dunia yang diperdagangkan hanya 6–7%.Impor selalu menjadi pilihan dan langkah mudah untuk memenuhi stok pangan nasional, padahal selain ini bisa menjadi bumerang, langkah ini juga menjadi bentuk pengabaian dan disinsentif bagi petani beras dalam negeri.
Mewujudkan Swasembada Beras
Potret persoalan di atas menuntut langkah-langkah ekstra serta komitmen yang kuat dan nyata dari pemerintah untuk mewujudkan swasembada beras,berupa: Pertama, pencetakan areal persawahan baru.Untuk dapat mewujudkan surplus 10 juta ton beras mulai 2014 diperlukan minimal pencetakan areal persawahan baru sebesar 1 juta hektare. Langkah ini sangat dimungkinkan mengingat ketersediaan lahan yang sangat memadai.
Keduasegera merealisasikan food estateyang dimotori langsung oleh pemerintah melalui BUMN-BUMN terkait. Langkah ini menjadi wujud nyata turun tangannya negara dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya dan komoditas yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ketiga, mempromosikan dan mengampanyekan diversifikasi pangan. Kegiatan ini mesti dilaksanakan secara masif dan intensif dalam bentuk iklan-iklan atau programprogram yang komunikatif dibarengi pula inovasi-inovasi dalam memproduksi makanan- makanan alternatif yang berbahan baku komoditas pangan lokal lain.
Keempat,revitalisasi irigasiirigasi teknis serta pembuatan bendungan-bendungan baru. Karena ini belanja modal yang mahal,maka diperlukan sinergitas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.Selain itu, mengaktifkan dan mengefektifkan kembali kelembagaan seperti perkumpulan petani pemakai air (P3A). Kelima, mengefektifkan perlindungan lahan abadi untuk persawahan. Untuk itu diperlukan komitmen, keseriusan, dan kemampuan aparat negara dalam melaksanakan sekian peraturan perundangan yang telah dimiliki.
Pada tingkat strategis, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan. Penjabaran UU 41/2009 ini pun sebenarnya sudah sangat komprehensif dengan dibuatnya beberapa peraturan pemerintah (PP), yaitu: PP 1/2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, PP 25/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta PP 30/2012 tentang Pembiayaan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Keenam,menekan pembiaran lahan potensial dan pengalihfungsian lahan produktif. Misalnya,merumuskan pajak tanah progresif, memberikan sanksi tegas bagi tanah terlantar yang disengaja, serta mengembangkan efisiensi atau hemat lahan untuk aktivitas industri,perumahan,dan perdagangan. Ketujuh, kebijakan yang berkomitmen kuat untuk zero import. Kebijakan ini akan mendorong optimalisasi dan peningkatan produksi serta mengefektifkan peran Bulog untuk menyerap hasil produksi petani.
Memang sering terjadi polemik antara Bulog dengan Kementerian Pertanian tentang hasil produksi, namun saya kira hakim yang paling objektif adalah harga. Jika harga beras terlalu tinggi melampaui harga kenaikan yang wajar, merupakan indikasi kuat adanya kelangkaan barang. Namun, yang terpenting adalah pemerintah harus terus bekerja keras untuk mewujudkan swasembada beras, Bulog pun harus meningkatkan peran dan kinerjanya sebagai lembaga penyangga. Mewujudkan swasembada beras menjadi keharusan karena swasembadalah yang menjadi pilar kedaulatan pangan.
Kedaulatan merupakan substansi dari kemerdekaan, kedaulatan terkandung di dalamnya kemandirian, harga diri, harkat dan martabat bangsa. Kemerdekaan tanpa kedaulatanadalahsemukarena kedaulatanlah yang memaknai kemerdekaan sehingga sebuah bangsa yang merdeka memiliki harga diri serta harkat dan martabat sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Berdaulat berarti tidak tunduk, tergantung, berada dalam protektorat,dan subordinasi bangsa lain.
Berdaulat pangan tidak hanya berarti bahwa setiap saat pangan tersedia dalam jumlah yang cukup,mutu yang layak, aman dikonsumsi, dan harga yang terjangkau oleh masyarakat.Tetapi, lebih jauh dari itu berdaulat pangan juga berarti memiliki kemandirian dalam memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri serta meningkatnya taraf hidup dan kualitas hidup petani pangan sebagai penghasil pangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar