Rabu, 03 Oktober 2012

Nahas Laut di Negara Maritim


Nahas Laut di Negara Maritim
Oki Lukito  ;  Ketua Forum Masyarakat Kelautan dan Perikanan,
Pengurus Dewan Kelautan Jawa Timur 
JAWA POS, 03 Oktober 2012


HANYA dalam waktu tiga hari di akhir Sptember 2012, tiga peristiwa nahas terjadi di laut. Pertama, kapal feri KMP Bahuga Jaya yang mengangkut lebih dari 200 penumpang di perairan Selat Sunda Rabu (26/9/2012) bertabrakan dengan kapal tanker asal Singapura, MT Norgas Cathinka, yang memuat 3.045 metrik ton gas berbahaya propylene. Peristiwa tersebut sedikitnya menewaskan tujuh orang penumpang Bahuga Jaya. 

Dua hari kemudian, tepatnya 28 September2012, sebuah kapal baru milik Bronville Weroh yang memuat 50 orang penumpang tenggelam dalam pelayaran perdana di perairan Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dua orang dinyatakan meninggal, sementara seorang penumpang lain hilang. 

Peristiwa lain yang membuat kita mengelus dada adalah terbakarnya kapal cepat rudal (KCR) KRI Klewang milik TNI-AL seharga Rp 114 miliar yang baru diluncurkan pada 31 Agustus 2012 dari galangan kapal PT Lundin Industrty Invest, Banyuwangi. Tidak ada satu pun barang dari kapal yang sedang dalam perawatan di dermaga Pangkalan TNI-AL Banyuwangi itu dapat diselamatkan.

Tiga peristiwa yang mengenaskan itu menambah panjang jumlah musibah di laut yang jika dicermati hampir setiap bulan terjadi sepanjang tahun. Rentetan peristiwa ini membuktikan bahwa pemerintah tidak berusaha secara konkret menata sistem transportasi laut nasional yang sistematis, efektif, efisien, dan aman. Dampaknya adalah musibah di laut terus berulang. Selama ini, transportasi laut kerap terabaikan di tengah penduduk kepulauan yang masih mengandalkan transportasi laut.

Kelalaian 

Dalam peristiwa kecelakaan laut pada umumnya bisa dipastikan bahwa semua pihak, yakni otoritas pelabuhan, operator kapal, penumpang, dan petugas, lalai mematuhi aturan. Kapal sering mengangkut penumpang melebihi kapasitas. Petugas meloloskan kendaraan atau penumpang yang membawa barang mudah terbakar atau meledak. Petugas juga terlalu percaya pada surat pernyataan pengemudi kendaraan tentang barang yang diangkut, tanpa melakukan pengecekan fisik di lapangan.

Jika dicermati, pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir kurang mendapat perhatian dan selalu diposisikan sebagai pinggiran dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 70 persen wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar. Ternyata, kita memang tidak memiliki keberpihakan politik maupun ekonomi dalam pembangunan kelautan (ocean development) sehingga sampai saat ini bidang kelautan tersebut tetap saja terpinggirkan.

Sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang sangat luas, Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang mengatur penggunaan laut. Undang-Undang (UU) No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang disempurnakan dengan UU No 17 Tahun 2008. Undang-undang tersebut digunakan untuk mengontrol dan mengawasi semua jenis kegiatan di perairan Indonesia.

Dalam ketentuan umum UU Pelayaran disebutkan bahwa pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim. Kegiatan pelayaran pada umumnya adalah mengangkut barang atau penumpang dari satu lokasi ke lokasi lain atau dari pelabuhan ke pelabuhan lain, keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim dari pencemaran bahan-bahan pencemar yang berasal dari kapal. Kegiatan itulah yang diatur dalam UU Pelayaran.

Peraturan atau undang-undang untuk kegiatan lain seperti perikanan, pariwisata, pertambangan migas di lepas pantai semua mengacu pada UU Pelayaran. Padahal, jenis kegiatan yang dilakukan sangat berbeda dengan kapal-kapal berlayar antar pelabuhan mengangkut barang atau penumpang. 

Ocean Policy 

Secara historis, ocean policy sudah dirintis sejak 13 Desember 1957 melalui Deklarasi Djuanda yang saat itu mengubah visi hukum laut internasional. Setelah Deklarasi Juanda inilah, muncul beberapa kebijakan dan peraturan berkaitan dengan kelautan yang mengukuhkan yurisdiksi perairan Indonesia. Antara lain, UU No 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia, Konvensi Hukum Laut 1982 (UU No 17 Tahun 1985) sebagai pengganti UU No 4/1960, Undang-Undang No 45 Tahun 2005 tentang Perikanan. Akan tetapi, sampai saat ini, kebijakan pemerintah tentang kelautan belum muncul sebagai sebuah kebijakan politik dan ekonomi yang signifikan dalam pembangunan bangsa secara nasional sebagai negara bahari. 

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 dan IMO (International Maritime Organization) Conventions telah mengakui Indonesia secara internasional sebagai negara kepulauan. IMO Conventions yang sudah diratifikasi oleh Indonesia sebagai standar kelaiklautan kapal melakukan persaingan dapat digunakan sebagai dasar untuk membuat peraturan menjaga keselamatan, keamanan, dan perlindungan lingkungan pelayaran. Namun, sangat disayangkan sampai sekarang pemerintah belum serius menggunakan kemudahan yang telah disepakati bersama oleh negara-negara anggota IMO tersebut. 

Jika hal itu dapat dituntaskan, gagasan tentang ocean policy dalam pembangunan ekonomi nasional menjadi sebuah pilihan politik yang harus dilakukan pemerintah dan semua komponen bangsa. Kiprahnya sesuai dengan blue print mencapai "revolusi biru" yang tidak terlepas dalam kesatuan darat dan laut serta tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ocean policy inilah, yang akan menjadi payung politik kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan bidang kelautan sebagai arus utama pembangunan ekonomi. Tanpa hal itu, visi pembangunan kelautan tidak akan menjadi visi bersama bangsa.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar