Kamis, 22 November 2012

Korupsi Hambalang


Korupsi Hambalang
Reza Syawawi ;  Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency
International Indonesia
KOMPAS, 22 November 2012


Laporan pemeriksaan investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, telah dirampungkan.
Dalam laporan tersebut, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 243,66 miliar. Temuan investigatif ini mengonfirmasi sebuah kejahatan korupsi yang dilakukan terstruktur dan sistematis. Penyangkalan yang selama ini dilakukan pihak yang dituding bertanggung jawab terbantah.
Puluhan nama dalam laporan itu diduga ikut bertanggung jawab atas kasus korupsi proyek Hambalang: pejabat setingkat menteri, bupati, birokrasi, hingga pihak swasta atau perusahaan.
Dilacak ke belakang, dugaan korupsi dalam proyek Hambalang adalah efek domino dari pengungkapan korupsi dalam proyek Wisma Atlet. Kedua kasus ini setidaknya memiliki kemiripan karena berada dalam ranah korupsi di sektor pengadaan infrastruktur. Dalam struktur korupsi pengadaan, kelompok bisnis atau korporasi menjadi alat bagi elite politik untuk menjarah uang rakyat. Motif ekonomi dengan memanfaatkan ruang politik tampaknya menjadi strategi jitu para koruptor.
Korupsi dalam proyek-proyek pemerintah sudah mengarah pada kejahatan bisnis yang dilakukan dengan perantara atau wadah bisnis yang legal. Demikian menurut Romly Atmasasmita. Berbagai kejahatan bisnis sebagai dampak dari dinamika ekonomi global yang berkembang pesat mendorong kelompok ini mendesain berbagai kejahatan serupa. Pola korupsi menjadi sangat rapi dan beragam, dimulai dari penyuapan kepada pejabat publik, memperkaya diri sendiri secara tidak sah, hingga praktik pencucian uang.
Hambalang menjadi contoh konkret pola korupsi yang sangat rapi. Indikasi suap dalam memuluskan pengalokasian anggaran untuk proyek ini begitu terbuka lebar. Aliran uang yang diduga kepada beberapa pejabat dan politikus adalah bentuk dari upaya memperkaya diri atau kelompok secara tidak sah. Dampak negatif yang ditimbulkan akibat kejahatan ini bagi perekonomian Indonesia setidaknya berkisar pada dua hal: aspek kerugian keuangan negara dan buruknya infrastruktur publik yang dihasilkan. Kedua dampak ini harus diterjemahkan sebagai kerugian bagi publik karena uang yang dikorupsi adalah hasil pajak publik.
Korupsi ”Berjemaah”
Sebagai kejahatan yang struktural, korupsi di pengadaan sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Tahapan korupsi dilakukan sejak di penganggaran, lelang, hingga pelaksanaan kegiatan pengadaan. Walaupun audit investigasi BPK hanya dilakukan terhadap proyek yang telah berjalan, pola dan tahapan korupsinya mengindikasikan bahwa proyek ini bermasalah sejak di proses penganggaran.
Jamak diketahui bahwa setiap proyek infrastruktur yang dibiayai negara tak pernah luput dari praktik suap menyuap. Munculnya istilah fee atau uang lelah di kalangan DPR memperkuat dugaan: praktik ini terjadi.
Korupsi proyek Hambalang adalah korupsi ”berjemaah”: semua pihak yang disebutkan di dalam audit menjalankan perannya masing-masing. Dimulai dari penyiapan lahan untuk pembangunan, termasuk perizinan, persetujuan teknis pengadaan (lelang dan kontrak tahun jamak), pencairan anggaran, hingga penetapan pemenang lelang yang dilakukan di luar prosedur baku.
Korupsi secara bersama-sama dalam proyek Hambalang menunjukkan tipe korupsi yang terorganisasi. Kelompok penguasa berkolaborasi dengan kepentingan bisnis melakukan kejahatan. Modus kejahatan korupsi semacam ini hanyalah modifikasi dan replikasi atas kejahatan korupsi pada Orde Baru. Dahulu penguasa dan kroninya menggunakan pengaruhnya menjalankan bisnis dan memperoleh keuntungan: semuanya dikendalikan oleh pusat kekuasaan pada saat itu.
Di era pasca-Reformasi, kejahatan tetap dilakukan penguasa dan kelompok bisnisnya. Dengan pola yang agak berbeda, mereka berupaya menyamarkan hubungan antara penguasa dan kelompok bisnis dengan berbagai cara. Namun, ini akan tetap terbukti sebagai sebuah ”perse kongkolan” manakala bukti-bukti dalam proses hukum menerjemahkan bahwa kelompok penguasa dan bisnis saling berkolaborasi.
Ini tentu saja tidak menafikan keberadaan kelompok bisnis yang masih memegang prinsip bisnis yang bersih. Maka, kontribusi kelompok bisnis semacam ini sangat penting tidak hanya demi pengungkapan kasus, tetapi juga mendorong menciptakan proses bisnis yang bersih.
Korupsi Hambalang prototipe kejahatan ”berjemaah”, maka penuntasannya harus secara ”berjemaah”: semua pelaku yang diduga ikut bertanggung jawab patut dimintai tanggung jawab hukumnya, bahkan pejabat setingkat menteri (aktif) sekalipun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar