Selasa, 16 Oktober 2012

Mewujudkan Swasembada Pangan


Mewujudkan Swasembada Pangan
Rahmat Pramulya ;  Dosen dan Peneliti di Fakultas Pertanian
Universitas Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat
SUARA KARYA, 16 Oktober 2012
 
Pahit getir dan haru pilu masih dirasakan petani sebagai 'pahlawan pangan'. Ragam persoalan masih saja membelitnya. Pupuk yang mahal dan sulit didapat, terjebak pengijon, gagal panen, kekeringan, irigasi buruk, banjir yang merusak lahan pertanian, hasil panen yang selalu habis untuk menutup hutang karena biaya tanam tinggi, hingga biaya tanam yang terus naik. Sementara kenaikan harga komoditas di pasaran lebih banyak dinikmati pengusaha dan pedagang. Sebanyak 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar.
Tak heran jika pertanian dipandang sebagai mata pencaharian yang tidak menjanjikan. Saat ini pertanian didominasi oleh kelompok umur usia lanjut di atas 45 tahun. Sedangkan untuk kelompok umur sedang dan muda tak banyak yang sudi menjadi petani. Seiring berjalannya waktu, kelompok usia dewasa seharusnya digantikan oleh kelompok usia muda. Namun, fakta menunjukkan, terjadi penurunan kelompok usia muda, yang mengakibatkan rendahnya penerusan petani dan pertanian.
Padahal, krisis pangan kini mendera. Bukan lagi lokal melainkan global. Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk meyakinkan kita semua, terutama kaum muda bahwa pertanian adalah sektor yang menjanjikan?
Jawabannya, tak lain adalah dengan menarik pertanian ke ranah bisnis. Pertanian yang dikerjakan semata-mata sebagai aktivitas bercocok tanam an sich jelas tidak menjanjikan, apalagi di tengah keterbatasan kepemilikan lahan. Akan tetapi, dengan membawa pertanian ke dalam dunia bisnis, maka akan banyak keuntungan yang didapat. Selama ini, dalam berbagai program aksi, agribisnis tampaknya hanya diperhatikan setengah hati oleh pemerintah.
Secara gamblang, agribisnis adalah keseluruhan kegiatan produksi, prosesing/pengolahan, dan distribusi/pemasaran komoditas pertanian. Sementara pengertian pertanian dalam arti luas adalah seluruh mata rantai proses pemanenan energi surya secara langsung dan tidak langsung untuk kehidupan manusia yang mencakup aspek ilmu pengetahuan, teknologi dan kemasyarakatan dan mencakup bidang tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan. Jadi, pertanian adalah salah satu bagian dari agribisnis.
Pembangunan agribisnis sendiri merupakan pembangunan industri dan pertanian serta jasa sekaligus. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bahwa perkembangan pertanian, industri dan jasa saling terlepas dari pembangunan industri dan jasa. Ini menyebabkan hal-hal yang merugikan, di antaranya industri pengolahan (agroindustri) berkembang di Indonesia, tetapi bahan bakunya dari impor.
Di pihak lain, peningkatan produksi pertanian tidak diikuti oleh perkembangan industri pengolahan. Peningkatan produksi minyak sawit tidak diikuti perkembangan industri pengolahan lebih lanjut sehingga Indonesia hanya mengekspor bahan mentah berupa CPO. Ironisnya, produk turunan (olahan) dari CPO seperti detergen, shampoo dan lain-lain menjadi impor Indonesia.
Selanjutnya perkembangan industri mesin dan peralatan tidak match dengan kebutuhan pertanian. Akibatnya, traktor untuk mengolah lahan, hammer mill, feedmill untuk membuat pakan ternak, mesin pengering gabah, dan lainnya yang dibutuhkan pertanian tidak tersedia. Industri perbenihan/pembibitan pun kurang berkembang. Padahal industri perbenihan/pembibitan merupakan cetak biru (blue print) pertanian.
Selama ini membangun pertanian adalah pembangunan yang terlepas dengan pembangunan industri dan jasanya yang justru merugikan pertanian itu sendiri. Sebaliknya, pembangunan agribisnis berarti membangun pertanian, industri dan jasa secara simultan dan harmonis.
Membangun pertanian saja akan tetap menempatkan perekonomian nasional pada perekonomian yang berbasis pertanian. Yakni, digerakkan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (natural resources and unskill based), di mana produk yang dihasilkan tetap bentuk primer. Dengan kata lain, membangun pertanian saja hanya menempatkan perekonomian Indonesia terlena menikmati keunggulan komparatif (comparative advantage) semata.
Sedangkan pembangunan agribisnis akan membangun keunggulan bersaing di atas keunggulan komparatif yakni melalui transformasi pembangunan yang digerakkan oleh inovasi (innovation driven). Membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan pertanian, industri, dan jasa, dan tidak membiarkannya saling terlepas. Membangun agribisnis berarti juga membangun ekonomi rakyat, membangun ekonomi daerah, membangun usaha kecil-menengah dan koperasi, serta membangun dayasaing perekonomian.
Meski dalam perkembangannya, aspek agribisnis ini mulai diintegrasikan dalam kelembagaan terkait pertanian yakni dengan ditautkannya Direktorat Pengolahan Hasil dan Pemasaran di Kementerian Pertanian RI, namun spirit agribisnis ini belum merasuk dalam jiwa petani-petani di Indonesia. Nyatanya, petani tetap saja tak bergerak dari aktivitas on farm semata. Padahal nilai tambah pertanian banyak ditawarkan di aspek off farm. Selama ini petani miskin dari edukasi soal bisnis pertanian.
Tidak tampak upaya yang serius dari pemerintah untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan petani agar mereka mau dan mampu mengejar nilai tambah luar biasa dari pertanian off farm. Jika demikian bagaimana bisa berharap kenaikan kesejahteraan petani? Dan, bagaimana bisa mendongkrak produksi pangan dan bercita-cita swasembada?
Memperingati Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober ini pemerintah ditantang komitmennya untuk menyelamatkan pangan masyarakat. Kita perlu blueprint kebijakan pangan yang jelas. Revitalisasi pertanian yang telah dicanangkan mestinya mampu mendorong komitmen pemerintah untuk mewujudkannya agar kita bisa berdaulat atas pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar