Ketika Bahasa
Agama Rontok
Ahmad Syafii Maarif ; Pendiri
Maarif Institute
|
KOMPAS,
14 November 2012
Kemenangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja
Purnama dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 tanpa dukungan partai agama mungkin
dapat juga diartikan sebagai semakin rontoknya bahasa agama untuk merebut
simpati pemilih, baik pada putaran pertama maupun putaran kedua.
Apa yang disebut Pawai
Ikada sehari sebelum pemilihan yang diikuti oleh tokoh-tokoh partai pendukung
Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli tidak ada pengaruhnya dalam raihan suara. Namun,
itulah demokrasi dalam masa peralihan yang sedang berada dalam tahap
kritikal. Rakyat Ibu Kota khususnya ingin bukti ketimbang janji sekalipun
pembuktian itu masih harus ditunggu pada waktu-waktu yang akan datang.
Fenomenal
dan Mengejutkan
Kemenangan di atas cukup
fenomenal dan mengejutkan banyak pihak. Saya sendiri tidak terkejut karena
Jakarta telah lama terpasung dalam suasana sumpek —sesak napas dan sunyi dari
kegairahan —yang memang merindukan suasana baru yang lebih segar.
Ada empat masalah utama
penyebab mengapa warga Jakarta sesak napas: macet, banjir, tajamnya
kesenjangan sosial, dan kumuh. Itu sebabnya orang selalu mengenang Ali
Sadikin karena banyak sekali terobosan dan perubahan positif yang telah
dilakukan dengan penuh keberanian sebagai Gubernur DKI selama dua periode
pada tahun 1970-an. Apakah Jokowi akan menjelma menjadi Ali Sadikin kedua,
mari sama-sama kita tunggu kiprah selanjutnya. Jika pasangan tersebut
berhasil, kepercayaan kepada kepemimpinan sipil bisa meningkat.
Karena sudah diatur
sebelumnya, pada hari pemilihan gubernur DKI tersebut saya berkunjung ke
Jakarta untuk menemui Jusuf Kalla (JK) di kediamannya. Kami
berbincang-bincang tentang masalah-masalah bangsa dan negara, sesuatu yang
biasa saya lakukan pada saat-saat tertentu. Tentang Jokowi, sekalipun hanya
disinggung sambil lalu, ternyata JK-lah yang meyakinkan Megawati
Soekarnoputri agar mengusung kader PDI-P itu untuk maju dalam pemilihan
gubernur DKI.
Pertanyaan Mega kepada JK adalah: ”Apakah Pak JK bisa menjamin
Jokowi akan menang?” Dijawab: ”Tidak bisa menjamin, tetapi saya yakin dia
akan menang.” Dengan jawaban ini, maka muluslah jalan bagi Jokowi-Basuki
untuk bertanding dalam pilkada yang mendapat sorotan publik dari dalam dan
dari luar negeri itu.
Pada saat parpol-parpol
Islam sedang banyak disoroti publik karena nyaris kehilangan pamor, beberapa
parpol besar nasional lainnya yang sebenarnya tidak bebas dari aroma korupsi,
toh menurut berbagai survei masih punya pendukung yang signifikan. Inilah di antara
dilema sistem demokrasi Indonesia, yang tingkat peradabannya masih di bawah
standar, karena sebagian besar politisi kita mengidap virus tuna-idealisme.
Namun, kita percaya kondisi pengap semacam itu pasti pada saatnya akan
menemukan jalan keluar untuk perbaikan.
Sulit kita temukan
sekarang politisi yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati tentang
keindonesiaan yang masih labil, dan sangat merindukan munculnya para
negarawan visioner yang mencintai bangsa ini secara tulus dan mendalam.
Transaksi politik untuk menggarong APBN/APBD dan BUMN/BUMD sudah menjadi
perilaku harian sebagian politisi kita. Tak terkecuali mereka yang berasal
dari parpol Islam. Dalam kondisi semacam ini, tuan dan puan tak perlu kaget
mengapa parpol Islam itu semakin tak diminati. Di atas itu semua, belum ada
bayangan dari rahim parpol Islam akan muncul calon negarawan yang memberi
harapan bagi masa depan bangsa ini.
Namun, orang jangan salah
raba bahwa rakyat Indonesia benci agama. Sama sekali tidak. Secara diam-diam,
di kalangan terbatas tengah berjalan proses Islamisasi kualitatif yang
membesarkan hati.
Pengalaman saya baru-baru
ini pada sebuah kampus yang biasa dicap sekuler, justru di sana telah muncul
para doktor dan sarjana yang berhasil menangkap api Islam; ungkapan yang dulu
dipopulerkan Bung Karno. Mereka sangat risau dan geram menyaksikan kultur
kumuh yang terpampang jelas di panggung politik dan ekonomi. Mereka umumnya
belum tentu berasal dari kultur santri, tetapi telah menangkap dengan cerdas
substansi ajaran Islam yang pro-keadilan dan kebersamaan, sesuatu yang langka
terlihat dalam perilaku parpol Islam. Fenomena positif itu dapat ditemukan di
berbagai institusi, kampus, dan pusat-pusat industri.
Demokrasi yang semestinya
bertujuan menyejahterakan rakyat banyak, yang berlaku justru kebalikannya.
Para elite yang menguasai panggung demokrasi pada tingkat sekarang terlihat
lebih terpasung oleh tarikan pragmatisme sesaat. Politik dijadikan lahan
pengais rezeki. Alangkah hinanya! Namun, itulah fakta keras yang sedang berlaku.
Bahasa agama yang sering
digunakan parpol Islam seperti telah kehabisan tenaga untuk meyakinkan rakyat
agar tetap mendukung partai itu. Akan halnya sekitar 49 persen rakyat
Indonesia, jika parameter penghasilan 2 dollar AS per hari per kepala digunakan
yang masih berada dalam kategori miskin, tidak dapat perhatian para politisi.
Dengan demikian, tak kurang 120 juta dari hampir 250 juta total rakyat
Indonesia masih miskin. Angka 49 persen ini saya dapatkan dari HS Dillon,
Staf Khusus Presiden untuk Pengentasan Kemiskinan, pada 16 Oktober 2012.
Keberagamaan
yang Otentik
Dalam bacaan saya, hampir
tidak ada parpol mana pun yang secara sungguh- sungguh mencari solusi untuk
menghalau kemiskinan. Semestinya parpol Islam memahami Islam adalah agama
pro-orang miskin, tetapi pada waktu yang sama anti-kemiskinan. Sekiranya
mereka memahami doktrin ini dan berupaya untuk mewujudkannya dengan penuh
kesungguhan dan ketulusan, maka ada harapan bahasa agama akan berwibawa
kembali dan parpol Islam itu tidak perlu bernasib seperti sekarang ini.
Pendekatan spiritual
inilah yang sepi dari kiprah mereka. Godaan kekuasaan dan kesenangan duniawi
telah menutup mata batin mereka untuk beragama secara otentik. Akhirnya,
siapa tahu Jokowi-Basuki yang tak mahir memakai bahasa agama—tetapi langsung
melaksanakan pesan inti agama untuk membela mereka yang telantar dan
tergusur—akan jadi fenomena baru perpolitikan Indonesia. Selamat bertugas
Bung Jokowi-Bung Basuki. Harapan rakyat kepada Anda berdua sangatlah besar.
Jangan kecewakan mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar