Kurban Diganti Uang
Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid
Istiqlal
REPUBLIKA,
02 November 2012
Melihat
fenomena pembagian daging kurban Idul Adha 1433 H ini, banyak orang bertanya
kepada kami, "Bolehkah ibadah kurban diganti dengan uang?" Karena, menurut
mereka, banyak orang fakir miskin yang menerima daging kurban, kemudian mereka
menjualnya dengan harga yang sangat murah.
Bahkan,
banyak di antara mereka yang tidak dapat memasak daging kurban itu karena
mereka tidak memiliki alat memasak, bahkan tidak memiliki rumah.
Apakah tidak lebih bermanfaat apabila uang yang dipakai untuk membeli hewan kurban itu diberikan langsung saja kepada fakir miskin? Pertanyaan seperti ini ternyata sering muncul setiap Hari Raya Idul Adha sejak beberapa tahun yang lalu.
Apakah tidak lebih bermanfaat apabila uang yang dipakai untuk membeli hewan kurban itu diberikan langsung saja kepada fakir miskin? Pertanyaan seperti ini ternyata sering muncul setiap Hari Raya Idul Adha sejak beberapa tahun yang lalu.
Tampaknya, para ulama tidak membicarakan masalah kebolehan mengganti kurban dengan uang karena ibadah kur ban maupun berinfak dengan uang seharga binatang kurban itu hukumnya tidak wajib. Maka, apabila ada orang yang tidak berkurban dan tidak menggantinya dengan ibadah lain, dia tidak berdosa. Yang diperselisihkan oleh para ulama adalah mana yang lebih afdal antara beribadah kurban dan menyembelih binatang ternak serta berinfak atau bersedekah dengan uang seharga binatang yang dikurbankan itu.
Sebagai sebuah ritual ibadah, kurban tentu tidak dapat diganti dengan yang lain karena kurban adalah menyembelih binatang dengan ketentuan khusus. Maka, apabila ada orang yang tidak menyembelih binatang pada Hari Raya Idul Adha dan atau hari-hari tasyrik maka ia berarti tidak berkurban. Berinfak dengan uang seharga binatang kurban itu namanya infak, bukan kurban.
Ternyata,
sejak masa sahabat, para ulama sudah berbeda pendapat mana yang lebih utama
antara beribadah kurban dan menyembelih binatang serta berinfak kepada fakir
miskin seharga binatang yang dikurbankan itu. Di kalangan para sahabat,
ada dua aliran, yaitu aliran tekstual dan aliran kontekstual. Aliran tekstual
adalah memahami teks-teks agama sesuai dengan yang tertulis dalam teks
tersebut, sementara aliran kontekstual adalah memahami agama dengan melihat
kepada makna dan tujuan daripada teks-teks tersebut. Dengan kata lain,
aliran tekstual adalah memahami apa yang tersurat, sementara aliran kontekstual
adalah memahami apa yang tersirat.
Tokoh aliran tekstual di kalangan sahabat Nabi SAW adalah Sayyidina Ab dullah bin Umarra, sementara tokoh aliran kontekstual adalah istri Nabi Muhammad SAW, Ummul Munin Aisyah, dan muazin Nabi, Bilal bin Rabah RA. Abdullah bin Umar selalu melakukan apa yang dilakukan Rasulullah SAW, bahkan apabila Nabi SAW berteduh di bawah pohon atau duduk di atas sebuah batu.
Pengikut aliran tekstual cenderung ingin mengikuti perilaku Rasulullah SAW sesuai apa adanya tanpa mencari maksud dan makna filosofisnya. Sementara, pengikut aliran kontekstual cenderung lebih mengembangkan perintah-perintah agama itu dengan konteks kekinian.
Dalam masalah kurban diganti dengan uang, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughi (XIII/123), meriwayatkan pendapat Ummul Mu\'munin Aisyah yang mengatakan, "Aku lebih senang menyedekahkan cincinku ini daripada menyembelih seribu binatang sebagai hadiah bagi warga Makkah." Sementara, muazin Nabi SAW, Bilal bin Rabah, mengatakan, \"Aku tidak peduli kendati kurbanku hanya seekor ayam jantan karena aku lebih menyukai untuk menginfakkan dana kurban itu kepada anak yatim yang kelaparan daripada menyembelih binatang."
Pendapat Bilal dan Aisyah ini kemudian diikuti oleh ulama dari kalangan Tabiin, al-Sya'bi, dan murid Imam al-Syafi'i, Imam Abu Tsaur. Sementara, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Qudamah dari Mazhab Hanbali lebih suka untuk mengikuti aliran tekstual. Alasannya karena Nabi SAW sendiri dan para khalifah sesudahnya menyembelih binatang kurban.
Kata mereka selanjutnya, "Seandainya bersedekah atau berinfak dengan uang seharga binatang kurban itu lebih utama daripada menyembelih binatang kurban itu sendiri, tentulah Nabi SAW dan para khalifah tidak menyembelih kurban, tetapi berinfak dengan uang tersebut."
Apabila kita melihat keutamaan berkurban dan keutamaan berinfak, misalnya, menanggung anak yatim maka keutamaan menanggung anak yatim jauh lebih unggul daripada keutamaan berkurban. Setahu kami, tidak ada hadis sahih yang menyatakan dengan jelas bahwa orang yang berkurban akan dibalas dengan surga. Memang ada hadis tentang keutamaan berkurban, tetapi tidak menyebutkan secara jelas tentang surga. Sementara, Nabi SAW menyatakan dengan tegas dalam hadis yang sangat sahih bahwa penanggung anak yatim akan tinggal di surga bersama Nabi satu level tidak terpisah.
Karena itu, apabila kita melihat keutamaan seperti itu, pendapat Aisyah dan Bilal layak diunggulkan. Kendati demikian, beribadah dengan menyembelih binatang kurban tidak boleh dihilangkan. Karena, ibadah kurban di samping memiliki aspek sosial, juga memiliki aspek ibadah dan akidah.
Kurban
adalah simbol dari loyalitas mutlak kepada Allah SWT dan pembasmian akidah
jahiliah, di samping sebagai ibadah sosial. Apabila simbol ini dihilangkan maka
makna-makna filosofis yang terkandung dalam ibadah kurban akan ikut
hilang. Karena itu, beribadah dengan menyembelih binatang kurban adalah bagus,
bersedekah dengan uang seharga binatang kurban juga bagus. Namun, yang lebih
bagus adalah menyembelih binatang kurban dan berinfak untuk anak yatim dan
fakir miskin sebagaimana yang dikerjakan oleh Nabi SAW. Wallahu a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar