Selasa, 23 Oktober 2012

Pemupuk Nasionalisme


Pemupuk Nasionalisme
Daoed Joesoef ;  Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
KOMPAS, 23 Oktober 2012



Di samping ”penumbuh”, ada ”pemupuk” nasionalisme kita, misalnya ”pembangunan”. Ia adalah sebutan lain dari perdamaian, yang merupakan lanjutan dari perang (revolusi) dengan cara lain.

Yang kita perangi bukan lagi penjajah, melainkan semua keburukan yang ditinggalkannya: keterasingan antarsuku, kesalahpahaman antarbudaya lokal, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan rakyat di aneka bidang kehidupan.

Selama perang revolusi Bung Karno selalu berteriak, ”Kemerdekaan adalah jembatan emas!” Maksudnya, ia merupakan kesempatan luar biasa bagi kita mewujudkan sendiri semua aspirasi revolusi kemerdekaan. Dia ciptakan lembaga pemerintah yang khusus ditugaskan untuk melaksanakan pembangunan, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, Pak Harto mereduksinya menjadi pembangunan ekonomi dan para teknokrat yang dia percaya kian memperparah keadaan dengan mendasarkan pembangunan itu hanya pada penalaran ekonomika.

Bung Hatta ternyata lebih memahami ekonomi. Selama perang kemerdekaan, dia selalu berseru, ”Kita ingin membantu suatu dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia tahu persis bahwa kata ”bahagia” tidak ada dalam kamus ekonomika. Ilmu sosial yang satu ini bukan mengutamakan human, tetapi things.

Rezim reformasi yang semula mengecam gaya pembangunan teknokratis rezim Orba malah kini meneruskannya dengan cara lebih buruk. Tanda keberhasilan yang dipakai tetap berupa patokan IMF, Bank Dunia, yaitu pendapatan nasional. Yang terus ditonjolkan adalah kenaikan GNP. Angka ini memang serupa suatu kepastian, exactness, tetapi apakah ia memberikan kebenaran? Ternyata tidak.

Hal ini dipaparkan oleh tulisan kritis dari beberapa intelektual-akademisi kita yang pernah dimuat di rubrik Opini Kompas. Pembangunan ekonomi yang sama sekali bukan berupa lanjutan yang wajar dan konstitusional dari aspirasi revolusi tidak memupuk nasionalisme, menimbulkan ketakpuasan suku di luar Jawa, mengabaikan natur Indonesia sebagai negara maritim begitu rupa hingga beberapa daerah bagian Timur berkeinginan keluar dari NKRI.

Ruang Sosial

Senyampang belum terlambat, marilah kita pikirkan suatu konsep alternatif pembangunan nasional. Yang pernah saya usulkan adalah pembangunan dalam term ruang sosial. Ini adalah suatu pendekatan di mana bersinergi tuntutan politik, penalaran ekonomi, kehendak demokrasi, desentralisasi, dan partisipasi langsung rakyat (Kompas, 30/4/2012).

Pembangunan ekonomi sekarang me- ngedepankan kekayaan ekonomi di mana manusia hidup bukan meng-kaya-kan manusia. Anomali yang diakibatkannya berupa individualisme dari para warga, suku, dan kedaerahan. Sementara pembangunan, sama dengan sejarah, tidak terdiri atas kejadian yang terisolasi dan tidak dibuat oleh orang yang terisolasi.

By nature warga negara sama; melalui kegiatan (kerja), mereka jadi terpisah. Pembangunan seharusnya bisa mendekatkan mereka (nasionalisme) di mana aku adalah kita, setiap persona merupakan jamak dari persona-persona, sesuatu yang kolektif, Gemeinschaft, seperti yang tecermin dalam Pasal 33 UUD 1945.

”England win the war at the yard of Eaton”, demikian bunyi ungkapan filosof Ortega y Gesset yang pernah bergema di UNESCO, lembaga PBB yang khusus menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Perang Dunia I dan II bukan dimulai oleh Inggris, melainkan bangsa ini selalu menyelesaikan dengan kemenangan. Namun, patriotisme, keperwiraan, dan nasionalisme yang menjadi upaya kemenangan itu sudah dipupuk sejak di sekolah menengah (Eaton), bukan baru dimulai di Akademi Militer (Sandhurst).

Pendidikan

Pendidikan juga terbukti menjadi pemupuk nasionalisme Indonesia. Kita adalah satu-satunya bangsa di dunia yang sudah mendirikan sekolah nasional ketika masih dijajah. Bahkan, pembelajaran di situ terang-terangan menyiapkan anak- anak daerah menjadi pejuang tangguh ke- merdekaan nasional, pembebasan Indonesia.

Willem Iskandar sekitar tahun 1870 mendirikan sekolah guru di desa Tano Bato, Tapanuli Selatan. Jauh sebelum Kartini lahir, dia sudah berusaha mengangkat derajat kaum perempuan di kampung halamannya, di lingkungan komunitas patriarkat, dengan mendesak setiap keluarga supaya menyekolahkan juga anak gadisnya. Di antara alumni sekolah ini ada yang menjadi guru perempuan pertama di Aceh. Dia menyusun kamus bahasa Batak dan Belanda. Renungan paedagogis yang dia bukukan berjudul Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk disita Belanda karena dianggap mengandung ajaran nasionalisme.

Lalu ada Muhammad Syafei yang mendirikan Indonesiasche Nationale School pada 1926 di Kayutanam, Sumatera Barat. Di sini murid-murid dididik bisa hidup mandiri dengan aneka keterampilan dan bersikap nonkoperatif terhadap Belanda.

Tokoh ini lalu mendorong alumni sekolah nasionalnya menyebar ke daerah- daerah, terutama di luar Jawa, mendirikan cabang Taman Siswa demi memupuk nasionalisme di samping pembelajaran pengetahuan umum dan bahasa asing seperti yang lazim diberikan di sekolah Belanda. Jadi bermutu sama secara intelektual, berbeda besar dalam sentimen kebangsaan.

Ketiga tokoh pendidikan nasional itu tergolong pendiri negara-bangsa kita. Mereka berani mendirikan sekolah nasional di kampung halaman masing-masing sekembali dari menempuh pendidikan di negeri Belanda. Mereka rupanya mula-mula berusaha mengenal diri dengan menatap cermin orang (bangsa) lain. Namun, dengan menyusup ke bangsa lain sebagai orang lain, selaku warga asing, mereka menemukan jati diri sendiri dan sebagai kelompok, kepribadian nasional.

Pengenalan dengan ide khas pemikir Jerman—Hegel, Fitche, Schiller, Goethe— mengenai kebudayaan, menyadarkan mereka tentang perspektif zaman baru yang sedang menyingsing. Ide ini disebut Bildung, yaitu pembentukan intelektual, estetik dan moral manusia, dan kemerdekaan bangsa melalui kebebasan human. Proses pendidikan membimbing manusia berkembang, bukan sebagai makhluk yang terisolasi, tetapi subyek yang sadar, terkait dengan dunia melalui tri-hubungan fundamental yang menyatukannya dengan alam, pihak lain, dan ketuhanan.

Zaman Baru

Zaman baru itu mereka wujudkan melalui penyelenggaraan pendidikan nasional, menandingi persekolahan kolonial. Kalau persekolahan mengurus keseluruhan dari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan anak didik, pendidikan menangani perkembangan dari keseluruhan pribadi anak didik dan memupuk a sense of mission, ketika itu berupa nasionalisme.

Walaupun ada perbedaan dalam gaya dan cara bekerja masing-masing, mereka sama-sama menanggapi pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan, sistem nilai yang dihayati sebab yang universal bukanlah natur human kita, tetapi kemampuan kita, manusia, untuk menciptakan realitas kebudayaan dan lalu berperilaku dalam term itu.

Sistem pendidikan nasional pada era pra-kemerdekaan itu terbukti berhasil berfungsi sebagai pemupuk nasionalisme Indonesia. Bagaimana dengan sekarang, di zaman pascareformasi ini? Pokoknya ”lain” dengan yang tempo doeloe. Hasilnya? Kacau, tambal-sulam di sana-sini.

Mula-mula kebudayaan dikeluarkan dari ranah pendidikan (era Gus Dur) untuk dikelompokkan ke pariwisata. Kemudian dikembalikan ke pendidikan (era SBY) tanpa dibarengi dengan ide Bildung yang selama ini mengilhaminya. Lalu, pemerintah dengan bangga mendirikan sekolah bertaraf internasional yang berbahasa pengantar Inggris. Ini melecehkan bahasa Indonesia mengingat ia sudah berkembang menjadi suatu bahasa modern, yaitu berkemampuan membahas hal-hal yang abstrak: ide-ide filosofis, ilmiah, transendental.

Kebijakan tersebut pasti mengkhianati Sumpah Pemuda berhubung bahasa adalah ekspresi den kinerja kultural human yang terpenting dari komunitas manusia. Bahasalah, apalagi bila sudah bersifat nasional, yang melambangkan konsensus yang mendasari suatu komunitas, dan selaku alat komunikasi mengondisikan kehidupan bersama.

Kalau sistem pendidikan kacau, anak didik tentu menjadi bingung. Dalam konteks ini dapat kita telusuri akar masalah tawuran pelajar. Dulu untuk pendidikan budi pekerti kewargaan, di samping pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah, ada gerakan kepanduan, yang kini diganti oleh organisasi kepramukaan. Kalau sekarang, selaku pramuka, anak tegak menyanyikan ”Indonesia Raya”, dia tidak merasa tergugah memupuk nasionalisme ketika menyerukan, ”Indonesia tanah-airku... di sanalah aku beridiri menjadi pandu ibuku...” Pandu itu makhluk lain, bukan dia sendiri.

Anak sekarang rata-rata berupa makhluk dunia maya. Dengan komputer dia berkelana dari situs ke situs. Dia berkonsultasi pada surel. Apa wilayahnya? Menurut dia, dunia! Di mana dia mengakar? Internet! Sebutan Indonesia, buat dia, hanya berarti kemenangan bulu tangkis, sepak bola, sarang koruptor, kumpulan politikus munafik!

Setelah mencermati diskusi ”Managing the nation”, nalar dan rasa saya bertanya which nation are they talking about? Kayak bukan tentang Indonesia yang diaspirasikan oleh revolusi kemerdekaan, tetapi mengenai bangsa X yang mau disempurnakan menjadi bangsa antah-berantah.

Wahai, ki sanak! Ke teluk sudah, ke tanjung sudah, memasang taut yang belum lagi. Berusaha sudah, berkeringat sudah; konsep nan tepat masih dinanti!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar