Selasa, 02 Oktober 2012

Merujuk Fatwa MA Kaltim


Merujuk Fatwa MA Kaltim
Samsul Wahidin ;  Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unmer Malang
JAWA POS, 02 Oktober 2012


SENGKETA Polri versus KPK dalam penanganan kasus simulator SIM belum berakhir. Masih berkutat pada penyidikan. Ketika Serikat Pengacara Rakyat (SPR) pada Agustus lalu mengajukan uji materi terhadap pasal 50 ayat (3) UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hakim MK menasihati bahwa kewenangan pada pasal itu sudah jelas, tidak perlu penafsiran.

Kewenangan penyidikan ada di KPK. Namun, ''nasihat'' tersebut tidak berbentuk putusan MK. Masalahnya, para penggugat tidak berhasil menunjukkan legal standing, kerugian apa yang diderita yang membuat mereka menggugat.

Mengulur Waktu

Penasihat hukum tersangka Irjen Pol Djoko Susilo kemudian melakukan manuver baru, mengajukan fatwa ke MA tentang siapa yang berwenang menangani kasus tersebut. Kendati, permintaan itu bakal ditolak MA karena pemohon fatwa adalah lembaga negara, bukan perorangan (Jawa Pos, 1/10).

Kartu truf untuk membuka kedok bahwa penasihat hukum hanya mengulur waktu adalah fatwa MA No 037/KMA/I/2007. Fatwa itu diminta ketua DPRD Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, tentang penanganan sengketa. Yakni, sengketa antara PT Terminalindo Idaman Permai (TIP) dan bupati setempat. Pada butir 3 surat MA tersebut dinyatakan bahwa fatwa (pendapat hukum) hanya diberikan kepada lembaga negara. Surat itu ditembuskan kepada ketua DPR dan ketua Komisi III DPR. Artinya, klausul tersebut bersifat terbuka dan mengikat siapa saja yang ingin meminta fatwa MA.

Kendati disampaikan kepada ketua DPRD di daerah terpencil, Fatwa MA No 037/2007 tersebut memastikan lingkup fatwa. Tentu, hal itu sudah diketahui bahkan dipahami dengan baik oleh penasihat hukum. Mereka tahu tapi tidak mau tahu atau berpura-pura tidak tahu.

Yang pasti, upaya menolak pemeriksaan oleh KPK tersebut merupakan bentuk sikap tersangka, kalau boleh direpresentasikan sebagai sikap Polri, yang tidak mau menerima. Mereka tak rela ada perkara besar yang menimpa pembesarnya untuk diperiksa lembaga eksternal, dalam hal ini KPK. Di sini juga akan ada seribu satu alasan, mulai yang normatif sampai yang praktis pragmatis. Polri bersikeras bahwa kewenangan penyidikan kasus itu ada pada mereka (Polri).

Sejatinya sudah sangat jelas, fatwa bukan peraturan perundangan atau regeling (jo pasal 7 UU No 12/2011). Jadi, sifatnya tidak mengikat. Pasal itu menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum kinerja lembaga pelayan masyarakat dan seluruh rakyat di republik ini. Dan, para pencari keadilan (justisiabelen) harus tunduk.

Lebih konkretnya, konstruksi sederhana yang dapat disampaikan: manakala fatwa itu nanti (berandai-andai) menyatakan bahwa penyidikan adalah kewenangan KPK, Polri belum tentu tunduk dan tidak ada kekuatan yang mengharuskan tunduk. Sifat fatwa tidak mengikat secara yuridis karena itu hanya pendapat lembaga, kendati lembaga tertinggi hukum. Demikian juga (seandainya) dinyatakan bahwa kewenangan tersebut ada pada Polri, KPK bisa bilang EGP, emang gue pikirin.

Pada masa lalu, fatwa MA memang sangat manjur, bahkan bisa mengesampingkan pasal dalam UU. Itu dulu. Salah satu yang terkenal adalah SEMA No 3 Tahun 1963 yang menganggap KUHPerdata bukan sebagai UU, tapi sebagai kitab hukum yang sekadar menjadi rujukan. Itu SEMA, apa lagi fatwa yang kedudukannya lebih tinggi daripada SEMA. Jadi, pada masa lalu, fatwa MA tersebut benar-benar sakti karena selalu ditaati.

Sekarang, dengan tata urutan peraturan perundangan yang sudah jelas, fatwa tak lagi mengikat secara yuridis. Fatwa MA hanya akan dijadikan dasar hukum yang dipegang teguh pihak yang merasa diuntungkan oleh fatwa itu.

Manakala MA mengeluarkan fatwa tentang persengketaan, tidak ada kewenangan dari lembaga tertinggi hukum itu untuk memberikannya. Alasannya, kewenangan MA sesuai UU adalah sebagai lembaga kasasi dan pengawasan terhadap lembaga peradilan di bawahnya. MA memang dapat memberikan pertimbangan hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga tinggi negara (vide pasal 37 UU No 14/1985 tentang MA). Namun, itu bersifat pertimbangan, bukan putusan.

Presiden, Bersikaplah...

Yang justru lebih berwenang, kendati masih menimbulkan multitafsir, adalah MK (jo pasal 10 ayat (1) huruf b UU No 23 Tahun 2004 tentang MK) bahwa MK memutus sengketa lembaga negara. Kendati, lembaga yang dimaksud itu adalah lembaga negara yang kewenangannya diberi UUD 1945, dalam hal ini sengketa lembaga tinggi negara. Namun, sekurangnya pasal itu dapat ditafsirkan bahwa MK lebih berwenang daripada MA. Terutama dalam hal pemutusan sengketa kewenangan lembaga negara. Bukankah KPK dan Polri adalah lembaga negara?

Pada sisi lain, secara praktis nilai mengikat fatwa itu pun bergantung pada apakah perkara tersebut nanti sampai ke pengadilan atau tidak. Kalau memang sampai ke pengadilan dan nanti sampai ke MA, barulah fatwa itu bergigi. Artinya, akan ditaati, tentunya oleh MA sendiri yang akan memutus perkara berdasar fatwa yang dibuatnya.

Sengketa kewenangan itu lebih tepat dan tidak berlarut-larut jika diputuskan oleh presiden. Presiden harus segera turun tangan untuk meluruskan, sehingga segera pula bisa dilaksanakan sebaik-baiknya. Presiden selaku kepala pemerintahan punya kewenangan sepenuhnya untuk memutuskan agar segera ada kepastian hukum.

Ada keheranan mengapa Polri bersikeras tidak mau menyerahkan penyidikan tersebut kepada KPK. Apakah ada kekhawatiran pembesar lain yang terlibat? Meski awam tidak mahatahu, mereka bisa meraba gelagat kecemasan itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar