Sabtu, 20 Oktober 2012

Otoda Asimetris untuk Madura



Otoda Asimetris untuk Madura
M Mas’ud Said ; Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah, Dewan Pakar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Guru Besar FISIP UMM
JAWA POS, 20 Oktober 2012
 

TIGA tahun belakangan ini, setelah Madura memiliki Jembatan Suramadu yang sekarang menjadi ikon Provinsi Jatim, tindak lanjut untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Pulau Garam ini tidak surut dipikirkan. Walau Jembatan Suramadu telah menjadi ikon pembangunan di Jatim, banyak warga di Pulau Madura hidup dalam keadaan kurang beruntung. Setidaknya mereka tinggal di desa-desa di empat kabupaten yang masih menjadi kantong kemiskinan di Jatim.

Dalam sidang kabinet terbatas di Istana Negara yang dipimpin oleh Presiden SBY awal September lalu, muncul usul pemikiran bahwa Pulau Madura akan ditangani secara khusus atau asimetris. Cetak biru pembangunan Pulau Madura hingga 2025 sudah disiapkan oleh Pemprov Jatim.

Memang UUD 1945 meletakkan heterogenitas daerah sebagai sebuah keniscayaan. Pemikiran untuk memperluas dan mempercepat kesejahteraan Pulau Garam ini ditopang oleh kenyataan sosiologis masyarakat Madura lebih banyak memilih bekerja di luar Madura dengan menyerbu kawasan tapal kuda Jatim.

Selain itu, secara geografis, dengan mempercepat pembangunan Madura dan mengarahkan pusat pembangunan ke utara, setidaknya dalam waktu sepuluh tahun ke depan kepadatan Kota Surabaya akan bisa diurai.

Pembangunan rumah sakit tingkat provinsi, universitas negeri dan swasta, kantor-kantor strategis pemerintahan, serta penentuan kawasan perdagangan dan industri besar, misalnya, bisa lebih diarahkan dan ditata di luar Surabaya yang sudah penuh sesak. Khusus rumah sakit rujukan, Pemprov Jatim berkepentingan untuk segera membangun karena minimnya fasilitas pengobatan bagi masyarakat Madura, kecuali dua rumah sakit yang ada sekarang di Sumenep dan Pamekasan.

Percepatan dan perluasan pembangunan Pulau Madura secara khusus memang masih rencana. Namun, apabila pemerintah nanti menyetujui usul tersebut, bisa dikatakan itu adalah pengembangan pola baru sebagai otonomi daerah asimetris. Kata asimetris merujuk kepada keadaan yang tidak seragam, tidak uniform, atau tidak mengikuti pola biasanya. Asimetris adalah lawan linieritas. Dia tidak mengikuti pola umum.

Bukan Daerah Istimewa Madura

Masalahnya, bagaimana nanti cara membiayai percepatan pembangunan Madura?. Bagaimana kalau daerah lain mengikuti secara membabi buta? Perlukah Daerah Istimewa Madura?

Dalam diskusi terbatas tim asistensi menteri keuangan bidang desentralisasi fiskal dengan Kantor Staf khusus Presiden Bidang Pembangunan dan Otonomi Daerah baru-baru ini, terungkap bahwa menurut skema keuangan negara, segala pembiayaan khusus yang tidak mengikuti sistem yang telah ditentukan akan membebani keuangan negara. Oleh karena itu, hal tersebut sebisa-bisanya harus dicegah.

Dengan menjadikan sebuah daerah sebagai kawasan khusus, itu memang harus ada skema pembiayaan tersendiri pula. Otonomi daerah asimetris tersebut tidak mengandung makna bahwa daerah lainnya tidak dipentingkan. Skema pembiayaan dana alokasi khusus (DAK) pada dasarnya adalah semua daerah memiliki kekhususan. Otonomi asimetris tidak boleh merongrong keseimbangan keuangan APBN.

Dalam konteks pembiayaannya, sesungguhnya asimetris bukan prioritas pembangunan nasional. Demikian juga, kebutuhan pembangunan kawasan khusus juga sebagian dibiayai melalui dana dana APBN dan sebagian lainnya dari APBD provinsi yang bersangkutan atau bahkan melibatkan swasta.

Kalau kita ambil Daerah Istimewa Jogjakarta sebagai contoh yang terbaru, kita bisa meniru pembangunan DIJ juga dibiayai dana APBN sebagaimana provinsi lainnya. APBD juga menganggarkan biaya rutin dan biaya pembangunan seperti biasa. Pemerintahan juga berjalan sebagaimana biasa plus keistimewaan yang dijamin undang-undang. Implikasi dari keistimewaan itu adalah terdapatnya dana keistimewaan yang tidak terlalu mengganggu neraca APBN.

Sesungguhnya selalu ada keunikan dalam setiap provinsi. Namun, tidak semua keistimewaan provinsi harus diatur. Itulah esensi desentralisasi asimetris itu, memberikan ruang kekhusus, tapi tidak perlu otonomi khusus seperti Papua dan Aceh dan DIJ. Demikian juga, Madura dan daerah daerah lainnya yang memiliki karakeristik tertentu, skema yang diusulkan pastilah bukan Daerah Istimewa Madura karena itu akan menjadi bumerang bagi Jatim dan Indonesia.

Dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah sebagaimana diatur dalam sistem pemerintahan kita, kawasan khusus adalah bagian integral dan tetap melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh pemerintah pusat. Kawasan khusus harus ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam hal pertanahan misalnya, ruas dan bagian tertentu diatur secara asimetris, namun ia juga harus mempertimbangkan UU Pertanahan. Pemerintah pusat dan provinsi berhak membuat standar pemanfaatan dan perlindungan wilayah tertentu untuk tujuan konservasi.

Dalam tahun-tahun mendatang, saya yakin bahwa rezim otonomi daerah (otoda) kita akan berubah. Sekarang terjadi pergeseran pemikiran tentang otonomi di Indonesia. Sebagaimana pengamat dan akademisi luar negeri sering menyimpulkan akan sangat sulit bagi Indonesia untuk maju berkembang demokrasinya tanpa mau memberikan apresiasi bagi aspirasi yang berbeda di negara sangat bineka ini.

Berbeda dengan paradigma otonomi khusus yang memasukkan unsur integrasi dan bahan peredam bagi gerakan separatis yang benuansa politis. Dalam paradigma asimetris disusun atas kajian menyeluruh dalam perspektif pembangunan, kebudayaan dan kekhususan kewilayahan, bukan melulu aspek politis.

Teorinya, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada daerah untuk mengaspirasi potensi alamiah dan sumberdaya lainnya, akan terdapat keleluasaan bagi mereka meningkatkan dan mempertinggi kesejahteraan rakyat.

Hingga 2012 ini, di Indonesia terdapat 13 provinsi yang memilki daerah kawasan pengembangan ekonomi terpadu (kapet), tidak termasuk Jatim. Mungkin dengan mempelajari kondisi geografis dan sulitnya mencari solusi Madura, Gubernur Jatim Soekarwo sedang mengusulkan kepada pemerintah pusat agar provinsi dengan 38 kabupaten dan kota ini segera memiliki kawasan khusus dengan memilih Madura sebagai kapet-nya Jatim.

Pada saatnya nanti, sistem asimetris ini bisa juga diberlakukan dalam bentuk kawasan khusus ekonomi dan perdagangan kepada daerah lain agar sistem otoda selalu segar, dinamis, dan tidak macet. Jadi, otoda asimetris untuk Madura. Mengapa tidak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar