Tantangan
Pencapresan Aburizal Bakrie
Eko Harry Susanto ; Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Tarumanagara,
Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) |
SUARA
KARYA, 23 Oktober 2012
Penetapan Ketua Umum
Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai calon presiden Republik Indonesia dari
Partai Golkar di Sentul Jawa Barat beberapa waktu yang lalu, masih tetap
menarik perhatian berbagai pihak yang menghubungkan dengan tingkat
elektabilitasnya di masyarakat.
Hasil survei Soegeng
Sarjadi Syndicate di 33 Provinsi, 163 Kabupaten atau Kota, menunjukkan
popularitas Aburizal Bakrie atau Ical hanya 10,6 persen, masih dibawah M
Jusuf Kalla yang memperoleh 14,9 persen, Megawati Soekarnoputri 22,4 persen
dan Prabawo Subianto yang popularitasnya mencapai 25,8 persen.
Data tersebut dapat
diartikan, bahwa Partai Beringin harus bekerja kerasa untuk mengangkat
popularitas Aburizal Bakrie atau dipopulerkan dengan singkatan ARB, sebagai
figur untuk meraih kemenangan dalam kontestasi politik nasional. Karena itu,
jalan paling rasional, selain meningkatkan citra partai politik, Partai
Golkar harus "segera" melakukan koalisi dengan partai politik lain
diluar koalisi Poros Cikeas yang sedang berjalan dalam rangka menguasai pemerintahan
pada tahun 2014.
Dalam perspektif
komunikasi organisasi, koalisi partai politik yang dilakukan sejak dini untuk
memenangkan pemilihan umum, dapat membentuk komunikasi "semua
saluran" yang menghubungkan antara satu parpol dengan parpol lain. Namun,
untuk menciptakan komunikasi semua saluran sebagai energi utama dalam
menjalankan roda koalisi politik, harus dilalui "tiga tahap"
sebelumnya, yang membutuhkan jangka waktu interaksi memadai.
Tahap pertama, adalah
koalisi yang baru dibentuk akan diwarnai oleh komunikasi tidak terarah dan
konflik, sebab setiap parpol anggota koalisi memiliki arah strategi
perjuangan berbeda.
Tahap kedua, ditandai
dengan pengkubuan dan konflik, yang berdampak pada pembentukan faksi di tubuh
koalisi. Sedangkan tahap ketiga, adalah koalisi mulai memiliki "satu
titik" rujukan untuk menjalankan program kerjasama parpol atau dikenal
pula sebagai "tahap penormaan" dalam interaksi dan komunikasi
pembentukan kelompok koalisi.
Jika tiga tahapan itu
sudah dilewati ARB dan Partai Golkar, maka koalisi partai politik dalam
koridor komunikasi semua saluran dapat berjalan efektif. Dengan demikian,
kalau mereka berhasil memenangkan Pemilihan Presiden pada tahun 2014, dapat
segera menyusun kabinet maupun organ kekuasaan lain yang berperan dalam
pemerintahan.
Pengalaman politik di
Indonesia menunjukkan, koalisi instan yang dibangun terburu-buru atau sesaat
menjelang pemilihan Presiden 2009, berimplikasi buruk terhadap jalannya
pemerintahan. Terjadinya bongkar pasang menteri, yang dinilai tidak sesuai
dengan pakta integritas jabatan dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid-2
(KIB-2), jelas menunjukkan semakin rentannya ikatan koalisi dalam
pemerintahan SBY-Budiono.
Survei integritas yang
dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir tahun lalu, sehaluan
dengan kondisi faktual di tubuh KIB-2, bahwa integritas menteri dari partai
politik rendah. Fakta lain juga menunjukkan gejala sama, SBY menghimbau para
menteri kader parpol yang tidak sanggup membagi energinya dengan tugas
pemerintahan untuk mengundurkan diri secara baik-baik dari KIB-2.
Mencermati gambaran
buram koalisi instan, secara substantifdapat dikatakan bahwa hingga dua tahun
menjelang berakhirnya pemerintahan SBY-Budiono, aliansi parpol poros Cikeas
belum beranjak dari karakter "tahap awal" pembentukan koalisi yang
diwarnai oleh perbedaan orientasi kepentingan. Menteri dari partai politik
juga menempatkan Presiden bukan sebagai poros komunikasi dan informasi utama
dalam kasus tertentu, karena pertimbangan strategi politik untuk menjaga
reputasi di lingkaran kekuasaan.
Berpijak kepada fakta
rapuhnya koalisi instan dan proses panjang membangun koalisi yang kuat, maka
yang menjadi tantangan dan menjadi pertanyaan adalah, mampukah ARB dan Partai
Golkar mempertahankan koalisi yang dibentuk sejak dini sampai berakhirnya
pemilihan Presiden tahun 2004? Sebab, dalam belenggu budaya politik
paternalistik yang memuja kekuasaan, partai politik di Indonesia lebih
menyukai "koalisi kilat" dalam kurun waktu yang singkat sebelum
pemungutan suara.
Alhasil, koalisi
dengan parpol yang sudah dibangun sejak dini oleh Aburizal Bakrie dan Partai
Golkar menjadi tidak berfaedah, karena ditinggal partai-partai yang tergiur
untuk bergabung dengan "koalisi lain" yang lebih menjanjikan untuk
memperoleh posisi di pemerintahan.
Oleh sebab itu,
tantangan utama ARB atau Partai Golkar ke depan dalam upaya menuju istana
adalah, bagaimana membangun kerjasama dengan partai politik yang memiliki
loyalitas dalam bingkai "kebersamaan."
Terkait hal itu,
bagaimana partai koalisi itu kemudian bersedia untuk memposisikan Aburizal
Bakrie sebagai poros komunikasi di tengah gejolak politik nasional yang
semakin memanas menuju 2014.
Jelas hal itu bukan
pekerjaan mudah. Tetapi itulah pekerjaan rumah calon presiden dari Partai
Golkar, ARB untuk maju memenangkan pemilu pada 2014. Tentu, tidak mudah
tetapi sekali lagi, perhitungan harus dibuat sejak dini oleh terutama Partai
Golkar yang akan menjadi pemimpin dalam membentuk koalisi mengusung ARB maju
dalam pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar