Fenomena
Dahlan Iskan
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Universitas
Padjadjaran (Unpad)
|
SINDO,
15 November 2012
Berita media mengenai Dahlan Iskan yang memiliki bukti pemerasan
oleh beberapa anggota DPR RI terhadap direksi BUMN meledak bak petir
menyambar para wakil rakyat di Senayan.
Keberanian seorang Dahlan Iskan menyebarluaskan info kepada media patut diacungi jempol akan tetapi secara hukum diperlukan bukti yang cukup untuk dapat menjerat pemerasnya. Langkah Dahlan Iskan yang telah berani menyatakan di muka publik layak disebut fenomena Dahlan Iskan yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat setingkat menteri pada kabinet sebelumnya. Keberanian Dahlan Iskan tampaknya didukung oleh Menteri Sekkab Dipo Alam karena kemudian muncul kembali pernyataan Menseskab tentang staf khusus Menteri yang berasal dari partai telah memarkup anggaran kementerian/ lembaga (K/L). Fenomena pejabat K/L memberikan kritik kepada anggota DPR RI yang diduga selaku “penggerus APBN” juga sebaliknya kritik anggota DPR kepada pejabat pemerintah dan pejabat tinggi LN merupakan fenomena baru di era kabinet SBY periode II. Hal ini dapat dipandang sebagai tanda kebangkitan reformasi birokrasi dalam pemberantasan KKN. Namun, perlu juga direnungkan mengenai cara dan gaya penyampaian masalah ini ke muka publik dengan menyebut, sekalipun inisial seseorang tanpa ada bukti cukup di tangan? Fenomena Dahlan Iskan merupakan pertanda bahwa ada keresahan pejabat eksekutif oleh perilaku oknum anggota legislatif. Namun, kegelisahan itu juga tidak berdiri sendiri karena praktik memberikan suap kepada anggota legislatif telah berlangsung lama demi memperoleh proyek dengan nilai signifikan yang dikehendaki pejabat eksekutif yang bersangkutan. Intinya, fenomena Dahlan Iskan memiliki dua sisi yang berhubungan satu sama lain, penyuapan dan pemerasan. Sekalipun menyangkut subjek hukum yang sama tetap secara hukum,kedua jenis perbuatan tersebut berbeda signifikan. Pemerasan dalam jabatan diatur Pasal 12 huruf 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sedangkan penyuapan diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 11 UU yang sama, namun kedua jenis perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana korupsi. Perbedaan kedua adalah ancaman hukuman bagi penyuapan lebih rendah daripada pemerasan yaitu tindak pidana pertama ancaman minimum satu tahun dan maksimum lima tahun. Sedangkan,tindak pidana pemerasan ancaman minimum empat tahun dan ancaman maksimum dua puluh tahun atau pidana penjara seumur hidup. Pernyataan Dahlan Iskan kepada media jelas merupakan pernyataan yang berdampak hukum serius bagi mereka yang disebutkan dan dilaporkan kepada BK DPR RI. Oleh karena itu, penyelidikan tuntas oleh bukan saja BK DPR RI tetapi oleh KPK in pro prio motu mutlak dilakukan tanpa kecuali. Jika laporan Dahlan Iskan dibiarkan dan tidak ada tindak lanjut baik dari BK DPR RI atau KPK maka kedua lembaga tersebut dapat digolongkan kepada perbuatan membiarkan (delik omisi) dan jauh dari komitmen reformasi yang bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Sebaliknya bagi mereka yang disebutkan nama atau inisialnya oleh Dahan, Iskan wajib diberlakukan asas praduga tak bersalah sampai kemudian terbukti di pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum. Sebaiknya mereka menahan diri sampai terbukti sebaliknya dari apa yang dituduhkan oleh Dahlan Iskan dan direksi BUMN Konflik kelembagaan dalam sistem pemerintahan SBY periode Kedua sungguh sangat kontra-produktif terhadap sistem demokrasi yang maju. Karena sebebas apapun hak yang dimiliki oleh setiap orang apalagi seorang pejabat eksekutif, legislatif atau yudikatif, tentu ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang membatasinya; tiada hak tanpa kewajiban sebagaimana telah diamanatkan oleh Pasal 28 J UUD 1945. Selain dari rambu-rambu hukum tersebut juga di dalam sistem pemerintahan di negara maju sekalipun masih dianut walau tidak secara tertulis apa yang dinamakan etika kelembagaan. Di balik hak dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, khusus antara sesama lembaga negara, kode etik dimaksud masih tetap diperlukan. Sehingga komitmen pemerintah untuk memberantas KKN di dalam institusi negara tidak tercemarkan oleh perilaku individu anggota K/L yang secara terbuka membuka aib kepada masyarakat luas karena akan berujung pada kontraproduktif daripada efisiensi dan efektivitas pencegahan dan pemberantasan KKN. Hal ini telah diperingatkan oleh John Braithwaite, yang mengemukakan konsep “shaming” (perasaan malu) di Indonesia dapat berkembang menjadi suatu yang positif artinya menumbuhkan solidaritas yang baik untuk mencegah perbuatan buruk selanjutnya (reintegrative shaming) atau dapat berkembang menjadi negatif artinya menimbulkan disintegrasi dalam masyarakat karena telah “dipermalukan” (disintegrative shaming). Tampaknya pola penyebarluasan “aib” kepada publik tanpa ada bukti yang cukup kuat sebagai dasar dugaan di Indonesia kini cenderung menghasilkan akibat yang kedua. Akibat kedua ini dalam kondisi situasi Indonesia masa kini jika tidak cepat diselesaikan oleh lembaga penegak hukum maka akan menimbulkan skeptisisime dan sinisme masyarakat luas yang berujung pada kondisi dan situasi chaos di mana masyarakat tidak akan percaya lagi pada lembaga dimaksud. Titik kulminasi dari kondisi situasi ini yang terburuk adalah memunculkan anarki sosial dan politis yang tidak membangun kehidupan bermartabat. Sebaliknya bentuk vonis “kematian perdata” tanpa pengadilan yang jujur dan adil merupakan bentuk pelanggaran hak asasi setiap orang yang dituduh telah melakukan suatu kejahatan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar