Pemupuk
Nasionalisme
Daoed Joesoef ; Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
23 Oktober 2012
Di samping ”penumbuh”, ada ”pemupuk”
nasionalisme kita, misalnya ”pembangunan”. Ia adalah sebutan lain dari
perdamaian, yang merupakan lanjutan dari perang (revolusi) dengan cara lain.
Yang kita perangi bukan lagi penjajah,
melainkan semua keburukan yang ditinggalkannya: keterasingan antarsuku,
kesalahpahaman antarbudaya lokal, kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan
rakyat di aneka bidang kehidupan.
Selama perang revolusi Bung Karno selalu
berteriak, ”Kemerdekaan adalah jembatan emas!” Maksudnya, ia merupakan
kesempatan luar biasa bagi kita mewujudkan sendiri semua aspirasi revolusi
kemerdekaan. Dia ciptakan lembaga pemerintah yang khusus ditugaskan untuk
melaksanakan pembangunan, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas). Namun, Pak Harto mereduksinya menjadi pembangunan ekonomi dan
para teknokrat yang dia percaya kian memperparah keadaan dengan mendasarkan
pembangunan itu hanya pada penalaran ekonomika.
Bung Hatta ternyata lebih memahami ekonomi.
Selama perang kemerdekaan, dia selalu berseru, ”Kita ingin membantu suatu
dunia di mana setiap orang seharusnya bahagia.” Dia tahu persis bahwa kata
”bahagia” tidak ada dalam kamus ekonomika. Ilmu sosial yang satu ini bukan
mengutamakan human, tetapi things.
Rezim reformasi yang semula mengecam gaya
pembangunan teknokratis rezim Orba malah kini meneruskannya dengan cara lebih
buruk. Tanda keberhasilan yang dipakai tetap berupa patokan IMF, Bank Dunia,
yaitu pendapatan nasional. Yang terus ditonjolkan adalah kenaikan GNP. Angka
ini memang serupa suatu kepastian, exactness, tetapi apakah ia memberikan
kebenaran? Ternyata tidak.
Hal ini dipaparkan oleh tulisan kritis dari
beberapa intelektual-akademisi kita yang pernah dimuat di rubrik Opini Kompas.
Pembangunan ekonomi yang sama sekali bukan berupa lanjutan yang wajar dan
konstitusional dari aspirasi revolusi tidak memupuk nasionalisme, menimbulkan
ketakpuasan suku di luar Jawa, mengabaikan natur Indonesia sebagai negara
maritim begitu rupa hingga beberapa daerah bagian Timur berkeinginan keluar
dari NKRI.
Ruang
Sosial
Senyampang belum terlambat, marilah kita
pikirkan suatu konsep alternatif pembangunan nasional. Yang pernah saya
usulkan adalah pembangunan dalam term ruang sosial. Ini adalah suatu
pendekatan di mana bersinergi tuntutan politik, penalaran ekonomi, kehendak
demokrasi, desentralisasi, dan partisipasi langsung rakyat (Kompas,
30/4/2012).
Pembangunan ekonomi sekarang me-
ngedepankan kekayaan ekonomi di mana manusia hidup bukan meng-kaya-kan
manusia. Anomali yang diakibatkannya berupa individualisme dari para warga,
suku, dan kedaerahan. Sementara pembangunan, sama dengan sejarah, tidak
terdiri atas kejadian yang terisolasi dan tidak dibuat oleh orang yang
terisolasi.
By nature warga negara sama; melalui
kegiatan (kerja), mereka jadi terpisah. Pembangunan seharusnya bisa mendekatkan
mereka (nasionalisme) di mana aku adalah kita, setiap persona merupakan jamak
dari persona-persona, sesuatu yang kolektif, Gemeinschaft, seperti yang
tecermin dalam Pasal 33 UUD 1945.
”England win the war at the yard of Eaton”,
demikian bunyi ungkapan filosof Ortega y Gesset yang pernah bergema di
UNESCO, lembaga PBB yang khusus menangani urusan pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan. Perang Dunia I dan II bukan dimulai oleh Inggris,
melainkan bangsa ini selalu menyelesaikan dengan kemenangan. Namun,
patriotisme, keperwiraan, dan nasionalisme yang menjadi upaya kemenangan itu
sudah dipupuk sejak di sekolah menengah (Eaton), bukan baru dimulai di
Akademi Militer (Sandhurst).
Pendidikan
Pendidikan juga terbukti menjadi pemupuk
nasionalisme Indonesia. Kita adalah satu-satunya bangsa di dunia yang sudah
mendirikan sekolah nasional ketika masih dijajah. Bahkan, pembelajaran di situ
terang-terangan menyiapkan anak- anak daerah menjadi pejuang tangguh ke-
merdekaan nasional, pembebasan Indonesia.
Willem Iskandar sekitar tahun 1870
mendirikan sekolah guru di desa Tano Bato, Tapanuli Selatan. Jauh sebelum
Kartini lahir, dia sudah berusaha mengangkat derajat kaum perempuan di
kampung halamannya, di lingkungan komunitas patriarkat, dengan mendesak
setiap keluarga supaya menyekolahkan juga anak gadisnya. Di antara alumni
sekolah ini ada yang menjadi guru perempuan pertama di Aceh. Dia menyusun
kamus bahasa Batak dan Belanda. Renungan paedagogis yang dia bukukan berjudul
Sibulus-bulus Sirumbuk-rumbuk disita Belanda karena dianggap mengandung
ajaran nasionalisme.
Lalu ada Muhammad Syafei yang mendirikan
Indonesiasche Nationale School pada 1926 di Kayutanam, Sumatera Barat. Di
sini murid-murid dididik bisa hidup mandiri dengan aneka keterampilan dan
bersikap nonkoperatif terhadap Belanda.
Tokoh ini lalu mendorong alumni sekolah
nasionalnya menyebar ke daerah- daerah, terutama di luar Jawa, mendirikan
cabang Taman Siswa demi memupuk nasionalisme di samping pembelajaran
pengetahuan umum dan bahasa asing seperti yang lazim diberikan di sekolah
Belanda. Jadi bermutu sama secara intelektual, berbeda besar dalam sentimen
kebangsaan.
Ketiga tokoh pendidikan nasional itu
tergolong pendiri negara-bangsa kita. Mereka berani mendirikan sekolah
nasional di kampung halaman masing-masing sekembali dari menempuh pendidikan
di negeri Belanda. Mereka rupanya mula-mula berusaha mengenal diri dengan
menatap cermin orang (bangsa) lain. Namun, dengan menyusup ke bangsa lain
sebagai orang lain, selaku warga asing, mereka menemukan jati diri sendiri
dan sebagai kelompok, kepribadian nasional.
Pengenalan dengan ide khas pemikir
Jerman—Hegel, Fitche, Schiller, Goethe— mengenai kebudayaan, menyadarkan
mereka tentang perspektif zaman baru yang sedang menyingsing. Ide ini disebut
Bildung, yaitu pembentukan intelektual, estetik dan moral manusia, dan
kemerdekaan bangsa melalui kebebasan human. Proses pendidikan membimbing
manusia berkembang, bukan sebagai makhluk yang terisolasi, tetapi subyek yang
sadar, terkait dengan dunia melalui tri-hubungan fundamental yang
menyatukannya dengan alam, pihak lain, dan ketuhanan.
Zaman
Baru
Zaman baru itu mereka wujudkan melalui
penyelenggaraan pendidikan nasional, menandingi persekolahan kolonial. Kalau
persekolahan mengurus keseluruhan dari pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan anak didik, pendidikan menangani perkembangan dari keseluruhan
pribadi anak didik dan memupuk a sense of mission, ketika itu berupa
nasionalisme.
Walaupun ada perbedaan dalam gaya dan cara
bekerja masing-masing, mereka sama-sama menanggapi pendidikan sebagai bagian
dari kebudayaan, sistem nilai yang dihayati sebab yang universal bukanlah
natur human kita, tetapi kemampuan kita, manusia, untuk menciptakan realitas
kebudayaan dan lalu berperilaku dalam term itu.
Sistem pendidikan nasional pada era
pra-kemerdekaan itu terbukti berhasil berfungsi sebagai pemupuk nasionalisme
Indonesia. Bagaimana dengan sekarang, di zaman pascareformasi ini? Pokoknya
”lain” dengan yang tempo doeloe. Hasilnya? Kacau, tambal-sulam di sana-sini.
Mula-mula kebudayaan dikeluarkan dari ranah
pendidikan (era Gus Dur) untuk dikelompokkan ke pariwisata. Kemudian
dikembalikan ke pendidikan (era SBY) tanpa dibarengi dengan ide Bildung yang
selama ini mengilhaminya. Lalu, pemerintah dengan bangga mendirikan sekolah
bertaraf internasional yang berbahasa pengantar Inggris. Ini melecehkan
bahasa Indonesia mengingat ia sudah berkembang menjadi suatu bahasa modern,
yaitu berkemampuan membahas hal-hal yang abstrak: ide-ide filosofis, ilmiah,
transendental.
Kebijakan tersebut pasti mengkhianati
Sumpah Pemuda berhubung bahasa adalah ekspresi den kinerja kultural human
yang terpenting dari komunitas manusia. Bahasalah, apalagi bila sudah
bersifat nasional, yang melambangkan konsensus yang mendasari suatu
komunitas, dan selaku alat komunikasi mengondisikan kehidupan bersama.
Kalau sistem pendidikan kacau, anak didik
tentu menjadi bingung. Dalam konteks ini dapat kita telusuri akar masalah
tawuran pelajar. Dulu untuk pendidikan budi pekerti kewargaan, di samping
pendidikan keluarga dan pendidikan sekolah, ada gerakan kepanduan, yang kini
diganti oleh organisasi kepramukaan. Kalau sekarang, selaku pramuka, anak
tegak menyanyikan ”Indonesia Raya”, dia tidak merasa tergugah memupuk
nasionalisme ketika menyerukan, ”Indonesia tanah-airku... di sanalah aku
beridiri menjadi pandu ibuku...” Pandu itu makhluk lain, bukan dia sendiri.
Anak sekarang rata-rata berupa makhluk
dunia maya. Dengan komputer dia berkelana dari situs ke situs. Dia
berkonsultasi pada surel. Apa wilayahnya? Menurut dia, dunia! Di mana dia
mengakar? Internet! Sebutan Indonesia, buat dia, hanya berarti kemenangan
bulu tangkis, sepak bola, sarang koruptor, kumpulan politikus munafik!
Setelah mencermati diskusi ”Managing the nation”, nalar dan rasa
saya bertanya which nation are they
talking about? Kayak bukan tentang Indonesia yang diaspirasikan oleh revolusi
kemerdekaan, tetapi mengenai bangsa X yang mau disempurnakan menjadi bangsa
antah-berantah.
Wahai,
ki sanak!
Ke teluk sudah, ke tanjung sudah, memasang taut yang belum lagi. Berusaha
sudah, berkeringat sudah; konsep nan tepat masih dinanti! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar