Senin, 15 Oktober 2012

Tak Ada yang Benar di Mata Orang Lain


Tak Ada yang Benar di Mata Orang Lain
James Luhulima ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 13 Oktober 2012



Meruncingnya perseteruan antara Kepolisian Negara RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi menyusul kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri membuat masyarakat mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan.

Perseteruan tersebut memuncak, Jumat, 5 Oktober 2012, sewaktu sejumlah perwira polisi mendatangi KPK untuk menangkap Komisaris Novel Baswedan, penyidik utama kasus dugaan korupsi simulator mengemudi di Korlantas Polri.

Upaya penjemputan paksa itu dianggap merupakan tindak lanjut dari keputusan Polri untuk menarik 20 penyidik polisi di KPK, yang dinilai sebagai upaya Polri melemahkan KPK. Upaya itu ditolak oleh KPK dengan alasan kehadiran para penyidik polisi masih diperlukan.

Sebelumnya, DPR juga dianggap ingin melemahkan KPK dengan upaya Komisi III DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya merevisi UU tersebut dikhawatirkan bakal memereteli kewenangan KPK.

Kedatangan sejumlah perwira polisi ke KPK itu langsung direspons oleh masyarakat dan tokoh masyarakat yang berbondong-bondong mendatangi gedung KPK untuk menunjukkan dukungan mereka. Mereka membentuk pagar betis.

Polri berargumen bahwa upaya menangkap Novel Baswedan itu tidak ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri, tetapi terkait dengan kejahatan yang dilakukannya pada masa lalu. Namun, masyarakat tidak percaya dengan argumen tersebut.

Perseteruan antara Polri dan KPK semakin panas setelah aksi yang dilakukan Polri pada Jumat malam. Masyarakat mendesak Presiden Yudhoyono segera turun tangan. Desakan kepada Presiden itu disuarakan lewat berbagai platform, mulai dari media online, televisi, radio, surat kabar, dan terutama media sosial, seperti Twitter dan Facebook.

Namun, seperti biasa, Presiden memerlukan waktu untuk mengambil sikap. Diinformasikan, Presiden akan mengadakan jumpa pers, Senin, 8 Oktober 2012. Namun, melihat pengalaman yang sudah-sudah, banyak yang meragukan Presiden akan mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan perseteruan antara Polri dan KPK.

Memihak KPK

Ternyata keraguan itu tidak berdasar. Senin malam, di Istana Negara, Presiden dengan tegas memerintahkan Polri menyerahkan sepenuhnya penanganan kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korlantas Polri kepada KPK. Perintah Presiden tersebut memutus polemik dualisme penanganan kasus Korlantas Polri tersebut oleh KPK dan Polri yang mengemuka sejak pertengahan Agustus lalu.

Perintah itu dikeluarkan setelah Presiden bertemu pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Senin siang. Hadir dalam pertemuan tertutup di Istana Negara, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana.

Perintah agar penanganan hukum dugaan korupsi simulator berkendara yang melibatkan Irjen Djoko Susilo diserahkan kepada KPK itu merupakan sikap pertama dari lima sikap Presiden.

Kedua, keinginan Polri untuk melaksanakan proses hukum Novel Baswedan tidak tepat, baik dari segi timing maupun cara penanganannya. Ketiga, perselisihan menyangkut waktu penugasan penyidik Polri yang bertugas di KPK diatur kembali dan dituangkan dalam peraturan pemerintah.

Keempat, Revisi UU KPK sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK sebenarnya dimungkinkan, tetapi kurang tepat dilakukan saat ini. Lebih baik sekarang ini meningkatkan sinergi dan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. 

Kelima, KPK dan Polri dapat memperbarui nota kesepahaman (MOU)-nya. Kemudian MOU ini dipatuhi dan dijalankan serta terus meningkatkan sinergi dan koordinasi sehingga peristiwa seperti ini tidak terus terulang pada masa depan.

Tidak heran jika keesokan harinya, jumpa pers Presiden Yudhoyono menjadi berita utama di sebagian besar surat kabar. Pujian pun dilayangkan kepada Presiden. Namun, seperti biasa jika ada yang memuji, ada pula yang mengkritik. Kritik yang dilontarkan adalah sikap Presiden sangat terlambat. Jika sikap itu diambil lebih awal, perseteruan antara Polri dan KPK tidak akan terjadi. Namun, Presiden tidak perlu kecil hati menanggapi kritik-kritik seperti itu.

Hal itu mengingatkan kita pada sebuah kisah agama tentang seorang bapak, anak, dan seekor keledai. Bapak itu mengajak anaknya pergi menjual keledai ke pasar. Berjalanlah bapak, anak, dan keledai ke pasar. Di tengah perjalanan, seseorang menegur mereka, aneh, kenapa keledai itu tidak dinaiki. Si bapak berpikir, benar juga, maka ia menyuruh anaknya naik ke punggung keledai.

Bertemulah mereka dengan orang kedua. Dasar anak tak tahu diuntung, kok bapaknya yang sudah tua disuruh jalan, sementara ia yang masih muda duduk santai di punggung keledai. Si bapak lalu bertukar posisi dengan anaknya.

Bertemulah mereka dengan orang ketiga. Bapak ini bagaimana sih, kok anaknya yang masih kecil disuruh jalan, sementara bapak yang lebih kuat duduk enak-enak di punggung keledai.

Akhirnya, si bapak mengajak anaknya untuk duduk bersama di punggung keledai dan merasa inilah jalan keluar yang terbaik. Tiba-tiba mereka bertemu orang keempat yang menegur si bapak dengan keras. Bagaimana sih, kan, kasihan keledai itu dinaiki dua orang. Si bapak bingung karena apa pun yang dilakukannya tidak ada yang benar di mata orang lain.

Itulah sebabnya, harus dihargai bahwa pada akhirnya Presiden mengambil sikap tegas. Kita berharap ke depan Presiden akan lebih sering melakukan hal seperti itu. Tantangannya, bagaimana agar sikap yang diambil Presiden sungguh-sungguh dapat dilaksanakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar