Selasa, 16 Oktober 2012

Tembok Biru yang Diam


Tembok Biru yang Diam
Eddy OS Hiariej ;  Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
KOMPAS, 16 Oktober 2012



Tembok biru yang diam adalah terjemahan dari the blue of silence. Inilah salah satu kultur polisi yang berlaku universal untuk tidak melaporkan tindakan buruk teman sejawat petugas polisi.

Dalam beberapa literatur, kultur itu sering pula ditulis sebagai the blue wall (tembok biru), the blue curtain (gorden biru), atau the code of silence (kode diam) yang disingkat ”kode”.

Larry E Sullivan dan Marie Simonetti Rosen dalam Encyclopedia of Law Enforcement menulis bahwa the blue of silence menggambarkan adanya larangan tidak resmi dalam kultur polisi untuk tidak melaporkan tindakan buruk sesama polisi.

Tindakan buruk tersebut bisa beraneka. Mulai dari tindakan asusila sampai pada tindakan pelanggaran hukum, termasuk kejahatan. Pada awalnya, the blue of silence hanya berlaku bagi tindakan buruk yang relatif ringan, tetapi dalam perkembangannya the blue of silence juga berlaku bahkan bagi tindak kejahatan serius. Hal ini kebanyakan untuk melindungi tindakan buruk atasan atau seniornya, meski pada hakikatnya konsep the blue of silence adalah untuk melindungi nama baik korps kepolisian.

Terjadi di Indonesia

Diakui atau tidak, kultur the blue of silence juga diikuti Kepolisian Negara RI. Hanya saja, tindakan buruk anggota Polri yang ditutupi tidak semata-mata untuk melindungi nama baik korps kepolisian, bahkan lebih dari itu: tindakan buruk dijadikan kartu truf mana kala anggota Polri yang dilindungi tindakan buruknya membangkang terhadap institusi Polri.

Masih segar dalam ingatan kita kasus yang menimpa Komisaris Jenderal Susno Duadji yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. Susno didudukkan di kursi pesakitan sebagai terdakwa dan akhirnya divonis bersalah oleh pengadilan karena terbukti melakukan korupsi saat menjabat sebagai Kepala Polda Jawa Barat.

Kasus Susno dibongkar ketika yang bersangkutan menabrak the blue of silence dengan membuka bobrok teman-teman sejawatnya yang terlibat dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan.

Kejadian yang menimpa Susno membuktikan sistem penilaian terhadap kinerja dan konduite di tubuh Polri tidak berjalan baik. Susno yang terlibat kasus korupsi masa lalu justru dipromosikan menduduki jabatan prestisius sebagai Kabareskrim Polri, kecuali jika kasus korupsi itu sekadar rekayasa.

Kalau Susno yang jenderal bintang tiga saja dapat dipenjarakan dengan kasus masa lampau gara-gara menabrak the blue of silence, bagaimana nasib Novel Baswedan yang hanya berpangkat Komisaris?

Mengundang Pertanyaan

Secara hukum, sah-sah saja jika dugaan tindak pidana yang dilakukan Komisaris Novel delapan tahun lalu baru dibuka saat ini, selama belum melewati daluwarsa penuntutan. Daluwarsa pasal yang disangkakan adalah dua belas tahun. Namun, masyarakat akan bertanya jika ada indikasi tindak pidana, mengapa tidak diselesaikan saat itu?

Hal itu membenarkan rumor yang beredar di masyarakat bahwa kasus Novel dibuka karena yang bersangkutan melawan kultur the blue of silence. Pertama, Novel termasuk tim investigasi kasus korupsi pengadaan simulator yang menodai institusi Polri sehingga Novel dianggap tidak melindungi korpsnya.

Kedua, kasus korupsi pengadaan simulator yang ditangani melibatkan seniornya: para petinggi Polri. Kembali pada the blue of silence, menurut Sullivan dan Rosen, hal ini hanya bisa diminimalisasi dengan lima langkah.

Pertama, harus ada kebijakan yang secara afirmasi mewajibkan semua polisi mengarahkan pelaporan tindakan buruk teman sejawat petugas polisi kapan pun dan di mana pun.

Kedua, memberikan hadiah petugas yang melaporkan tindakan buruk teman sejawatnya.

Ketiga, kesatuan harus merahasiakan identitas pelapor teman sejawat.
Keempat, kesatuan harus membuat investigasi terhadap si pelanggar dan jika ada kesalahan, pelanggar harus dipecat.

Kelima, kesatuan harus melemahkan the blue of silence dengan mengurangi solidaritas pertemanan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar